Negosiasi pembebasan sandera membuka harapan baru. Sementara itu Israel tetap menyerang Gaza tanpa henti.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
GAZA, SENIN – Negosiasi pembebasan sejumlah warga Israel dan warga asing yang disandera Hamas terus berlangsung. Negosiasi itu merupakan salah satu harapan yang dapat dilakukan untuk meredakan perang. Qatar menjadi penengah dalam negosiasi tersebut. Kompensasi dari pembebasan sandera itu adalah gencatan senjata selama tiga hari.
Jeda tersebut, menurut seorang pejabat yang terkait negosiasi, Senin (20/11/2023) diarahkan untuk memperlancar arus pengiriman bantuan bagi warga Palestina di Gaza. Saat ini, diyakini masih ada sekitar 240 sandera dalam tawanan Hamas. Mereka ditahan Hamas menyusul serangan ke Israel pada 7 Oktober lalu.
Saat ini, di tengah upaya negosiasi itu, Israel terus memperluas serangan ke sejumlah wilayah di luar Gaza utara. Sementara itu, sayap militer Hamas membalasnya dengan perang gerilya di perkotaan.
Kelompok Hamas juga mencoba memasuki kamp pengungsi Jabalia, kamp pengungsi terbesar di Gaza pada Minggu (19/11/2023) waktu setempat. Para saksi mata melaporkan pertempuran sengit pada Sabtu malam terjadi antara kelompok Hamas dan pasukan Israel yang berusaha maju ke Jabalia. Kamp pengungsian yang ada sejak perang Israel-Arab tahun 1948 itu sekarang menjadi tempat perlindungan sekitar 100.000 orang.
Israel berulang kali menyerang Jabalia dengan bom. Menurut petugas medis Palestina, serangan itu telah menewaskan banyak warga sipil. Israel mengklaim serangan itu diarahkan untuk melumpuhkan personel Hamas yang bersembunyi di wilayah tersebut.
Negosiasi pembebasan sandera
Di tengah pertempuran yang terus berkecamuk di Gaza, para pejabat Amerika Serikat dan Israel mengatakan kesepakatan untuk pembebasan sandera semakin dekat. Qatar menjadi penengah dalam negosiasi tersebut. Saat ini, diyakini masih ada sekitar 240 sandera dalam tawanan Hamas sejak serangan ke Israel pada 7 Oktober lalu.
Qatar telah mengupayakan kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk menukar 50 sandera sebagai imbalan atas jeda serangan selama tiga hari. Jeda ini dimaksudkan untuk memperlancar arus pengiriman bantuan darurat ke warga sipil Gaza. Keterangan tentang isu pembebasan sandera itu dikutip Reuters dari seorang pejabat yang mendapat penjelasan tentang pembicaraan tersebut.
Pejabat yang tak disebutkan identitasnya itu mengatakan garis besar kesepakatan telah disepakati, tetapi Israel masih merundingkan rinciannya. Sejauh ini, upaya Qatar telah berhasil membebaskan empat tawanan. Sandera kelima, seorang tentara, diselamatkan dalam operasi Israel.
Pekan lalu, Tentara Israel mengatakan pihaknya telah menemukan dua jenazah sandera wanita di Gaza. Sementara tekanan dari dalam Israel untuk pembebasan tawanan semakin tinggi. Ribuan orang berunjuk rasa di Tel Aviv. Mereka menuntut Pemerintah Israel segera membebaskan sandera. Unjuk rasa menuntut pembebasan sandera Hamas juga terjadi di beberapa kota di dunia.
Pada Minggu, Presiden AS Joe Biden mengatakan akan ada jeda yang signifikan dalam perang Israel-Hamas jika sandera dibebaskan oleh Hamas.
Sebagian besar hambatan negosiasi yang tersisa hanyalah masalah praktis dan logistik.
Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman al-Thani mengatakan hambatan utama terhadap kesepakatan sudah sangat kecil. Sebagian besar hambatan negosiasi yang tersisa hanyalah masalah praktis dan logistik. Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Jordania Ayman Safadi, yang menghadiri konferensi Bahrain, menilai mengaitkan jeda kemanusiaan dengan pembebasan sandera tidak dapat diterima.
Pembicaraan tentang isu pembebasan sandera bertepatan dengan persiapan Israel memperluas serangannya terhadap Hamas. Persiapan serangan ini ditandai dengan peningkatan serangan udara pada sasaran yang dianggap Israel sebagai markas sayap militer Hamas.
Pihak AS, sebagai sekutu utama Israel memperingatkan agar tidak memulai operasi tempur di wilayah selatan tanpa mempertimbangkan keselamatan warga sipil Palestina. Penduduk Gaza dilaporkan mengalami trauma setelah harus berpindah-pindah sejak awal perang. Mereka sempat berlindung di rumah sakit atau berjalan dengan susah payah dari utara ke selatan.
Beberapa di antaranya harus kembali lagi untuk menghindari serangan. Pemerintahan Hamas di Gaza mengatakan setidaknya 13.000 warga Palestina telah tewas dalam pemboman Israel sejak 8 Oktober lalu. Sebanyak 5.500 dari korban tewas itu adalah anak-anak.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres kembali menyerukan gencatan senjata atau jeda kemanusiaan segera karena jumlah korban tewas semakin banyak. “Jumlah korban warga sipil di Gaza sangat mengejutkan dan tidak dapat diterima,” katanya.
Israel nyaris tak pernah memedulikan seruan PBB. Sebelumnya, pihak Israel berulang kali mengatakan menolak mengindahkan seruan gencatan senjata sebelum semua sandera dibebaskan.
Melalui media sosial dalam bahasa Arab, militer Israel pada hari Minggu mendesak penduduk di beberapa lingkungan Jabalia untuk mengungsi ke selatan. Instruksi itu disertai peringatan "untuk menjaga keselamatan Anda" serta informasi penghentian sementara aksi militer dari jam 10 pagi sampai jam 2 siang. Setelah “jeda” berakhir, 11 warga Palestina di Jabalia tewas akibat serangan udara Israel, demikian pernyataan Kementerian Kesehatan di Jabalia. (AP/AFP/REUTERS)