Iba dengan Derita Warga Gaza, Suriah dan Tepi Barat Tiadakan Perayaan Natal
Warga Kristiani di Suriah dan Tepi Barat meniadakan pesta perayaan Natal demi solidaritas pada penderitaan rakyat di Gaza. Hanya doa bersama yang dilakukan agar segera terwujud perdamaian.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
ALEPPO, MINGGU — Tidak ada kegembiraan perayaan Natal tahun ini di Suriah demi solidaritas terhadap rakyat Gaza yang menjadi korban perang antara Israel dan kelompok Hamas. Suriah membatalkan semua pesta Natal, baik di gereja maupun di tempat-tempat umum. Natal hanya dirayakan di gereja sebatas upacara keagamaan.
Di pusat-pusat kota juga nyaris sepi, tidak tampak dekorasi-dekorasi Natal. Suasana terasa suram. Padahal, biasanya banyak pasar tiban yang meriah dan pohon Natal raksasa dengan lampu-lampu hias yang semarak.
”Rakyat menderita di Palestina, tempat kelahiran Yesus Kristus. Semua pesta dibatalkan,” kata Uskup Agung Katolik Suriah di Aleppo, Mor Dionysius Antoine Shahda, kepada kantor berita AFP, Minggu (24/12/2023).
Gereja Katolik Suriah tidak sendirian. Para pemimpin dari tiga gereja besar di Suriah, yakni Ortodoks Yunani, Ortodoks Suriah, dan Patriark Katolik Yunani Melkite, juga memutuskan membatalkan pesta perayaan Natal. Di gereja hanya akan dilakukan doa.
Sebelum perang saudara di Suriah terjadi mulai tahun 2011, Suriah menjadi rumah bagi sekitar 1,2 juta penganut Kristiani. Sejak perang terjadi, banyak penganut Kristiani melarikan diri dari Suriah. Perayaan Natal juga ditiadakan selama konflik.
Dalam beberapa tahun terakhir, perayaan Natal di negara itu kembali meriah setelah pasukan pemerintah mengambil kembali kendali atas sebagian besar wilayah Suriah.
Rachel Haddad (66), warga Damaskus, mengaku prihatin dengan perang di Gaza dan tidak tega memasang pohon dan dekorasi Natal ataupun merayakan Natal dengan bersenang-senang seperti biasanya. Baginya, tahun 2023 menjadi tahun paling menyedihkan karena dimulai dengan gempa bumi di Turki dan Suriah yang menewaskan 55.000 orang, 6 Februari lalu. Kemudian disusul dengan perang Gaza.
”Tidak ada kesempatan untuk bersenang-senang. Apalagi, sekarang zaman juga sedang susah. Listrik saja sering mati. Kalau tidak ada listrik, bagaimana bisa melihat dekorasi dan lampunya,” ujar Haddad.
Di Bethlehem, tempat lahirnya Yesus Kristus yang biasanya selalu ramai, kini seperti kota hantu karena perayaan Malam Natal pun dibatalkan gara-gara perang Israel-Hamas. Tidak ada pohon dan dekorasi Natal yang biasanya menghiasi Manger Square (Lapangan Palungan).
Wisatawan asing yang biasanya padat berkerumun pun tidak ada karena banyak maskapai penerbangan membatalkan penerbangan ke Israel. Israel menjadi salah satu pintu masuk wisatawan asing untuk menuju Bethlehem. Yang ada hanya puluhan pasukan keamanan Palestina yang berpatroli di lapangan kosong.
”Kami tidak bisa merayakan Natal seperti biasa ketika sebagian rakyat di Gaza bahkan tidak punya rumah untuk tempat berlindung,” kata Ala’a Salameh, salah satu pemilik Restoran Afteem.
Suasana Lebanon selatan
Di Lebanon selatan, yang berbatasan langsung dengan Israel, suasananya hampir sama. Bagi Layla Wana (67) dan suaminya, warga Desa Qlayaa, Lebanon, Natal tahun ini paling menyedihkan karena semua anaknya yang berada di luar negeri dan ibu kota Beirut tak bisa mudik gara-gara perang Gaza. Keduanya juga tak mau meninggalkan rumah karena khawatir konflik bisa merembet sampai ke desa mereka.
Selama hampir tiga bulan ini, roket-roket Israel jatuh di dekat Qlayaa yang terletak kurang dari 5 kilometer dari perbatasan Lebanon-Israel. Sampai sejauh ini Qlayaa masih terhindar dari kehancuran. Sejak 7 Oktober lalu, sekitar 150 warga Lebanon tewas, mayoritas anggota kelompok Hezbollah, dan 72.437 orang mengungsi.
Menurut data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), konflik menyebabkan lebih dari 72.000 orang di Lebanon mengungsi, mayoritas dari mereka berada di wilayah selatan.
Wilayah bagian selatan Lebanon ini mayoritas didominasi gerakan Syiah Hezbollah yang didukung Iran. Wilayah itu pernah diduduki Israel selama bertahun-tahun yang berakhir pada 2000. Wilayah tersebut diduduki lagi oleh Israel pada 2006 gara-gara perang Hezbollah dengan Israel. Biasanya pada Natal, banyak warga Lebanon yang tinggal di luar negeri mudik ke daerah masing-masing.
Namun, tahun ini tak banyak. Menurut data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), konflik menyebabkan lebih dari 72.000 orang di Lebanon mengungsi, mayoritas dari mereka berada di wilayah selatan.
Meski tidak ada perayaan Natal di Desa Rmeish, sekitar 2 kilometer dari perbatasan dengan Israel, gereja lokal akan tetap menghadirkan Sinterklas untuk membagikan hadiah untuk anak-anak yang masih tersisa di desa.
Di kota Rashaya al-Fukhar, pemerintah kota memasang pohon Natal yang dihiasi bola merah dan lampu di alun-alun kota yang sepi. ”Orang-orang yang punya anak sudah membawa mereka keluar dari daerah ini demi keselamatan mereka dan supaya tidak putus sekolah. Warga yang tetap tinggal di sini hanya orang-orang tua, seperti saya,” kata Wassim al-Khalil, anggota Dewan Kota.