Pertemuan Joe Biden - Xi Jinping bukan untuk mencapai hasil konkret, melainkan tanda AS dan China tak memutus hubungan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
SAN FRANCISCO, SELASA — Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping semakin mendekati waktu yang disepakati pada 15 November 2023. Para pengamat isu internasional tidak mematok target capaian yang tinggi. Akan tetapi, setidaknya pertemuan itu diharapkan bisa meredakan ketegangan kedua negara adidaya tersebut akibat perang dagang maupun persaingan geopolitik.
Pertemuan itu direncanakan di kota San Francisco, Amerika Serikat, di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang akan dihadiri 21 pemimpin negara, termasuk Xi. Terakhir kali ia berkunjung ke AS pada 2017 untuk bertemu Presiden Donald Trump.
Ketika itu, suasana pertemuan bersahabat. Kepada media arus utama, Trump sesumbar rapat itu akan membawa hasil positif dan meningkatkan derajat hubungan AS-China. Kenyataannya malah perang dagang dan kemerosotan hubungan yang didapat.
Demikian pula dengan pertemuan Xi dan Biden saat KTT G20 di Nusa Dua, November 2022. Dunia berharap hal itu bisa mendekatkan kembali AS-China agar mampu mendudukkan berbagai perkara yang mengganjal dalam hubungan mereka.
Tidak lama setelah itu, AS malah menembak jatuh balon yang disebut mata-mata China. Rentetan kejadian menyusul mulai dari AS menjegal China mendapatkan akses ke alat-alat pembuat semikonduktor supercanggih hingga China menarik kembali panda-panda yang mereka pinjamkan ke kebun binatang di AS.
Walaupun begitu, dunia tidak langsung patah arang. Sepanjang tahun 2023, terlihat tanda-tanda AS dan China menjajaki hubungan dan fokus ke berbagai permasalahan universal, antara lain, perdagangan dan rantai pasok. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Menteri Keuangan Janet Yellen, Menteri Perdagangan Gina Raimondo, dan Utusan Khusus Presiden AS untuk Urusan Iklim John Kerry bergiliran melawat ke Beijing. Dari China, Menlu Wang Yi membalas kunjungan ke Washington pada Oktober lalu.
”Pertemuan ini memang bukan untuk mencapai hasil konkret, melainkan sebagai tanda kedua belah pihak tidak memutus hubungan. Di tengah berbagai hambatan, mereka tetap mau berkomunikasi dan meningkatkan tarafnya,” kata pakar hubungan internasional Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, Joseph Liow, Selasa (14/11/2023).
Hal itu tampak di dalam keterangan pers Pemerintah AS yang diedarkan kepada media-media arus utama AS. Perkiraannya, Biden dan Xi akan menyinggung sejumlah topik, antara lain, situasi di Laut China Selatan, hubungan antarmiliter, dan penegakan hak asasi manusia.
Akan tetapi, tidak dijelaskan pembicaraan itu akan membahas hal-hal tersebut secara mendalam. Keterangan pers yang dikutip media NBC bahkan menyebut memang tidak ada target hal-hal yang dapat diterapkan langsung.
Pertemuan ini memang bukan untuk mencapai hasil konkret, melainkan sebagai tanda kedua belah pihak tidak memutus hubungan
”Tujuan pertemuan ini untuk mengelola persaingan geopolitik agar tidak meruncing dan mendekati konflik terbuka,” kata seorang pejabat Gedung Putih yang menolak diungkap namanya kepada NBC.
Isu mengenai adab pertemuan pesawat maupun kapal militer kedua negara di wilayah konflik abu-abu diperkirakan mendominasi pembicaraan Xi dan Biden. Berdasarkan keterangan Departemen Pertahanan AS (Pentagon), sejak tahun 2021, China sudah menghadang 180 pesawat militer AS. Di samping itu, kapal-kapal China kerap dituduh melakukan manuver berbahaya di Laut China Selatan dan Laut China Timur.
David Sacks dari Dewan Hubungan Luar Negeri (CFR) mengatakan, ini kesempatan yang baik untuk membangun kembali komunikasi keamanan dengan China. Pasalnya, China kini belum memiliki menteri pertahanan. Menhan sebelumnya, Li Shangfu, resmi dipecat pada 24 Oktober dan penggantinya belum diumumkan.
Li adalah pejabat China yang dijatuhi sanksi oleh AS. Sacks menjelaskan, itulah yang membuat pembicaraan antarmiliter kedua negara sulit. Li berpendapat percuma berdialog dengan AS karena dia sudah telanjur dihakimi dan dikucilkan oleh negara tersebut. Apabila pengganti Li memiliki reputasi yang relatif baik di mata AS, itu akan sangat membantu dalam membuka kembali komunikasi antarmiliter.
Pandangan serupa diutarakan dari pihak China. Xi, dikutip kantor berita nasional Xinhua, mengatakan, ingin mengajak AS fokus bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Jika hubungan AS dan China stabil, dunia juga yang untung karena perekonomian global bergantung pada pola hubungan Beijing-Washington. Xi mengatakan, berbagai upaya mengucilkan China, misalnya merombak rantai pasok dunia, tidak sesuai dengan hukum pasar internasional dan hanya menyakiti pertumbuhan dunia.
”Bagi China, kestabilan adalah hal terpenting dalam politiknya,” kata Liu Xiang, pengamat isu China-AS di Akademi Ilmu-ilmu Sosial China (CASS).
Pertemuan Xi dan Biden di sela-sela KTT APEC sudah sangat diperhatikan rinciannya. Berbagai hal kecil bisa diartikan sebagai simbol sikap kedua negara, mulai dari gaya busana yang akan dikenakan kedua kepala negara, pengaturan tempat duduk, hingga dekorasi ruangan. Semua memiliki makna terselubung mengenai status dan posisi sikap mereka dalam geopolitik. (AFP)