Mengapa Asia Selatan Jadi Pusat Polusi Udara Terburuk di Dunia?
Hasil penelitian menyebutkan, daerah dengan polusi paling buruk di dunia terdapat di empat negara di Asia Selatan.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
Setiap akhir tahun, New Delhi hampir selalu menduduki peringkat polusi udara terburuk di dunia. Kondisi udara di ibu kota India itu semakin buruk setelah perayaan Diwali yang dipenuhi petasan pada 12 November lalu. Indeks polusi udara di beberapa wilayah sempat mencapai 969 atau hampir 20 kali lipat lebih buruk dari ambang batas kualitas udara sehat dan lima kali lipat lebih buruk dari Jakarta.
Selama empat tahun berturut-turut, New Delhi menduduki peringkat ibu kota paling tercemar di dunia, menurut Swiss Group IQAir. Udara pekat dengan kabut polusi memaksa warga berjuang keras untuk bernapas.
Hindustan Times melaporkan, kondisi sangat buruk terjadi di Anand Vihar, Delhi, Senin (13/11/2023) pagi, setelah perayaan Diwali atau Festival Cahaya Hindu yang diikuti jutaan orang. Namun, tanpa memasukkan perayaan Diwali pun, sepanjang November ini polusi udara di Delhi sudah begitu buruk. Sepanjang bulan ini, indeks kualitas udara ibu kota India itu melampaui 400, bahkan pernah mencapai 600 dan menyentuh 700.
Indeks kualitas udara itu untuk partikel kecil berukuran 2,5 mikron. Tingkat polusi ini lebih dari 10 kali ambang batas keselamatan global yang mensyaratkan indeks kualitas udara sehat 0-50. Demikian menurut Badan Pengendalian Polusi Pusat (Central Pollution Control Board) yang dikelola Pemerintah India. Kualitas udara yang begitu buruk ini bisa menyebabkan serangan bronkitis serta asma akut dan kronis.
Rajneesh Kapoor, spesialis paru-paru India, menyarankan masyarakat untuk mengenakan masker dan menghindari jalan pagi atau joging. ”Udara seperti ini menjadi pemicu segala jenis infeksi saluran pernapasan dan flu. Hal ini dapat menyebabkan tekanan darah yang tidak terkendali dan masalah diabetes,” katanya dalam wawancara dengan saluran berita New Delhi Television.
Ritesh Kumar, warga Maharashtra, India Barat, yang mengunjungi New Delhi pada awal November ini mengatakan, udara New Delhi dengan polusi pekat itu sangat berbahaya bagi orang-orang seperti dia. Sebab, dia baru saja pulih dari Covid-19.
”Saya menderita sakit kepala parah sejak saya mendarat di New Delhi dari Negara Bagian Maharashtra di India barat,” katanya.
Saya menderita sakit kepala parah sejak saya mendarat di New Delhi dari Negara Bagian Maharashtra di India barat.
Pemerintah setempat telah melakukan beragam upaya untuk menekan dampak polusi udara tersebut, dari menutup sekolah, melarang semua pekerjaan konstruksi dan pembongkaran, hingga memberlakukan denda sebesar 20.000 rupee atau sekitar Rp 3,72 juta bagi pengemudi yang kedapatan menggunakan mobil berbahan bakar bensin dan solar serta bus dan truk yang menimbulkan kabut asap.
Buruknya udara New Delhi hampir setiap akhir tahun terjadi karena kombinasi musim dingin dan puncak pembakaran sisa tanaman di negara-negara tetangga. Suhu dingin kemudian memerangkap asap mematikan itu. Tingkat polusi udara yang beracun mengganggu kehidupan jutaan orang di Asia Selatan.
Tak hanya memaksa penutupan sekolah, polusi udara parah ini dikhawatirkan berdampak pada batalnya acara olahraga internasional dan membuat pemerintah mendesak masyarakat untuk tetap berada di rumah guna menghindari masalah kesehatan.
Faktor penyebab
Asia Selatan telah menjadi pusat polusi udara global. Hasil penelitian menyebutkan, daerah dengan polusi paling buruk di dunia terdapat di empat negara di Asia Selatan. Dari 10 kota dengan polusi udara tertinggi, sembilan kota di antaranya juga di kawasan ini.
Ada sejumlah faktor yang mungkin menjadi penyebab Asia Selatan menjadi sumber polusi udara terburuk. Negara-negara di Asia Selatan mengalami peningkatan pesat di bidang industrialisasi, pembangunan ekonomi, dan pertumbuhan penduduk selama dua dekade terakhir. Akibatnya, permintaan energi dan bahan bakar fosil pun meningkat.
Sumber-sumber emisi industri dan kendaraan memperburuk polusi udara yang sudah buruk akibat pembakaran bahan bakar padat, seperti kayu untuk memasak, upacara kremasi, dan pembakaran limbah pertanian.
Sekitar 38 persen polusi di New Delhi tahun ini, misalnya, disebabkan oleh pembakaran sawah yang telah dipanen di Negara Bagian Punjab dan Haryana. Peningkatan jumlah kendaraan juga terjadi seiring berkembangnya kawasan.
Di India dan Pakistan, misalnya, jumlah kendaraan meningkat empat kali lipat sejak awal tahun 2000-an. New Delhi mempunyai hampir 8 juta kendaraan pada 2022. Kota ini memiliki 472 kendaraan per seribu penduduk, menurut data pemerintah.
Belum mempan
Beragam upaya pencegahan belum juga mempan. Padahal, negara-negara Asia Selatan itu telah mulai mengekang polusi, menyusun rencana pengelolaan kualitas udara, memasang lebih banyak alat pemantau polusi, dan mendorong peralihan ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Para ahli menduga masalahnya terletak pada kurangnya koordinasi antarnegara. Partikel debu dapat menyebar ratusan kilometer, melampaui batas negara dan berdampak pada negara-negara lain. Sekitar 30 persen polusi di kota-kota terbesar di Bangladesh, misalnya, berasal dari India dan dibawa ke negara tersebut melalui angin yang bergerak dari barat laut ke tenggara.
Negara-negara di Asia Selatan tampaknya perlu mulai berkoordinasi berkolaborasi. Pada saat yang sama, upaya ini harus diimbangi dengan memberikan solusi yang sesuai dengan masalah lokal. Untuk membatasi pembakaran sawah seusai panen, misalnya, pemerintah dapat menawarkan subsidi untuk mesin pemanen yang lebih baik.
Negara-negara, seperti India, sudah mulai menawarkan insentif tersebut. Namun, permintaan masih terbatas karena tingginya biaya pembelian dan lamanya waktu tunggu untuk menyewa.
Dalam kapasitas yang lebih ringan, polusi udara lintas negara ini juga terus menghantui hubungan antara Indonesia dan negara-negara tetangga, yaitu Malaysia dan Singapura. Di setiap musim kemarau, kekhawatiran atas kiriman asap kebakaran hutan di Indonesia ini terus digaungkan. (AP/REUTERS/AFP)