Isi rancangan resolusi gencatan senjata Gaza masih dinegosiasikan. Modifikasi naskah merupakan upaya mencapai kompromi.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·3 menit baca
NEW YORK, SELASA— Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa kesulitan mencapai resolusi gencatan senjata untuk Gaza. Sampai Selasa (19/12/2023) pagi, badan itu masih menunda pemungutan suara. Anggota Dewan Keamanan PBB masih mengintensifkan negosiasi untuk menghindari veto Amerika Serikat.
Sejumlah diplomat mengatakan, isi rancangan resolusi masih dinegosiasikan. Modifikasi naskah ini merupakan upaya untuk mencapai kompromi. Tujuannya, semua negara anggota DK PBB setuju atau setidaknya abstain sehingga tidak mengulangi kebuntuan karena veto Amerika Serikat (AS).
”Penundaan pemungutan suara hingga hari Selasa, artinya ada negosiasi mengenai naskah tersebut. Kemungkinan besar untuk menghindari veto,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard dalam unggahannya di situs X.
AS memveto resolusi DK PBB yang menuntut jeda kemanusiaan segera di Gaza pada 8 Desember lalu. Padahal, resolusi ini didukung oleh hampir semua anggota dewan dan puluhan negara lain. Sementara itu, Majelis Umum yang beranggotakan 193 negara menyetujui resolusi serupa pada 12 Desember dengan 153 suara mendukung, 10 suara menolak, dan 23 suara abstain.
Akses bantuan
Pada intinya, isi rancangan mengakui bahwa warga sipil di Gaza tidak memiliki akses terhadap makanan, air, sanitasi, listrik, telekomunikasi, dan layanan medis. Selain itu, resolusi tersebut juga mengungkapkan keprihatinan DK PBB terhadap dampak konflik itu pada kehidupan dan kesejahteraan anak-anak, perempuan, dan warga sipil lainnya yang berada dalam situasi rentan.
Isi rancangan di antaranya juga menegaskan tuntutan agar semua pihak mematuhi hukum humaniter internasional, terutama melindungi warga sipil dan infrastruktur penting bagi kelangsungan hidup warga. Infrastruktur itu seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas PBB.
Rancangan resolusi itu juga mengecam keras semua pelanggaran hukum humaniter internasional, termasuk serangan terhadap warga sipil, obyek sipil, permusuhan pada warga sipil, dan tindakan terorisme.
Untuk pihak-pihak yang berkonflik, yaitu Hamas dan Israel, rancangan itu juga mewajibkan kedua belah pihak memenuhi kewajiban berdasarkan hukum humaniter internasional. Artinya, keduanya harus memberi akses pengiriman bantuan kemanusiaan secara langsung, aman, dan tanpa hambatan ke penduduk sipil Palestina di seluruh wilayah di Jalur Gaza.
Untuk Hamas, rancangan tersebut juga menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat terhadap semua sandera yang sampai sekarang ditahan. Rancangan tersebut menegaskan komitmen teguh terhadap visi solusi dua negara dan menekankan pentingnya menyatukan Jalur Gaza dengan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina.
Untuk pihak-pihak yang berkonflik, yaitu Hamas dan Israel, wajib memenuhi kewajiban berdasarkan hukum humaniter internasional.
Pada Senin sore diumumkan bahwa pemungutan suara tidak akan dilakukan. Para diplomat mengatakan, negosiasi diarahkan untuk membuat AS abstain atau memberikan suara ”ya” pada resolusi tersebut.
Resolusi yang disponsori Uni Emirat Arab ini bertujuan membuka akses bantuan. Human Rights Watch menuduh Israel sengaja membuat penduduk Gaza kelaparan dengan menghalangi pengiriman air, makanan, dan bahan bakar. Pada 14 Desember Badan Pangan PBB melaporkan bahwa 56 persen rumah tangga di Gaza mengalami kelaparan parah. Dua pekan sebelumnya, jumlahnya hanya 38 persen.