Gempuran Israel ke Jalur Gaza sudah berlangsung selama 100 hari. Korban jiwa di Palestina telah menembus 24.000 orang.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Perang antara kelompok Hamas dan Israel di Jalur Gaza memasuki hari ke-100 pada Minggu (14/1/2024). Tidak ada yang tersisa bagi masyarakat kecuali kematian, prahara, dan derita. Di Tel Aviv, warga Israel yang anggota keluarga atau kerabatnya masih disandera oleh Hamas juga terus dirundung kekhawatiran, menanti kepulangan orang-orang yang disayang.
”Setiap 20-30 menit saya terpapar risiko kematian secara jasmani ataupun rohani,” kata Maher Mahmoud Daowd (33), warga Gaza yang mengungsi di Rafah, perbatasan antara Gaza dan Mesir, kepada media NBC, Senin (15/1/2024).
Daowd mengenang kehidupannya sebelum perang. Ketika itu, ia dan istrinya sama-sama sedang menyelesaikan studi S-3. Daowd adalah seorang budayawan yang sedang menulis disertasi mengenai sastra Arab.
Kehidupannya berubah total setelah Hamas melancarkan serangan Badai Aqsa ke Israel pada 7 Oktober 2023. Israel membalas serangan itu dengan menggempur Gaza.
Sekarang, Daowd mengungsi di Rafah. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), wilayah Rafah sebelum perang dihuni oleh 280.000 penduduk. Sekarang, di wilayah ini ada 1 juta orang yang mengungsi. Mereka hidup berdesak-desakan dengan segala keterbatasan. Persediaan makanan dan air bersih terus berkurang.
Masih kepada NBC, di Israel, Ella Ben Ami (23) khawatir memikirkan ayahnya. Dalam serangan Badai Aqsa, Hamas membunuh 1.140 warga Israel dan warga asing. Selain itu, mereka juga menculik 240 orang yang mencakup kedua orangtua Ben Ami. Sebanyak 132 sandera telah dibebaskan.
Ibu dari Ben Ami adalah salah satu sandera yang dibebaskan pada November 2023, sementara ayahnya tidak diketahui keberadaannya. ”Sudah 100 hari dan tidak ada kemajuan. Susah sekali menjaga harapan tetap hidup,” ujar Ben Ami.
Pasukan Israel terus menggempur Gaza. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah untuk membasmi Hamas sampai tuntas. Langkah yang ia ambil ialah meluluhlantakkan Gaza. Negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat yang merupakan penyokong Israel, menyerukan bahwa metode Israel sudah melampaui batas pembelaan diri.
Bahkan, Afrika Selatan dengan gamblang menggugat Israel ke Mahkamah Internasional atas tuduhan genosida. Pemerintah Israel bergeming dan terus menyerang Gaza. Mereka fokus di Khan Younis, Gaza bagian selatan. Padahal, daerah selatan ini adalah tempat para warga Palestina mengungsi. Tempat yang awalnya dijanjikan Israel tidak akan digempur.
Tidak ada tempat yang aman di Gaza. Semuanya terpapar risiko serangan rudal Israel. (Martin Griffiths)
Selain itu, Israel juga menyerang wilayah Gaza tengah, tepatnya di Al-Bureij dan Al-Maghazi. Petinggi Hamas Ismail Haniyeh mengatakan, Hamas berhasil menghancurkan tank Israel di Khan Younis. Israel membalasnya dengan tembakan roket beruntun.
Menurut Haniyeh, Hamas tidak menginginkan perang. Hamas menginginkan kemerdekaan bangsa Palestina dari penjajahan Israel sejak 1948.
”Tidak ada tempat yang aman di Gaza. Semuanya terpapar risiko serangan rudal Israel ataupun berbagai persoalan kesehatan lainnya,” kata Pelapor Khusus Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UN OCHA) Martin Griffiths ketika berpidato di Sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, Jumat (12/1/2024).
Jumlah korban tewas di Gaza terus bertambah. Data terakhir yang disampaikan pejabat Hamas, Senin (15/1/2024), mencatat lebih dari 24.000 jiwa telah musnah, 70 persen di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Dari 2,4 juta warga Gaza, 1,9 juta orang kehilangan tempat tinggal. Mereka terpojok di Gaza bagian selatan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 600 anggota staf PBB ataupun lembaga swadaya masyarakat yang menangani urusan kemanusiaan tewas dan 800 orang terluka. Dari 36 rumah sakit di Gaza, 21 rumah sakit tidak beroperasi. Dari rumah sakit yang tersisa, dokter dan para tenaga kesehatan bekerja keras dengan perlengkapan dan obat-obatan seadanya. Nyawa mereka juga terus di bawah ancaman roket Israel.
”Pramusosial tidak bisa mengakses Gaza bagian utara dan tengah. Bantuan kemanusiaan tidak bisa disalurkan, sementara situasi sangat darurat,” kata Griffiths.
Ia memohon adanya pembukaan jalur kemanusiaan yang lebih lama agar masyarakat Gaza bisa ditolong. Pada saat yang sama, ia juga mengimbau agar para sandera yang ditahan oleh Hamas dibebaskan. Tidak ada yang mengetahui keadaan mereka, termasuk apakah para sandera memerlukan bantuan kesehatan.
Di berbagai penjuru dunia, masyarakat tidak jenuh terus berunjuk rasa mendesak agar para pemimpin global mendorong gencatan senjata di Gaza. Di Washington DC, AS, semakin banyak warga yang lantang meminta Presiden Joe Biden berhenti mendanai pemerintahan apartheid Israel.
Di Israel muncul gerakan Refusenik. Mereka adalah anak-anak muda yang menolak mengikuti wajib militer. Menurut mereka, kekerasan yang dibayar oleh kekerasan hanya menghasilkan lingkaran setan. Para Refusenik berpendapat harus ada cara baru bernegosiasi dengan Hamas yang mengedepankan kemanusiaan warga Palestina ataupun Israel.
Sementara itu, di Rafah, Sabtu (13/1/2024), Afnan Jibril dan Mustafa Shamlakh merayakan upacara pernikahan mereka. Tidak ada pesta mewah di kemah pengungsian yang padat, bahkan rumah yang menurut rencana menjadi tempat pasangan itu membina keluarga sudah hancur terkena roket.
”Kami adalah orang-orang yang mencintai hidup meski berada di tengah kematian dan kerusakan. Kenyataan harus dihadapi dengan terus hidup,” kata Mohamed Jibril, ayah dari mempelai perempuan. (AP/AFP/REUTERS)