Menggugat Pendanaan Mitigasi Perubahan Iklim
Mengacu data OECD, 54 persen pendanaan mitigasi perubahan iklim berupa pinjaman komersial. Sementara 18 persen lain berupa pinjaman dengan bunga rendah. Sisanya berupa hibah.
Queensland di Australia dan South Carolina di Amerika Serikat tidak hanya berada di negara berbeda. Queensland dan South Carolina juga sedang di musim berbeda. Meski demikian, pada Selasa (19/12/2023), kedua negara bagian dari dua negara terpisah ribuan kilometer itu sedang dilanda banjir.
Queensland, bersama sejumlah negar bagian lain di Australia, dilanda banjir selepas hujan deras berapa hari lalu. Hujan deras terjadi kala Australia memasuki musim panas.
Sementara South Carolina dan sejumlah negara bagian di sisi timur laut AS dilanda badai mulai Sabtu malam waktu setempat. Di AS, seperti banyak negara di sisi utara Bumi, sedang musim dingin.
Baca juga: Hapus Utang demi Mitigasi Iklim
Wali Kota Charleston, Jon Tecklenburg, menyebut badai membuat warganya senewen. Warga salah satu kota di South Carolina itu harus berdiam diri di rumah. Sebab, banjir merendam berbagai bagian Charleston. ”Kami perlu beradaptasi dari perubahan iklim yang membawa bencana seperti ini,” katanya.
Ia mengakui, bencana yang sedang melanda Charleston tidak bisa dilepaskan dari dampak perubahan iklim. Proses adaptasi membutuhkan dana besar.
Charleston, di antaranya, harus membangun tanggul untuk menahan banjir rob saat pasang. Perlu pula meningkatkan kapasitas saluran pembuangan agar genangan bisa cepat surut.
Pendanaan mitigasi
Proyek sebesar itu akan sulit ditanggung APBD Charleston. Kesulitan serupa dihadapi banyak negara berpendapatan rendah dan menengah (LMICs). ”Seharusnya, beban (dana mitigasi dampak perubahan iklim) ditanggung oleh negara-negara penyebab krisis iklim. Negara-negara berkembang tidak menyebabkan perubahan iklim,” kata spesialis keadilan iklim pada Oxfam kantor regional Afrika Utara dan Timur Tengah, Safa’ Al Jayoussi.
Ia mengacu ke berbagai riset bahwa perubahan iklim dipicu pelepasan emisi karbon dan metana. Selama 1,5 abad terakhir, sejumlah negara di Asia, Afrika, dan Karibia terbukti tidak menghasilkan emisi sebesar mayoritas Eropa dan Amerika Utara.
Karena itu, Oxfam mengkritik pola pendanaan mitigasi saat ini. Sejak menyatakan pada 2009, negara-negara maju tidak kunjung memenuhi janji menyediakan pendanaan 100 miliar dollar AS per tahun. Dana itu sedianya untuk membiayai mitigasi perubahan iklim dan transisi energi di LMICs.
”Kita harus mengubah struktur pendanaan. Kita perlu hibah dan mekanisme hibah untuk negara-negara paling rentan pada dampak perubahan iklim,” tuturnya.
Mayoritas utang
Mengacu pada data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), 54 persen pendanaan mitigasi perubahan iklim berupa pinjaman komersial. Sementara 18 persen lain berupa pinjaman dengan bunga rendah. Sisanya berupa hibah.
Baca juga: Iklim Ekstrem Bebani Warga Miskin Lima Kali Lipat
Artinya, negara miskin dan berkembang justru mendapat beban tambahan saat harus beradaptasi dengan perubahan iklim. Padahal, seperti kata Al Jayoussi, mereka tidak memicu perubahan iklim.
Pinjaman komersial artinya bunga mengikuti kondisi pasar. Data Oxfam menunjukkan, 75 persen pinjaman untuk adaptasi itu memakai bunga lebih dari 3 persen per tahun.
Artinya, jika pinjaman 1 miliar dollar AS, LMICs harus membayar bunga 30 juta dollar AS per tahun. Pada kurs Rp 15.000 per dollar AS, bunganya setara Rp 450 miliar per tahun. Nilai itu belum termasuk cicilan tahunan.
LMICS tidak hanya harus membayar utang untuk adatasi. Ada utang lain harus dicicil LMICs. Secara rata-rata, dana cicilan utang LMICs setara 1.200 persen dari dana mitigasi perubahan iklim.
Karena itu, LMICs kesulitan dana untuk aneka layanan masyarakat. Bahkan, sebagian LMICs di Asia, Afrika, Karibia, dan Pasifik kesulitan dana untuk menanggulangi bencana yang dipicu perubahan iklim.
Data Oxfam mencatat, 92 persen pendanaan adaptasi perubahan iklim yang disediakan Perancis berupa utang. Sementara Amerika Serikat mencatat 33 persen dana bantuan adaptasi perubahan iklim dikucurkan dalam bentuk utang.
Baca juga: Peran Swasta dalam Pendanaan Iklim
”Akan ada ancaman beban utang dalam jumlah besar mengintai negara-negara berkembang. Dengan kenaikan suku bunga global, biaya pendanaan akan semakin membengkak. Dalam jangka panjang, dampaknya tidak hanya kesulitan pembiayaan adaptasi perubahan iklim. Negara berkembang akan dilanda ketidakstabilan ekonomi dan fiskal,” kata analis kebijakan pada Reclaim Finance, Danielle Koh.
Reclaim Finance merupakan salah satu LSM yang mengampanyekan pendanaan adil untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Keadilan ditimbang berdasarkan pada kontribusi negara pada penyebab perubahan iklim. ”Negara maju menghindarkan diri dari tanggung jawab pendanaan adaptasi jika menggunakan mekanisme utang,” kata Koh.
Tidak tepat
Oxfam mencatat, masalahnya bukan cuma utang. Mayoritas dana yang disebut untuk adaptasi itu tidak benar-benar bisa diakses oleh LMICS. Oxfam menaksir, hanya 25 persen dari pendanaan adaptasi perubahan iklim 2020 yang benar-benar bermanfaat bagi LMICs.
Sisanya lebih demi kepentingan negara maju, baik pemerintah maupun swasta. Oxfam juga mengidentifikasi, mayoritas kucuran dana yang disebut untuk adaptasi perubahan iklim ternyata tidak terkait dengan upaya adaptasi dan mitigasi.
Terpisah, spesialis pendanaan pada INKA Consult, Hans Peter Dejgaard, mengingatkan bahwa tren pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak sehat. Sebab, utang dengan bunga komersial mendominasi. Akan tiba suatu masa negara miskin kesulitan membayar bunga sekali pun.
Sayangnya, modus pinjaman bukan hanya dikucurkan negara kaya. Bank Dunia dan lembaga pembiayaan multilateral juga melakukan itu.
Ia mencontohkan kasus Filipina. Pada awal 2022, Manila meminjam 400 juta dollar AS dari Bank Dunia untuk mendanai proyek-proyek perubahan iklim. Dengan tenor 20 tahun, Manila harus membayar 286 juta dollar AS untuk bunga saja. Dengan demikian, total utang Filipina ke Bank Dunia dari proyek itu bernilai 686 juta dollar AS.
Sementara Oxfam mengkritik tawaran sejumlah negara dan lembaga pembiayaan pada Pakistan. Selepas banjir 2022 yang menghancurkan berbagai fasilitas, Islamabad malah ditawari utang untuk rehabilitasi. Nyaris tidak ada tawaran hibah untuk Pakistan selepas bencana itu.
Karena itu, seperti disampaikan Al Jayoussi, perlu ada perubahan struktur pendanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Bahkan, sejumlah pihak lebih progresif lagi: hapuskan utang LMICS agar ada dana untuk membiayai adaptasi perubahan iklim. (AFP/REUTERS)