Perjuangan Para Penjaga Jaringan Komunikasi Gaza
Selain makanan dan obat-obatan, akses komunikasi juga penting agar dunia luar tahu apa yang sedang terjadi di Gaza. Masalahnya, sinyalnya labil, kadang hidup kadang menyala sehingga membuat Gaza terputus dari dunia luar.
Sekitar pukul 22.00, Pusat Operasi Jaringan di Perusahaan Telekomunikasi Palestina (PalTel) menyuruh Ahmad -salah satu karyawan PalTel- mengecek jaringan komunikasi di Gaza. Ada laporan pusat data utama di Distrik Sheikh Radwan di Kota Gaza mati listrik. Ini kabar buruk karena bisa mematikan seluruh arus komunikasi di Gaza.
Berangkatlah Ahmad saat itu juga ke pusat data utama yang berada di tengah-tengah medan pertempuran Israel dengan kelompok Hamas. Ahmad berisiko membahayakan nyawanya sendiri karena harus melintasi kota di saat Israel gencar mengebom dari udara. Berharap aman dari serangan Israel, Ahmad menumpang ambulans yang kebetulan lewat.
Baca juga: Asa Perpanjangan Jeda Kemanusiaan di Gaza
“Saya bilang ke sopir ambulans, kalau saya tidak bisa menghidupkan mesin generator yang mati, orang-orang tidak akan bisa menjangkau warga sipil yang terluka. Kami ini tidak kalah pentingnya dengan tenaga medis. Panggilan telepon bisa menyelamatkan nyawa,” kata Ahmad kepada Al Jazeera pada Selasa (21/11/2023). Nama responden-responden yang dihubungi Al Jazeera bukan nama sebenarnya karena alasan keamanan.
Sesampainya di pusat data utama, jarum jam telah menunjukkan pukul 02.00. Ahmad pun segera memperbaiki mesin generator pusat data. Meski bisa cepat ditangani, dia tetap tinggal di dalam gedung sampai matahari terbit. Setelah cahaya pagi menyinari tanah, ia pun menyelinap di antara puing-puing bangunan untuk bisa pulang ke rumah dengan selamat. Bekerja dengan risiko tinggi seperti itu mau tak mau harus dilakukan Ahmad untuk menghidupi keluarganya.
Kisah Ahmad ini dialami hampir semua karyawan PalTel yang berjumlah 750 orang. Harus bekerja di tengah ancaman pengeboman, pengungsian, dan kematian. Semua demi menjaga agar jaringan telekomunikasi tetap beroperasi.
Kekhawatiran Ahmad beralasan karena sampai sejauh ini setidaknya ada lima karyawan PalTel di Gaza yang tewas dalam serangan Israel. Banyak juga karyawan yang kehilangan anggota keluarganya, termasuk istri dan anak.
Pekerja kemanusiaan dan wartawan mengatakan pengoperasian jaringan komunikasi di Gaza sangat penting untuk layanan penyelamatan dan untuk mendokumentasikan realitas kondisi di lapangan kepada dunia luar. Video-video kiriman dari Gaza seperti upaya penyelamatan warga sipil yang terperangkap di bawah puing-puing bangunan membuat dunia terkejut dan mulai menggalang dukungan.
Baca juga: China dan Angan Perdamaian di Palestina
Tetapi kabar dari Gaza tersendat-sendat karena Israel sempat memutuskan aliran listrik Gaza. Meski kekurangan listrik dan pengeboman terus-menerus, jaringan telekomunikasi Gaza bisa tetap beroperasi selama hampir enam minggu. CEO PalTel Abdul Majeed Melhem mengatakan hal ini karena pihaknya sudah mempersiapkan diri selama 15 tahun untuk menghadapi kemungkinan terjadinya konflik seperti saat ini.
Salah satu langkah mitigasi adalah dengan menyiapkan infrastruktur Gaza untuk kondisi darurat. “Kami sering menghadapi kasus-kasus seperti ini saat perang sehingga kami bisa memberi perlindungan lebih baik dibandingkan operator lain,” ujarnya.
Mitigasi
Jaringan PalTel di Gaza dibangun selama pengepungan Israel terhadap Gaza. Artinya, setiap peralatan yang digunakan PalTel harus mendapatkan izin dari otoritas Israel sebelum boleh masuk Gaza sehingga jika perlu perbaikan maka prosesnya tidak mudah. Perang yang berulangkali terjadi di Gaza dan serangan bom oleh Israel merusak infrastruktur sipil, PalTel membangun jaringan telekomunikasinya dengan mengubur kabel optik hingga sedalam 8 meter.
Sebagai perbandingan, jaringan telekomunikasi yang lain mengubur kabelnya hanya sedalam 60 sentimeter. Ketika Israel memutus aliran listrik, pusat data PalTel di Gaza sudah siap dengan sumber energi cadangan untuk mesin generator, yaitu panel surya dan baterai.
Protokol darurat lainnya adalah mengarahkan pekerja dari jarak jauh atau dari wilayah Tepi Barat. Tetapi jika ini juga tidak bisa maka ada karyawan yang tinggal di Gaza yang diberi wewenang bertindak secara mandiri.
Meski sudah siap dengan kondisi terburuk, tetap saja PalTel kewalahan karena tingginya intensitas pengeboman Israel beberapa pekan terakhir hingga akhirnya melumpuhkan 70 persen jaringan PalTel. Panel surya juga tidak bisa diharapkan karena hancur dalam serangan. Kalau tidak hancur, tertutup debu dan puing.
Baca juga: Hamas Telah Bebaskan 40 Warga Israel
Salah satu teknisi serat optik, Rabih, diminta untuk memperbaiki kabel hanya beberapa meter dari garis perbatasan pada 15 Oktober lalu. Sebelum berangkat, dia harus memberikan daftar lengkap nama-nama anggota tim perbaikan, warna mobil, dan nomor karyawan kepada Israel. Selama dua jam bekerja, Rabih dan timnya bekerja dalam suasana tegang karena ada pesawat tanpa awak yang mondar-mandir di atas kepala. Suara tembakan bercampur dengan suara ekskavator membuat mereka makin senewen.
“Salah sedikit saja bisa jadi sasaran. Mau tak mau harus saya yang melakukan karena tidak ada yang bisa dan mau bekerja di tengah perang,” ujarnya.
Mohammed, karyawan di Pusat Operasi Jaringan di Tepi Barat, mengaku tidak bisa memaksa teman-temannya yang takut keluar rumah ketika Israel sedang membombardir Gaza. Yang bisa dia lakukan adalah meminta para karyawan untuk secara sukarela memperbaiki masalah jaringan. Dia akan terus menghubungi mereka selama proses perbaikan untuk memantau pekerjaan dan kondisi anak buahnya.
Baca juga: Perang Narasi Gaza di Dunia Maya
“Kalau bisa segera cepat diselesaikan. Saya tidak bisa membayangkan mereka bisa berani keluar rumah. Kalau saya yang ada di Gaza, saya tidak akan mau melakukannya,” ujarnya.
Kontrol Israel
Tidak peduli berapa kedalaman kabel atau jumlah panel surya yang dipasang, koneksi Gaza dengan dunia luar pada akhirnya bergantung juga pada Israel. Pasalnya, kabel yang menghubungkan Gaza dengan dunia luar melewati Israel dan Israel pernah dua kali dengan sengaja memutus komunikasi internasional di jalur itu. Selain jaringan telekomunikasi, Israel juga mengontrol pasokan bahan bakar yang masuk ke Gaza.
PalTel mendapatkan 20.000 liter bahan bakar setiap dua hari sekali untuk menjaga agar mesin generator tetap hidup. Ini kembali menunjukkan akses komunikasi dari Gaza berada dalam genggaman Israel. Tanpa akses komunikasi, kondisi di Gaza dikhawatirkan akan memburuk karena tidak akan ada ambulans, layanan darurat, atau organisasi kemanusiaan yang bisa bekerja tanpa telekomunikasi.
Kondisi yang serba tidak pasti dan belajar dari pengalaman konflik-konflik sebelumnya, membuat masyarakat Gaza tak kehilangan akal untuk tetap aktif secara daring dan berkomunikasi dengan dunia luar.
Media digital VICE, 22 November lalu, menyebutkan komunikasi sangat penting untuk memberikan informasi terbaru kepada keluarga di luar Gaza dan terhubung dengan layanan darurat. Penggunaan eSIM atau kartu non fisik yang bisa mengaktifkan ponsel di jaringan seluler menjadi solusi yang lumayan bagi warga Gaza. Masalah telekomunikasi di Palestina sudah buruk bahkan sebelum pengeboman Israel sejak 7 Oktober lalu.
Direktur Kebijakan dan Advokasi Access Now untuk hak-hak digital di Timur Tengah dan Afrika Utara, Marwa Fatafta, mengatakan telekomunikasi di wilayah Palestina sudah buruk sejak lama. Sejak lama Israel membatasi jenis teknologi yang boleh diakses warga Gaza.
Baca juga: Mesir Isyaratkan Kemungkinan Perpanjangan Jeda Kemanusiaan di Gaza
Telekomunikasi Palestina tidak diberi kemampuan untuk meningkatkan kualitas jaringan dan masih beroperasi di jaringan 2G sehingga koneksi selulernya sangat lambat dan tidak aman. “Tepi Barat saja baru ditingkatkan dari 2G ke 3G pada tahun 2018 setelah 12 tahun negosiasi antara Palestina dan Israel,” ujarnya.
Solusi
Beberapa tahun terakhir, warga Gaza menemukan solusi unik, eSIM atau versi digital dari kartu SIM yang biasa kita kenal. Kartu eSIM ini bisa dipindahkan antarperangkat menggunakan kode khusus sehingga tidak perlu lagi kartu fisik untuk bisa memakai ponsel dan terhubung dengan jaringan.
Hanna Kreitem dari Internet Society menjelaskan orang-orang di luar Gaza yang membantu mencarikan eSIM lalu mengirimkannya ke Gaza. Idenya, warga Gaza akan mengaktifkan eSim di ponsel mereka dan terhubung ke menara seluler di luar Gaza agar tetap bisa online.
Pembeli pertama-tama memilih eSIM prabayar dari operator seperti Simly, Holafly, atau Nomad yang menjual eSIM dengan harga antara Rp 62.000 hingga Rp 930 ribu, tergantung pada jumlah data yang diinginkan. Pembeli kemudian dikirimi kode QR untuk mengaktifkan SIM digital. Kode QR itu dikirim ke alamat email orang di luar Gaza dan mendistribusikannya ke masyarakat di Gaza. Penerima kemudian memindai dan mengaktifkan kode itu dengan aplikasi tertentu.
Baca juga: Terowongan, Penentu Perang Hamas-Israel
Tetapi dengan eSIM juga bukan jaminan bisa berkomunikasi terus karena itu pun tergantung pada kualitas sinyal dan sinyal internet di Gaza sangat buruk. Banyak yang sampai harus mencari sinyal di atas atap rumah atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain agar bisa menangkap sinyal yang lemah. Dan, itu juga berisiko tinggi karena penembak jitu dan ancaman rudal Israel ada dimana-mana.
“Ini solusi yang untung-untungan saja karena memanfaatkan luberan sinyal dari menara operator di Israel dan Mesir. eSIM ini bukan hanya tergantung pada sinyal juga tetapi hanya bisa dipakai jika punya ponsel yang kompatibel dengan kartu eSIM. Situasinya serba sulit,” kata Fatafta. (AFP/AP)