Relasi Biden-Xi Seharusnya Tidak Sepelik Era Nixon-Mao
AS kini lebih mudah mendekati China. Tidak sesulit yang pernah dialami Penasihat Keamanan Nasional AS Henry Kissinger yang butuh waktu tahunan untuk bisa mempertemukan Richard Nixon dengan Mao Zedong tahun 1972.
Kisah perjalanan Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat, Henry Kissinger, terlihat sangat berat dan berliku saat akan menemui Pemimpin China Mao Zedong pada 1970-an. Kissinger, misalnya, harus menggunakan jasa diplomat Pakistan untuk bisa bertemu langsung dengan Mao.
Upaya itu butuh waktu tahunan, mulai akhir dekade 1960-an hingga awal dekade 1970-an. Begitu ada kesempatan bertemu, Kissingger berkisah ia ”dipingpong”.
Kissinger diawasi ketat oleh aparat China di Beijing. Ironisnya, saat itu ia justru berstatus sebagai tamu negara dengan niat mempertemukan Mao dan Presiden Richard Nixon.
Karena jengkel dengan perlakuan itu, Kissinger berkata kepada Perdana Menteri China Zhou Enlai. ”Jika Anda datang ke Washington sebagai tamu, saya tidak akan tega memperlakukan Anda seperti yang saya alami, duduk berjam-jam tanpa ada informasi, dan Anda tidak akan diganggu oleh siapa pun.”
Baca juga: Diplomasi Pingpong Amerika dan Perjalanan Rahasia Kissinger ke Beijing
Akhirnya Kissinger bertemu juga dengan Mao. Kissinger bertemu figur mirip Charles de Daulle, negarawan dan pejabat militer Perancis yang menghadapi NAZI Jerman. Pembicaraan bersama Mao berlangsung dengan gaya Socratik, merujuk pada Socrates, filsuf Yunani.
Kissinger mengenang kata-kata Mao: ”Kalian orang Amerika mengingatkan saya pada burung layang-layang yang terbang di udara saat badai mendekat. Tetapi, Anda profesor, dan saya sama-sama tahu bahwa kepakan sayap tidak memengaruhi datangnya badai.”
Akan tetapi, badai besar tak datang. ”Dua burung” relatif tetap bisa terbang bersama. Nixon akhirnya bertemu Mao di Beijing dalam kunjungan ke China, 21–28 Februari 1972. Ia adalah Presiden AS pertama yang berkunjung ke China.
Joe Renouard, profesor sejarah di The Citadel, Charleston, South Carolina, menuliskan bahwa pertemuan Nixon-Mao menjadi dasar pemulihan hubungan diplomasi penuh AS-China pada 1979.
Faktor ”homo economicus”
Selanjutnya hubungan AS-China relatif mulus sejak era Deng Xiaoping-Jimmy Carter. Deng juga relatif berhubungan mulus pada era Ronald Reagan. George HW Bush, Bill Clinton, George W Bush, hingga Barack Obama. Mereka bahkan disebut sebagai best friends bagi China.
Situasi agak berubah seiring berjalannya waktu. Donald Trump memicu ”jebakan Thucydides”, di mana dua negara terkuat dunia berpotensi terjebak perang karena persaingan.
Baca juga: Ketegangan AS-China dan Jebakan Thucydides
Ketika maju sebagai calon presiden AS pada 2016, Trump memakai opini ekonom Peter Navarro untuk mencuatkan citra China sebagai penghancur basis produksi AS sehubungan dengan relokasi investasi AS ke China. Navarro kemudian bahkan ditunjuk sebagai penasihat dagang Trump dengan tindakan yang melahirkan perang dagang.
Hubungan AS-China relatif mulus sejak era Deng Xiaoping-Jimmy Carter, juga pada era Ronald Reagan. George HW Bush, Bill Clinton, George W Bush, hingga Barack Obama. Mereka bahkan disebut sebagai ”best friends ” bagi China.
Ekonom AS dari Yale University, Stephen S Roach, mempertanyakan kredibilitas Navarro sebagai ekonom. Pemakaian narasi Navarro oleh Trump dicap sebagai politisasi atas sentimen negatif China yang memang bersambut bagi mayoritas warga AS. Akan tetapi, politisasi itu tidak memiliki legitimasi kuat.
Trump tidak sepenuhnya anti-China dari hati terdalamnya. Harian AS, The New York Times, 20 Agustus 2016, menuliskan sebuah perusahaan Trump di Manhattan, New York, berutang 950 juta dollar AS. Bank of China adalah pemasok terbesar di balik pinjaman tersebut.
Harian Inggris, Daily Mail, 17 Oktober 2016, menuliskan bahwa meski Trump menyatakan China sebagai musuh, Trump Hotel Collection (THC) bernegosiasi dengan State Grid Corporation of China untuk mengelola pembangunan berskala besar di Beijing. Intinya, hubungan bilateral yang terkesan buruk di permukaan tidak selalu menggambarkan relasi buruk pula di antara perusahaan-perusahaan kedua negara.
Hal serupa diduga berlangsung dengan Presiden Joe Biden. Hunter Biden, putra Biden, mengembangkan relasi bisnis dengan Jonathan Li, bankir China, saat Jo Biden menjabat sebagai Wapres AS pada era Obama.
Trump dan Biden saling tuding soal koneksi bisnis dengan China. Biden membantah putranya mendapatkan keuntungan bisnis di China. ”Adalah Trump yang dapat untung dari bisnis dengan China,” kata Biden. Trump sendiri bersama Departemen Kehakiman AS disebut pernah gencar mengusut koneksi bisnis Hunter Biden di China (CBS News, 15 November 2023).
Akan tetapi, di atas semua itu, China adalah negara dengan bisnis yang menggiurkan bagi korporasi-korporasi raksasa AS. Aspek homo economicus berjaya di antara kedua negara karena China bukan seperti Uni Soviet yang tidak mengandalkan mekanisme pasar. Mekanisme ini dijalankan sejak era Deng Xiaoping yang memulai reformasi ekonomi pada 1978.
Mengenang Nixon
Seperti dituliskan Robert Daly, pengelola Kissinger Institute on China and the United States di Wilson Center, ”Beda China dengan Uni Soviet, China bukan hanya negara dengan kekuatan militer, tetapi juga memiliki konsumen besar.” Ia menambahkan, China dan AS saling tergantung hingga ke sektor ekonomi, tidak seperti AS dengan Uni Soviet.
Permasalahan terjadi tentu juga karena China semakin kaya dan kuat. China menjalankan ”diplomasi serigala” karena menilai AS sudah keterlaluan memojokkan China di panggung internasional. Falsafah diplomasi ”tunggu waktumu, hingga masanya tiba” saat era Deng tampaknya terwujud pada era Xi Jinping. Di bawah Presiden Xi Jinping, tidak berlaku lagi sikap tunduk seperti Jepang yang tunduk pada AS. Xi meninggalkan sikap menurut di era Deng, Jiang Zemin, dan Hu Jintao.
Di bawah Presiden Xi Jinping, tidak berlaku lagi sikap tunduk China, seperti Jepang yang tunduk pada AS. Xi meninggalkan sikap menurut di era Deng, Jiang Zemin, dan Hu Jintao.
Seperti kata Wang Yi, Menteri Luar Negeri China, pihak AS tidak bisa mewujudkan kalimat indah tentang relasi indah dalam kenyataannya di antara kedua negara. AS hingga di bawah Biden tetap menarasikan tuduhan pada China sebagai negara otoriter dan bahwa Xi seorang diktator. Tuduhan ini sangat gencar dikampanyekan tanpa didasari pemahaman luas akan keunikan nilai-nilai kedua negara dan relasi positif di balik relasi bagus.
Meski demikian, China senang mengenang jasa Nixon. Ini secara implisit menunjukkan China tidak melupakan guangxi yang dirintis Nixon.
”Tahun ini ditandai dengan 50 tahun kunjungan Presiden Richard Nixon ke China…. Sejarah berbicara. Hal itu membuat kita menjadi seperti sekarang ini, dan membuka jalan bagi masa depan yang lebih baik ketika nilai-nilai di baliknya dihargai,” demikian ucap Wang Yi pada 22 September 2022.
Mengubah China berpenduduk 800 juta jiwa pada 1972 dari potensi bencana menjadi hal positif bagi dunia, itulah misi Nixon. Ia ingin menyelamatkan China dari efek buruk Revolusi Kebudayaan. China mengapresiasi hal baik dari China.
Perlu kebersamaan
Merajut masa depan yang baik lewat kebersamaan meski jebakan Thucydides tidak sirna, itulah keinginan bilateral dan juga keinginan dunia tentang relasi AS-China. Tak pelak lagi, isu rangkaian pertemuan para pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di San Francisco pada 11-17 November 2023, tenggelam oleh pertemuan Xi-Biden.
Pertemuan bilateral AS-China pada 15 November 2023 di Woodside, California, wilayah selatan San Francisco, menjadi berita yang disambut dunia. Jika dua negara ini rujuk dan berelasi mulus, banyak prahara global yang akan lebih mudah dibahas.
Seperti kata Xi dalam pertemuan itu, dunia ini terlalu luas untuk diatasi bersama-sama. Amat perlu bagi kedua negara untuk tidak saling menaklukkan, tidak saling menekan, dan tidak saling menunjukkan keunggulan nilai-nilainya sendiri. Amat perlu dua negara ini tidak menjadi pemimpin bagi blok China atau blok AS.
Baca juga: Diplomasi ”Dan Dan, Tan Tan” di Pertemuan Xi-Biden
Biden menyambut simbolik dengan kalimat, persaingan dalam pandangan AS juga tidak serta-merta menjadi jalan menuju konflik. Dan Biden secara simbolik pula menghadirkan rombongannya yang bernada rekonsiliasi seperti dinyatakan CNBC, 15 November 2023.
Dalam jajaran delegasi Biden pada pertemuan itu, ada Menteri Keuangan Janet Yellen yang berkali-kali menyatakan decoupling bukan pilihan AS. Dalam delegasi itu, juga ada Menteri Perdagangan Gino Raimondo yang sarkastis tentang China akhir-akhir ini, tetapi pernah menyatakan bahwa pemulihan perdagangan dengan China adalah salah satu cara menekan inflasi di AS.
Tentu ada John F Kerry, mantan Menlu AS yang kini menjabat Utusan Khusus AS untuk Urusan Iklim. Kerry adalah potret elite AS yang cenderung mendorong rekonsiliasi dengan China. ”Jika kita menjalankan diplomasi yang lebih dewasa dan memiliki legitimasi kuat, hubungan AS-China bukan hal yang sulit diwujudkan,” kata Kerry pada 16 Juli 2020 dalam diskusi yang dijalankan Carnegie Endowment.
Pada 18 Juli 2023, Kerry berkunjung ke China dalam rangka rekonsiliasi. Pada saat bersamaan, Kissinger juga bertemu Menteri Pertahanan China Li Shangfu, yang kini sudah dipecat dengan alasan yang tidak jelas. Kerry menambahkan, China bukan negara yang sembarangan bertindak, cerdik menempatkan posisi di tengah isu dunia, dan tidak ingin ketidakstabilan melanda dunia.
Kunjungan Kissinger dan Kerry, yang berdarah Yahudi, saat bersamaan mengingatkan dengan sendirinya rasa terima kasih para korban Nazi terhadap China. Ini mengingat China pernah menerima dengan mudah 20.000 keturunan Yahudi Eropa di era Nazi. Kisah sejarah ini membuat Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu pernah berterima kasih kepada China.
Kolaborasi atasi kemelut
Kisah sejarah ini berpotensi menolong AS yang tidak bisa lagi sendirian mengatasi kemelut di dunia, termasuk kemelut di Timur Tengah. Xi Jinping menawarkan China sebagai sahabat dan mitra AS saat bicara dalam pertemuan US-China Business Council and National Committee on US-China Relations. Tentu, China pun tidak bisa mengatasi prahara dunia sendirian.
China memiliki relasi baik dengan Arab Saudi, Iran, Qatar, dan lainnya. AS memiliki hubungan kuat dengan Israel walau China juga dekat dengan Israel. Kolaborasi AS-China memiliki momentum kuat mencegah ancaman mega dari sisi persaingan geopolitik.
China juga sadar pertemuan di Woodside tidak akan serta-merta mengubah relasi menjadi baik. ”Harus diingat bahwa akan selalu ada beberapa orang dengan motif kuat yang berusaha menghasut dan merusak hubungan AS-China, mereka pasti akan gagal,” kata jubir Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, Beijing, 16 November 2023.
Baca juga: Ekspektasi Tidak Tinggi pada Pertemuan Biden-Xi, Positif untuk Redakan Tensi
Sekarang kembali lagi, apakah diplomasi AS akan berubah seusai pertemuan Biden dengan Xi. Ataukah AS tetap kembali ke perangai serupa, seperti ucapan yang kerap kali dicuatkan pejabat China bahwa AS tidak pernah serius dengan ucapan-ucapan baiknya dalam relasi dengan China.
Hal yang jelas, AS kini lebih mudah mendekati China, tidak sesulit yang pernah dilakukan Nixon saat ia butuh waktu tahunan untuk mewujudkan pertemuan Nixon-Mao. Jika AS tetap bertujuan mendikte China, seperti AS mendikte Jepang dan dunia, hal itu akan sia-sia saja.
Saran Joseph Nye, tidak selayaknya AS terus ingin menekan China. Relasi keduanya memiliki efek positif besar. Bagi Xi, pesan sudah disampaikan bahwa relasi bilateral bukan untuk saling menaklukkan.
Akan tetapi, walaupun tidak ada kemajuan signifikan dari pertemuan itu, Tony Saich, profesor hubungan internasional dari Harvard Kennedy School, mengatakan bahwa pertemuan tersebut tetap berguna. Dari sisi China dan AS, setidaknya tetap terlihat bahwa relasi bilateral tetap harus dibina pada tingkat tertentu, seperti dituliskan Harvard Gazette, 14 November 2023. (REUTERS/AP/AFP)