China Menjawab Taktik ”Devide et Impera” AS
Hal yang diperlukan AS sekarang ini, menurut Werner, adalah memberikan China ruang untuk beberapa urusan global dan berkolaborasi secara ”win-win”.
”Ketika Anda melihat hubungan Rusia-China ’tanpa batas’, Anda sekaligus mulai melihat beberapa keterbatasan pada relasi dua negara tersebut.” Demikian dikatakan Rick Waters, Direktur Pelaksana Grup Eurasia, perusahaan konsultan. Waters adalah mantan Wakil Asisten Menlu AS untuk Urusan China dan Taiwan.
Waters mengatakan, China kemungkinan beranjak menuju posisi AS tentang invasi Ukraina dan isu Timur Tengah. Alasan Waters, China ingin Ukraina dan Timur Tengah terhindar dari kekacauan. Beijing mungkin akan mempertimbangkan kembali aliansinya dengan Rusia, menurut Waters.
”Saya kira China ingin kedamaian dalam dua konteks tersebut dan China sedikit gugup. Saya pikir tentang konflik Jalur Gaza, secara pribadi saya mulai melihat beberapa indikasi bahwa China telah mempertimbangkan kepentingannya terhadap Iran,” kata Waters, yang memiliki spesialisasi isu China, kepada The South China Morning Post, 22 November 2023.
Baca juga : China Tampaknya Bisa Atasi Militer AS di Asia (Bagian 1)
Iran dipersepsikan mendukung Hamas. Dalam konteks ini, Waters melihat China akan mempertimbangkan posisi atau kepentingan Iran. Dalam pandangan Waters, China tidak ingin kebijakan luar negerinya yang mendambakan perdamaian global menjadi terganggu.
Waters juga menyinggung kedekatan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan Korea Utara, apalagi Rusia membantu perkembangan teknologi persenjataan untuk Korea Utara. ”Ada ketidakpuasan yang jelas di Beijing, setidaknya di kalangan akademisi dan beberapa pejabat tingkat rendah, mengenai gagasan bahwa Putin mungkin sedang mempermainkan halaman belakang mereka,” kata Waters, merujuk pada Korut.
Susan Thornton, mantan Asisten Menlu AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik dan sekarang Direktur Proyek Forum Keamanan Asia-Pasifik NCAFP (National Committee on American Foreign Policy), mengatakan, China mungkin juga ingin mengendalikan ketegangan di sekitar Korea Utara dan Taiwan.
Intinya, Waters dan Thornton menilai China melihat AS sebagai kesempatan mengekang Putin, termasuk demi kestabilan di Korut dan Taiwan. Namun, sangat mudah untuk menarik dugaan kesimpulan awal bahwa pernyataan Waters dan Thornton adalah kampanye sumir atau melakukan taktik insinuasi untuk memecah Rusia dan China.
Ada ketidakpuasan yang jelas di Beijing, setidaknya di kalangan akademisi dan beberapa pejabat tingkat rendah, mengenai gagasan bahwa Putin mungkin sedang mempermainkan halaman belakang mereka.
Saat berkunjung ke Afrika pada Januari 2023, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, ”Sangat menyedihkan bahwa sebagian besar inisiatif kebijakan luar negeri Eropa dan Barat masih didasarkan pada mentalitas neokolonial, logika neokolonial berdasarkan prinsip devide et impera.”
Mudah juga untuk melihat, pernyataan Waters dan Thorntorn adalah bagian dari taktik devide et impera atau adu domba. Presiden AS Joe Biden telah berulang kali meminta China menekan Rusia dan Korut. Untuk Upaya tersebut, Biden juga pernah mencoba melakukan cara lain untuk menekan China.
Seperti dikutip Reuters, 7 Juli, Biden mengingatkan China bahwa perekonomian China bergantung pada investasi Barat. Biden mengingatkan China tentang kasus Rusia. Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, sebanyak 600 korporasi AS telah keluar dari Rusia. Biden melanjutkan agar China berhati-hati atas dukungannya pada Rusia dan Korut. Dengan kata lain, kelangsungan investasi AS dan Barat di China bisa terancam.
Cara pandang berbeda
Tampaknya tidak mungkin China bergantung pada peran AS untuk mewujudkan kestabilan global dan demi mendukung kebijakan luar negeri China, yang memang bertabrakan. Pernyataan Waters dan Thornton menempatkan seakan-akan AS adalah pihak yang dibutuhkan China untuk kepentingan luar negeri China sendiri.
China bukan negara tanpa pemikiran matang dan tidak buta melihat persoalan global. Jake Werner, pakar sejarah China modern di Quincy Institute for Responsible Statecraft, pada 22 Maret 2023 menuliskan artikel berjudul ”Biden Doesn’t Need to Keep Pushing Xi and Putin Closer” di situs The Nation. Werner menyatakan, dalam konteks sekarang ini, AS dan China menyadari perbedaan yang terjadi di antara mereka sendiri. Perbedaan itu membuat keduanya tidak bisa akur, bahkan membuat keduanya relatif sulit mencapai berbagai hal walaupun itu menjadi tujuan bersama.
Baca juga : AS-China Mencari Titik Temu
Perbedaan, antara lain, terletak pada aspirasi China bahwa tatanan dunia harus berubah, tidak hanya didominasi Barat. China ingin turut berkontribusi dalam banyak masalah dunia secara berimbang. Kekuatan ekonomi China telah memampukan penguatan militer sehingga tidak mudah untuk didikte.
Penekanan ini telah ditegaskan lagi oleh Presiden Xi Jinping dalam pertemuan dengan Biden di Woodside, California, 15 November. China dan AS adalah setara. Xi menyatakan, untuk status kesetaraan, tidak mungin satu negara harus memiliki ideologi yang sama atau kalimat tegasnya, tidak perlu China meniru sistem AS. Pernyataan ini merupakan refleksi penolakan China atas segala keinginan AS dalam berbagai urusan.
Fakta-fakta lain juga menunjukkan AS terus mencoba menekan China dari berbagai sudut agar takluk pada AS, termasuk agar tidak memberi dukungan pada Rusia dan Korut. Upaya AS ini tidak berubah hingga pemerintahan Biden, termasuk taktik isu kemerdekaan Taiwan yang sangat menjengkelkan bagi China.
Hubungan diperkuat
Tentu China tidak menginginkan kekacauan di Ukraina. Akan tetapi, China sangat memahami, kejengkelan Rusia terhadap Barat yang berujung invasi atas Ukraina berakar pada AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang merangsek ke halaman belakang Rusia, yakni Ukraina. China melihat bukan NATO, melainkan AS, yang ingin mempertahankan sistem unipolar di tengah posisi kekuatan geopolitik dunia yang sudah berubah. China tidak melihat Korut sebagai ”mainan” Rusia. China-Rusia bahkan berkolaborasi kuat, termasuk lewat pameran kekuatan militer dan terbang bersama hingga ke dekat Aleutian, wilayah AS di Alaska.
Tentu China juga tidak menginginkan kekacauan di Timur Tengah. Karena itulah, China mencoba mendamaikan pihak-pihak yang bertikai di Jalur Gaza. AS-lah yang dinilai China selalu bertindak sepihak di Timur Tengah.
Baca juga : China Bantu Pemulangan Prajurit Amerika Serikat yang Kabur ke Korut
Ancaman Biden yang disampaikan pada Xi, bahwa investasi AS di China bisa terancam jika tidak tunduk, juga mirip ”jauh panggang dari api”. Setelah ancaman Biden tersebut, China malah menegaskan akan memata-matai investasi asing yang berbisnis di China. Ini menunjukkan China tidak khawatir dengan hengkangnya investasi AS walau menyatakan bahwa relasi ekonomi kedua negara tetap akan saling menguntungkan.
Hal yang diperlukan AS sekarang ini, menurut Werner, adalah memberikan China ruang untuk beberapa urusan global dan berkolaborasi secara win-win. Jika ini tidak dilakukan, strategi AS akan menemui kebuntuan, menurut Werner.
Xi sebelumnya sudah menyatakan bahwa relasi China-Rusia sesolid batu karang setelah invasi Rusia atas Ukraina. Saat kunjungan Ketua Duma (Parlemen) Rusia Vyacheslav Volodin di Biejing, 22 November, Xi menekankan lagi pentingnya peningkatan relasi China-Rusia. Xi bahkan menegaskan, sangat penting bagi kedua pihak untuk memastikan relasi berkembang lebih lanjut. (AP/AFP/REUTERS)