Pertumbuhan PDB China lebih baik dibandingkan global dan sejumlah negara Eropa Barat serta Amerika Utara.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM, KRIS MADA
·3 menit baca
BEIJING, RABU – Perekonomian China tumbuh sedikit di atas harapan. Meski demikian, Beijing tetap waspada karena masalah properti dan perlambatan ekspor tetap melanda.
Dalam pernyataan pada Rabu (17/1/2024), Biro Statistik Nasional (NBS) China mengungkapkan, produk domestik bruto (PDB) 2023 tumbuh 5,2 persen. Capaian itu selaras dengan taksiran Bank Dunia dan sejumlah lembaga investasi. Sementara Pemerintah China dan Dana Moneter Internasional (IMF) menaksir PDB China 2023 hanya tumbuh 5 persen.
Kini, perekonomian China bernilai 17,6 triliun dollar AS. China mempertahankan status sebagai perekonomian terbesar kedua setelah Amerika Serikat. PDB AS hampir 26 triliun dollar AS.
Pertumbuhan PDB China lebih baik dibandingkan global dan sejumlah negara Eropa Barat serta Amerika Utara. Badan Statistik Jerman mengumumkan PDB Jerman 2023 turun 0,3 persen. Sementara Banque de France menaksir PDB Perancis 2023 hanya tumbuh 0,8 persen.
Faktor penguat
Analis makroekonomi China, Tian Yun, menyebutkan, perekonomian China terbantu industri otomotif serta manufaktur dirgantara dan kapal. Secara umum, pertumbuhan sektor industri China di atas 4 persen.
Sekarang sudah jadi lingkaran setan. Produsen mengurangi investasi dan perekrutan karyawan karena khawatir penjualan turun. Sementara konsumen menahan belanja. Harus ada terobosan kebijakan.
Tahun lalu, China jadi eksportir mobil terbesar di dunia. Bahkan, pada triwulan IV-2023, BYD dari China menjual lebih banyak mobil listrik dibandingkan Tesla.
China juga sukses mengatasi persoalan industri teknologi tinggi. ”Stimulus bekerja dan tepat sasaran bisa memperkuat,” ujar Tian kepada media China, Global Times.
Beban masalah
Meski melebihi harapan, pertumbuhan PDB China tetap memicu kewaspadaan. Sejak 2011, PDB China tidak pernah lagi tumbuh lebih dari 10 persen.
Tian juga memperingatkan persoalan yang belum selesai. Sektor properti terus menjadi beban perekonomian China.
Selama bertahun-tahun, banyak warga China berinvestasi pada properti. Beberapa tahun belakangan, harga properti China anjlok dan sejumlah pengembang bangkrut. Akibatnya, investasi banyak warga tersapu. ”Perekonomian kini semakin bersandar pada sektor jasa dan manufaktur,” kata ekonom pada PinPoint Asset Management, Zhiwei Zhang.
Persoalan lain adalah perlambatan ekspor. Bea dan Cukai China mencatat, ekspor 2023 hanya tumbuh 0,2 persen. Merujuk pada data Bank Dunia, hampir 40 persen PDB China didapatkan dari ekspor-impor.
Perekonomian kini semakin bersandar pada sektor jasa dan manufaktur.
Kondisi ini dikhawatirkan belum membaik pada tahun 2024. Sebab, berbagai mitra terus membatasi perdagangan dengan China.
Usaha China memacu sektor lain belum terlalu berhasil. Investor asing belum kunjung meningkatkan penanaman modal.
Sebagian investor khawatir dengan gelombang penangkapan orang asing di berbagai lembaga riset ekonomi dan perusahaan. Sebagian lagi risau soal kewajiban alih teknologi.
Investor asing dan pebisnis China juga risau karena belanja konsumen tidak kunjung pulih. Konsumen memilih berhemat karena cemas pada kemungkinan krisis ekonomi.
”Sekarang sudah jadi lingkaran setan. Produsen mengurangi investasi dan perekrutan karyawan karena khawatir penjualan turun. Sementara konsumen menahan belanja. Harus ada terobosan kebijakan,” kata ekonom Morgan Stanley, Robin Xing.
Penurunan populasi
Beijing juga pusing dengan penurunan jumlah penduduk. Sejak 2022, populasi China terus turun. Penurunan itu memperparah krisis demografi China.
Penduduk China berkurang 2,08 juta orang pada 2023. Pada 2022, penurunannya hanya 850.000 orang. Penduduk turun karena jumlah yang meninggal lebih sedikit daripada yang lahir.
Sepanjang 2023, sebanyak 11,1 juta penduduk China meninggal. Pada periode yang sama, hanya 9,02 juta bayi yang lahir. Tahun lalu juga menjadi periode angka kelahiran terendah. Untuk 1.000 penduduk, angka kelahirannya hanya 6,39. Pada 2022, angkanya 6,77.
China sudah mencoba berbagai cara untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk. Pada 2015, peraturan satu keluarga satu anak resmi dicabut. Harapannya, warga mau punya lebih banyak anak.
Sayangnya, banyak orang tetap tidak mau punya anak. Bahkan, sebagian warga China tidak menikah. Sebab, mereka tidak sanggup menanggung biaya hidup jika menikah, apalagi punya anak. Biaya hidup terus naik, pengangguran banyak, dan nilai upah pun turun. (AFP/REUTERS)