Jepang tengah berupaya memainkan peran yang lebih besar dalam pencapaian misi luar angkasa.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
Setelah diterpa kegagalan, Jepang terus mengejar ambisinya menjadi negara kelima di dunia yang mendarat di Bulan. Pada Jumat (19/1/2024) waktu setempat, Jepang mencoba melakukan pendaratan presisi yang diharapkan dapat menjadi dorongan untuk program luar angkasanya.
Jepang telah mencoba mendarat di Bulan dua kali dalam setahun terakhir, tetapi kedua misi tersebut gagal. Pada 2023, pesawat ruang angkasa yang dikembangkan perusahaan swasta Ispace dan pendarat Bulan dari badan antariksa Rusia, Roscosmos, gagal mendarat di Bulan. Keduanya harus mendarat darurat setelah mengalami masalah navigasi.
Sejauh ini baru AS, Rusia, China, dan India yang berhasil mendaratkan wahana antariksa di Bulan. AS satu-satunya negara yang mengirim manusia ke Bulan dengan enam pendaratan yang berhasil.
Pendaratan presisi Jepang itu dicoba menggunakan wahana Moon Sniper atau penembak jitu Bulan. Wahana milik Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA) itu berusaha mendarat dalam jarak 100 meter dari targetnya. Menurut JAXA, teknologi yang tidak pernah ada sebelumnya itu penting dalam pencarian air di Bulan dan kelayakan huni untuk manusia dalam ekplorasi luar angkasa di masa mendatang.
Jepang tengah berupaya memainkan peran yang lebih besar dalam pencapaian misi luar angkasa. Negara ini telah bermitra dengan sekutu dekatnya, AS. Hal ini sebagai respons terhadap kekuatan militer dan teknologi luar angkasa negara tetangganya, China.
Sejauh ini, Jepang memiliki sejumlah perusahaan rintisan luar angkasa swasta. Negara ini juga ingin mengirim astronot ke Bulan sebagai bagian dari program Artemis Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA).
Belum ada negara lain yang mencapai hal ini. Ini membuktikan teknologi ini akan memberi kita keuntungan besar dalam misi internasional mendatang seperti Artemis.
Namun, JAXA telah menghadapi banyak kemunduran. Salah satunya kegagalan peluncuran roket andalan mereka, H3, pada Maret 2023. Padahal, H3 dimaksudkan untuk dapat bersaing dengan penyedia roket komersial, seperti SpaceX, dari sisi biaya.
Wahana Pendarat Cerdas untuk Investigasi Bulan (SLIM) milik JAXA akan memulai fase pendaratan pada tengah malam, Sabtu (20/1/2024) pukul 22.00 waktu Indonesia. Pendaratan satu arah itu direncanakan berlangsung selama 20 menit.
Wahana andalan itu akan mencoba mendarat di lokasi target, kira-kira seukuran dua lintasan atletik di Bulan di bagian lereng kawah tepat di selatan ekuator Bulan. ”Belum ada negara lain yang mencapai hal ini. Ini membuktikan teknologi ini akan memberi kita keuntungan besar dalam misi internasional mendatang, seperti Artemis,” kata Shinichiro Sakai, Manajer Proyek SLIM di JAXA.
JAXA mengatakan, verifikasi bahwa SLIM telah mencapai sasaran presisi tinggi setelah pendaratan akan memakan waktu hingga satu bulan. Saat mendarat, SLIM juga akan mengerahkan dua wahana mini, yaitu kendaraan pelompat sebesar oven microwave dan penjelajah beroda seukuran bola bisbol.
Keduanya akan mengambil gambar pesawat luar angkasa tersebut. Raksasa teknologi Sony Group, pabrikan pembuat mainan Tomy, dan beberapa universitas Jepang bersama-sama mengembangkan robot-robot kecil luar angkasa tersebut.
Pada Agustus 2023, wahana Chandrayaan-3 milik India menorehkan sejarah dengan mendarat di kutub selatan Bulan. Pendaratan ini merupakan prestasi teknologi besar mengingat medan yang berat. Prestasi India ini menandai era kebangkitan India sebagai pemain utama di luar angkasa.
JAXA menekankan, teknologi presisi tinggi yang dimilikinya akan menjadi alat ampuh dalam eksplorasi kutub Bulan yang berbukit-bukit di masa depan. Kutub Bulan dianggap sebagai lokasi vital karena menjadi sumber oksigen, bahan bakar, dan air yang potensial.
Jepang juga merencanakan eksplorasi kutub Bulan tanpa awak bersama dengan India pada 2025. ”Untuk pengembangan proyek Bulan, Jepang tidak bisa mengalahkan AS, China, atau India dalam hal sumber daya,” kata Kazuto Saiki, profesor pada Universitas Ritsumeikan yang mengembangkan kamera inframerah jarak dekat untuk SLIM. Kamera itu didesain untuk menganalisis batuan Bulan setelah pendaratan.
Saiki memilih fokus pada pengembangan teknologi yang akan banyak dibutuhkan untuk misi eksplorasi luar angkasa, yaitu teknologi pendaratan tepat dan kamera inframerah jarak dekat.
Asteroid
JAXA telah dua kali mendarat di asteroid kecil. Akan tetapi, pendaratan di Bulan jauh lebih sulit karena gravitasi Bulan. Kesulitan itu terlihat pada sejumlah kegagalan baru-baru ini.
Tahun lalu, sebuah wahana milik perusahaan rintisan Jepang, Ispace Inc, jatuh ke permukaan Bulan. Selanjutnya Luna 25 milik Rusia juga menyusul jatuh saat mencoba mendarat. Sebuah perusahaan pendaratan lain dari perusahaan rintisan AS, Astrobotic, mengalami kebocoran bahan bakar pada pekan lalu. Akibatnya, wahana ini terpaksa membatalkan upaya pendaratan.
”Kesalahan terjadi, tetapi Jepang adalah kekuatan luar angkasa yang sangat berpengalaman. Mereka telah melakukan operasi luar angkasa yang sangat rumit selama bertahun-tahun,” kata Bleddyn Bowen, profesor pada Universitas Leicester dengan spesialisasi kebijakan luar angkasa.
Menurut Bowen, dalam hal skala, Jepang memang tidak sebesar AS atau Uni Soviet di masa lalu ataupun China saat ini. ”Namun, dalam hal kemampuan dan teknologi canggih, Jepang selalu unggul,” katanya.
Bowen mengatakan, pendaratan presisi SLIM belum akan membawa perubahan besar. Namun, jika berhasil, demonstrasi pendaratan dan manufaktur pesawat luar angkasa ringan yang dilakukan Jepang mungkin akan mengerek misi luar angkasa secara umum. Keberhasilan pengembangan teknologi Jepang ini dapat membuka kesempatan bagi organisasi antariksa di seluruh dunia untuk mengurangi biaya setiap misi. (REUTERS)