Korea Utara Uji Coba Rudal dengan Jangkauan Pangkalan AS di Guam
Peluncuran rudal itu dikhawatirkan semakin memanaskan situasi di Semenanjung Korea. Jepang turut mengawasi.
SEOUL, SENIN— Korea Utara, Senin (15/1/2024), mengonfirmasi peluncuran rudal balistik jarak menengah dengan jangkauan hingga 4.000 kilometer atau bisa menjangkau pangkalan militer AS di Guam. Rudal tersebut menggunakan teknologi baru bahan bakar padat sebagai propelan (pendorong) yang memudahkan operasional pergerakan atau perpindahan peluncuran rudal sehingga menyulitkan serangan lawan terhadap posisi rudal.
Laporan singkat di kantor berita resmi Korea Utara (Korut), Korean Central News Agency (KCNA), menyebutkan, rudal balistik jarak menengah (IRBM) itu membawa hulu ledak hipersonik yang bisa bermanuver terkontrol. Uji coba itu dimaksudkan untuk mengetahui ”karakter gerakan dan manuver” hulu ledak dan keandalan mesin berbahan bakar padat yang baru dikembangkan.
Baca juga: Korut Tetapkan Syarat Penggunaan Nuklir, Korsel Tetap Tidak Mau Punya Bom Nuklir
Menurut KCNA, peluncuran rudal pada Minggu (14/1/2024) itu tidak akan memengaruhi keamanan negara-negara tetangganya dan tidak berkaitan apa pun dengan situasi kawasan. Namun, peluncuran itu terjadi hanya beberapa hari setelah Pyongyang mengadakan latihan penembakan dengan peluru asli di dekat perbatasan maritim dengan Korea Selatan (Korsel). Latihan itu memicu latihan tandingan dan evakuasi bagi warga sejumlah pulau di perbatasan Korsel.
Kepala Staf Gabungan Militer Korsel dalam keterangan pers menyatakan, rudal balistik jarak menengah diluncurkan dari sekitar Pyongyang sejauh 1.000 kilometer sebelum jatuh ke laut di antara Semenanjung Korea dan Kepulauan Jepang. Kepala Staf Gabungan Korsel menyebut peluncuran rudal tersebut sebagai provokasi dan mengancam perdamaian di Semenanjung Korea. Militer Korsel menyatakan kesiapannya menghadapi berbagai provokasi yang mungkin dilakukan Korut.
Chang Young-keun, ahli rudal di Institute Strategi Nasional Korea, mengatakan, rudal Korut itu dirancang dapat menghantam sasaran di pangkalan Amerika Serikat sejauh 3.400 kilometer dari Pyongyang. Rudal tersebut juga dapat menghantam sasaran lebih dekat, seperti pangkalan-pangkalan militer AS di Kepulauan Okinawa.
”Korea Utara tampaknya mengejar pengembangan rudal hipersonik dan IRBM menggunakan bahan bakar padat pada saat yang bersamaan. Rudal hipersonik jarak menengah hingga jarak jauh secara khusus berguna untuk menyerang Guam sambil menghindari sistem pertahanan rudal AS,” tutur Chang.
Uji coba terbaru rudal Korut tersebut menambah rumit persoalan dalam upaya membangun perdamaian di Semenanjung Korea, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Korut terakhir kali menguji coba rudal pada 18 Desember 2023 dengan peluncuran Hwasong-18, rudal balistik antarbenua (ICBM) berbahan bakar padat.
Korea Utara tampaknya mengejar pengembangan rudal hipersonik dan IRBM menggunakan bahan bakar padat pada saat yang bersamaan.
Rudal Hwasong–18 juga diperkirakan memiliki hulu ledak berganda yang dapat mengincar sasaran berbeda ketika sudah diluncurkan. Pembawa hulu ledak pecah dalam ketinggian tertentu lalu hulu ledak mengincar beberapa sasaran sehingga dapat menimbulkan kehancuran lebih luas. Kondisi tersebut menyulitkan upaya menangkal serangan rudal ketika sudah diluncurkan.
Rudal baru Korut dengan bahan bakar padat memiliki keunggulan karena tidak butuh waktu lama dan pemanasan seperti bahan bakar cair. Selain itu, usia waktu penggunaan bahan bakar padat lebih lama dibandingkan dengan bahan bakar cair. Sebelum rudal terbaru ini, Korut memiliki rudal jarak menengah Hwasong-12 yang masih menggunakan bahan bakar cair sebagai pendorong roket.
Kementerian Pertahanan Jepang turut memantau dan menganalisis uji coba rudal Korut. Kali ini, rudal Korea Utara diperhitungkan menjelajah sejauh 500 kilometer pada ketinggian maksimum 50 kilometer. Menurut Jepang, yang ditembakkan Korut adalah rudal jarak pendek dan bukan rudal jarak menengah.
Jepang dan Korsel menyatakan sudah berbagi informasi dengan sekutu mereka, AS. Akan tetapi, belum dijelaskan mengapa mereka memiliki penilaian berbeda tentang jenis rudal yang ditembakan Korut.
Kementerian Luar Negeri Korsel menjelaskan, dalam komunikasi trilateral Korea Selatan-Jepang-AS, Minggu (14/1/2024), para diplomat ketiga negara mengecam peluncuran rudal Korut. Mereka menekankan, provokasi Korut justru akan memperkuat kerja sama militer mereka.
Baca juga: AS Tak Lagi Aman dari Nuklir Korut
Ketegangan di Semenanjung Korea berada pada titik tertinggi dalam beberapa tahun terakhir setelah Pemimpin Korut Kim Jong Un meningkatkan unjuk persenjataannya. AS dan para sekutunya merespons dengan memperkuat latihan militer gabungan dan mempertajam strategi penggentar nuklir mereka.
Persenjataan hipersonik merupakan bagian dari keinginan Kim untuk memiliki aset militer canggih, seperti diungkapkannya pada 2021. Selain itu dia ingin Korut juga memiliki rudal berhulu ledak ganda, satelit mata-mata, rudal jarak jauh berbahan bakar padat, dan rudal nuklir yang diluncurkan dari kapal selam.
Korut telah meluncurkan satelit mata-mata militer pertama pada November 2023 dan bermaksud meluncurkan tiga satelit lagi pada 2024. Kim menggambarkan perangkat itu sangat penting untuk mengawasi aktivitas militer AS dan Korsel serta menambah daya ancaman rudal berkemampuan nuklir milik Korut.
Di tengah situasi yang memanas, muncul pula kekhawatiran tentang dugaan kerja sama antara Korut dan Rusia. AS dan Korsel menuding Korut menyediakan suplai persenjataan bagi Rusia, termasuk artileri dan rudal, untuk membantu memperpanjang invasi di Ukraina. Baik Moskwa maupun Pyongyang membantah tudingan itu.
Dalam perkembangan diplomasi terbaru, delegasi Korut yang dipimpin Menteri Luar Negeri Choe Sun Hui meninggalkan Pyongyang pada Minggu (14/1/2024) untuk mengunjungi Rusia atas undangan Menlu Rusia Sergey Lavrov. Laporan KCNA tidak secara rinci menyebutkan apa yang akan dibahas keduanya.
Sejumlah pakar menyebut, Korut bisa meningkatkan tekanan lebih jauh menjelang pemilu di Korsel dan AS. Kim Jong Un lebih suka Donald Trump memenangi pemilu AS karena dia lebih mudah berunding dengan Trump.