Uni Eropa dan Masa Depan Gaza
Spanyol, Belgia, dan Hongaria akan mengarahkan jalannya Dewan Eropa. Bagaimana arah Uni Eropa, termasuk konflik di Gaza?
Pada Oktober 2023, seusai melakukan perjalanan keliling beberapa negara Timur Tengah, Menteri Luar Negeri Belgia Hadja Lahbib menyebut, kawasan itu akan menjadi agenda utama Kepresidenan Belgia di Dewan Uni Eropa tahun depan. Belgia, sebut Lahbib, memiliki komitmen kuat untuk melindungi warga sipil dan mendorong upaya bersama mencari solusi damai di Palestina.
Lahbib menyatakan, masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk memberi jawaban atas banyak pertanyaan yang muncul di tengah konflik di Jalur Gaza. Pertanyaan itu mulai dari perdamaian abadi di Palestina, jaminan keamanan bagi semua pihak, hingga pemulihan harapan generasi muda Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
”Siapa yang akan membangun kembali Palestina? Dengan dana apa dan dari mana? Siapa yang akan memimpin daerah tersebut yang saat ini masih dikelola kelompok Hamas?” katanya, dikutip dari media Belgia, Brusselstimes.
Lahbib juga menyatakan mereka bersedia berpartisipasi dalam segala upaya membuka jalan damai di Palestina. ”Timur Tengah telah menjadi agenda Kepresidenan Dewan Eropa dan sekarang akan mendapat perhatian yang lebih besar dari sebelumnya,” ujarnya.
Baca juga : Mendalami Alasan Belgia dan Spanyol Mendukung Palestina
Tampaknya tidak ada yang salah dengan pernyataan Lahbib yang berbicara mewakili Pemerintah Belgia. Akan tetapi, akhir pekan lalu, Pemerintah Israel mengkritik keras Belgia setelah Perdana Menteri Alexander De Croo bersama PM Spanyol Pedro Sanchez memberikan konferensi pers di Rafah, perbatasan Mesir dan Palestina. Di sana, Sanchez secara terang-terangan memberikan dukungan Spanyol bagi kemerdekaan Palestina.
Sánchez menyatakan, Spanyol akan mengakui Palestina sebagai negara. Tindakan itu tetap akan diambil Spanyol, meski Uni Eropa, organisasi tempat mereka bernaung, mengambil kebijakan berbeda.
Sementara De Croo meminta Israel-Hamas menghentikan siklus kekerasan. Pada Hamas, dia meminta mereka membebaskan seluruh sandera. Sebaliknya, kepada Israel, dia mendesak agar militernya berhenti membunuh warga sipil.
”Operasi militer harus menghormati hukum humaniter internasional. Pembunuhan warga sipil harus dihentikan sekarang. Terlalu banyak orang yang meninggal. Kehancuran Gaza tidak bisa diterima. Kami tidak dapat menerima suatu masyarakat dihancurkan dengan cara yang seperti itu,” katanya.
Hal itu membuat Israel berang. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuding Sanchez dan De Croo sebagai pendukung Hamas dan sebaliknya mengabaikan hak Israel.
Hasilnya, Israel memilih tidak ikut serta dalam pertemuan negara-negara Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara, forum tahunan yang biasanya digunakan sebagai ajang konsultasi program bantuan pembangunan UE bagi negara-negara tetangga, Senin (27/11/2023). Forum itu bagian dari upaya UE untuk menjaga pengaruh politiknya di kawasan tersebut, termasuk menjaga komunikasi UE-Palestina-Israel.
Episode baru
Sikap Belgia dan Spanyol menjadi episode terbaru bagaimana negara-negara anggota Uni Eropa tidak jarang memiliki sikap berbeda dengan organisasi payungnya. Sebagai sebuah organisasi supranasional, UE dinilai memiliki sikap yang satu. Akan tetapi, dalam menghadapi situasi di Palestina, tampaknya banyak negara memilih sikap yang tidak sama dengan UE.
Di Norwegia, sebuah rancangan undang-undang yang disahkan dengan mayoritas suara di parlemen meminta pemerintah untuk siap mengakui Palestina sebagai negara merdeka ketika pengakuan tersebut dapat berdampak positif pada proses perdamaian. Parlemen tidak menjadikan perjanjian perdamaian final sebagai syarat untuk pengakuan Palestina sebagai sebuah negara merdeka.
Beberapa hal ini adalah episode baru yang terjadi dalam tubuh UE. Sebelumnya, tak lama setelah serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober, Oliver Varhelyi, Komisioner Uni Eropa asal Hongaria, secara sepihak memberi pernyataan bahwa UE akan meninjau seluruh bantuan pembangunan Palestina senilai 729 juta dollar AS. Dia bahkan menyatakan pembayaran bantuan itu ditangguhkan.
Operasi militer harus menghormati hukum humaniter internasional. Pembunuhan warga sipil harus dihentikan sekarang. Terlalu banyak orang yang meninggal. Kehancuran Gaza tidak bisa diterima.
Hal itu langsung dibantah Komisi Eropa. Lembaga ini mengklarifikasi bahwa bantuan pembangunan akan terus mengalir. Komisi Eropa juga menyebut bahwa Varhelyi bertindak atas nama pribadi dan tidak mendapatkan afirmasi dari Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen untuk mengeluarkan pernyataan tersebut. Juru bicara Komisi Eropa, Eric Mamer, Kamis (19/10/2023), menyebut pernyataan itu tidak didahului dengan konsultasi kepada siapa pun di dalam komisi.
Hal yang sama terjadi pada Von der Leyen. Saat berbicara di Institut Hudson, lembaga pemikir konservatif di Washington, dia secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap hak Israel untuk mempertahankan diri dari serangan Hamas. Von der Leyen sama sekali tidak menyinggung posisi UE dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel, yaitu solusi dua negara.
Baca juga : Turbulensi di Uni Eropa
Protes pun muncul. Sebanyak 800 staf UE, dengan mengirimkan surat terbuka, memprotes pernyataannya dan menyebutnya sebagai bias. Apalagi, tak lama setelah serangan Hamas ke Israel, Von der Leyen langsung terbang ke Tel Viv dan menyatakan dukungan penuhnya terhadap Israel.
Judy Dempsey, peneliti senior nonresiden di lembaga Carnegie Europe, mengatakan, perang Hamas-Israel menjadi preseden buruk untuk ke sekian kalinya yang memperlihatkan ketidaksamaan pandangan UE terhadap Timur Tengah, khususnya konflik di Palestina. Menurut dia, perang di Gaza adalah ujian bagi UE.
Indikator yang paling jelas adalah ketika pemungutan suara di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 27 Oktober lalu. Dalam catatannya, sebanyak 14 negara anggota UE abstain, 4 negara menentang, dan 9 mendukung resolusi A/RES/ES–10/21 tersebut. Bagi dia, itu indikasi terpecahnya sikap UE.
”Hal ini menegaskan adanya perpecahan mendalam atas konflik yang berdampak pada keamanan Eropa dalam segala dimensinya. Jika para pemimpin UE tidak mengakui, hal ini akan membuat Eropa kurang aman, kurang stabil bagi warga negaranya. Ini pertanda buruk bagi benua Eropa dan negara-negara tetangganya,” kata Dempsey.
Progresif
Tidak hanya Belgia dan Spanyol yang memilih mengambil sikap lebih progresif di tengah perang di Gaza. Irlandia, negara anggota UE, juga memilih bersikap lebih tegas terhadap Israel, sekaligus pada Hamas. Seperti halnya Spanyol, Irlandia menilai operasi militer Israel berlebihan dan tidak sesuai dengan hukum humaniter internasional serta cenderung sebagai hukuman massal yang seharusnya hanya ditujukan pada Hamas.
Irlandia dan Spanyol, merujuk pada hasil penelitian Sinem Akgul-Acikmese, Kristina Kausch dan Soli Ozel yang diterbitkan Barcelona Center for International Affairs (CIDOB), masuk ke dalam negara-negara kelompok pertama yang mengedepankan penggunaan hak asasi manusia dan hukum internasional sebagai basis kebijakannya. Bersama Swedia dan Luksemburg, mereka dicap sebagai negara pro-Palestina.
Baca juga : EUBAM, Antara Cita-cita dan Realitas yang Gagap
Merujuk pada penelitian yang sama, Spanyol termasuk kelompok kedua sebagai negara yang menekankan pada keseimbangan dan hubungan baik Israel-Palestina. Di dalam kelompok ini ada Jerman, Perancis, dan Denmark. Adapun kategori ketiga adalah negara yang sejalan dengan Israel, yaitu Austria, Ceko, dan Hongaria. Bersama Kroasia, ketiga negara itu menolak resolusi SMU PBB saat pemungutan suara.
Hugh Lovatt, peneliti senior Timur Tengah, Hukum Internasional, dan Konflik Bersenjata Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, menyatakan bisa memahami banyak pandangan yang menyebut adanya standar ganda yang dilakukan negara-negara Barat, khususnya UE, terhadap konflik di Gaza dan di Ukraina. Standar ganda itu berujung pada adanya asumsi perpecahan di tubuh UE. Dalam batasan tertentu, menurut dia, persepsi itu terbukti.
”Setiap konflik memiliki ciri khas masing-masing. Namun, dari sudut pandang hukum internasional, terdapat kesamaan yang jelas (antara Ukraina dan Gaza), tidak hanya dalam persyaratan untuk meminimalkan kerugian terhadap warga sipil, tetapi juga tidak dapat diterimanya akuisisi wilayah dengan kekerasan,” katanya, dikutip dari laman El Pais.
Kontrol Israel yang sama di dalam wilayah pendudukan bertentangan dengan solusi dua negara.
Lovatt, dalam penelitiannya untuk ECFR pada 2015, mengatakan, ketegangan antara sejumlah pemimpin UE dan Israel terjadi karena kebijakan UE yang paradoks terhadap Israel. Di satu sisi, mereka UE ingin mempererat hubungan UE-Israel, melalui peningkatan hubungan ekonomi dan pembangunan. Di sisi lain, mereka juga ingin mengupayakan perdamaian.
Yang menjadi kendala adalah tindakan Israel yang terus mencaplok tanah Palestina, dan tidak jarang dengan ancaman atau bahkan kekerasan yang merenggut jiwa warga Palestina. UE sendiri, menurut penelitian yang dikerjakan Lovatt dan Mattia Toaldo, tidak mengakui kedaulatan Israel secara de facto terhadap berbagai wilayah pendudukan Palestina.
”Kontrol Israel yang sama di dalam wilayah pendudukan bertentangan dengan solusi dua negara (yang menjadi kebijakan UE),” tulis Lovatt dan Tialdo.
Oliver Stuenkel, profesor di Sekolah Hubungan Internasional di Getúlio Vargas Foundation, Brasil, menyatakan, keragu-raguan negara-negara Barat, termasuk UE, untuk mengkritik situasi di Gaza dan penderitaan rakyat Palestina memicu persepsi bahwa hukum internasional tumpul pada mereka yang melanggarnya. ”Persepsi yang muncul undang-undang ini tidak berlaku secara universal, tetapi selektif,” kata Stuenkel.
Untuk mengubah kebijakan UE secara umum dan menghilangkan persepsi perpecahan, mau tidak mau harus ada keputusan bersama di tingkat para pengambil kebijakan. Uni Eropa mengenal dua cara pengambilan keputusan, yakni suara terbanyak dan suara bulat. Suara bulat diperlukan di Dewan Eropa dan Dewan UE. Sementara suara terbanyak bisa dipakai di Parlemen Eropa.
Baca juga : China dan Angan Perdamaian di Palestina
Dewan Eropa, yang terdiri dari kepala pemerintahan atau kepala negara anggota UE, merupakan penentu utama kebijakan. Dewan ini menetapkan kebijakan umum dan lazimnya bertemu setiap tiga bulan di Brussels, Belgia.
Adapun perincian kebijakan disusun dan diusulkan oleh Komisi Eropa. Usulan komisi disampaikan ke Dewan UE dan Parlemen Eropa. Dewan UE terdiri dari para menteri di pemerintahan masing-masing anggota UE. Dewan ini terdiri atas berbagai kompartemen, sesuai dengan ragam departemen atau kementerian di pemerintahan setiap anggota UE.
Dewan UE secara rutin bertemu dan keketuaannya digilir setiap enam bulan di antara anggota UE. Bersama Parlemen Eropa, Dewan UE praktis menjadi pengambil keputusan tertinggi UE. Setiap keputusan yang disetujui Dewan UE praktis hanya perlu disahkan secara formal oleh Dewan Eropa.
Lovatt mengatakan, warga EU banyak yang mengecam tindakan Rusia terhadap Ukraina. Namun, ketika melihat situasi di Gaza, reaksinya tidak sama. ”Hal ini menambah persepsi standar ganda dan melemahkan Eropa yang selama ini mendefinisikan dirinya sebagai pembela nilai-nilai tertentu dan sering kali memberikan kesan mereka tidak melakukan hal yang sama. Menceramahi orang lain mengenai masalah ini, tetapi tidak selalu menunjukkan konsistensi,” kata Lovatt.