Harus Hidup Hemat, ”Hari Jomblo” Tak Memikat
Hari Jomblo atau 11.11 tahun ini lesu di China. Sebab, konsumen memilih mengencangkan ikat pinggang. Tetap belanja, hanya untuk barang habis pakai atau kebutuhan sehari-hari.
Kondisi perekonomian yang kurang baik membuat konsumen di China mau tak mau harus mengencangkan ikat pinggang. Jika biasanya Hari Jomblo atau Singles Day yang juga dikenal dengan ”Double 11” disambut antusias, tahun ini semangatnya agak mengendur.
Hari ”Double 11” atau ”11.11” dimulai raksasa lokapasar China, Alibaba, beberapa tahun lalu. Dari hanya sehari, kini ”11.11” berkembang menjadi tawaran diskon dalam hitungan hari hingga pekan.
Setiap tahun, seperti juga pada 11 November 2023, beragam lokapasar dan pedagang menawarkan potongan harga untuk aneka hal. Promosi belanja besar-besaran ditawarkan pedagang di berbagai lokapasar.
Baca juga: Mengenal E-Dagang Lintas Negara dari China
Ternyata, tahun ini, semua tawaran diskon itu tidak menarik konsumen. Survei Bain&Co, lembaga konsultasi asal Amerika Serikat, terhadap 3.000 konsumen China menyimpulkan, 77 persen responden tidak akan belanja sebanyak tahun lalu.
Bahkan, separuh responden mengaku cenderung memilih produk lebih murah. Alih-alih dari jenama terkenal, responden memilih merek biasa karena alasan harga lebih murah.
Persiapan lokapasar
Padahal, berbagai lokapasar sudah mempersiapkan menyambut Hari Jomblo secara besar-besaran. Semua mengaku menawarkan harga terendah. Tmall milik Alibaba berpromosi ”Harga Terendah di Internet”. Sementara JD.com menyebarkan slogan ”Benar-benar Murah”. Adapun pesaing mereka, Pinduoduo, mencoba menarik konsumen dengan iming-iming ”Harga Murah Setiap Hari”.
Harian The Japan Times, Jumat (10/11/2023), melaporkan, Alibaba dan JD.com menggunakan kecerdasan buatan (AI) yang mampu menghasilkan gambar produk dengan cepat. Lokapasar juga membagikan aneka kupon diskon.
Alibaba dan JD.com juga gencar mengunggah siaran langsung, rekaman video, atau foto promosi di media sosial. Douyin, Tiktok versi China, menjadi pelantar utama bagi orang-orang dan pengecer yang menjual kepada konsumen melalui siaran video secara langsung.
Lewat siaran langsung diharapkan konsumen tergiur. Metode itu menyasar beragam latar konsumen. Mereka yang memiliki pendapatan lebih tinggi pada umumnya masih mengeluarkan banyak uang.
Baca juga: E-dagang Hadirkan Fitur Siaran Langsung
Sementara segmen masyarakat kerah biru mengurangi pengeluarannya. Adapun kelas menengah lebih berhati-hati ketika berbelanja dan berulang kali mempertimbangkan ketika hendak membeli sesuatu.
Reaksi konsumen
Konsumen tidak tergiur dengan semua itu. ”Mungkin orang tidak mau mengeluarkan uang sebanyak dulu atau mungkin mereka memang tidak punya banyak uang untuk dibelanjakan. Saya juga tidak mengeluarkan uang apa pun kecuali untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Hu Min, karyawan toko serba ada di kota Shijiazhuang, Hebei, China.
Perilaku belanja konsumen China sebelum dan sesudah pandemi memang berbeda. Sebelum pandemi, konsumen China jauh lebih bersemangat berbelanja. Dulu, pada 2019, konsumen bisa menghabiskan 38 miliar dollar AS atau sekitar Rp 596 triliun di Alibaba saja selama Hari Jomblo.
Kini, konsumen di China lebih berhati-hati mengeluarkan dana belanja tambahan. Sebab, pendapatan menurun, sementara harga aneka hal serta pengangguran naik. Dalam catatan pada Juni 2023, 21,3 persen anak muda China menganggur, Lalu, sejak Juli 2023, China tidak lagi menyiarkan data penganggur di kalangan pemuda.
Pertumbuhan ekonomi dan upah China juga stagnan. Akibatnya, jumlah rata-rata pendapatan untuk dibelanjakan juga berkurang. ”Gairah dan kegembiraan seputar Hari Jomblo sudah berakhir,” kata pendiri dan Direktur Pelaksana Grup Penelitian Pasar China, Shaun Rein, di Shanghai.
Selain itu, dalam sembilan bulan terakhir, konsumen sudah mendapatkan diskon untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Karena itu, mereka tidak mengharapkan diskon yang besar pada Hari Jomblo.
Kalaupun ada yang ditunggu, hanya barang habis pakai seperti detergen, sabun, pasta gigi, dan aneka kebutuhan sehari-hari. Kosmetik kelas atas atau produk dari jenama ternama tidak menarik konsumen.
Baca juga: Sejarah Harbolnas dan Potret E-Dagang di Indonesia
Media sosial China pun diramaikan ajakan berhemat. Tagar ”konsumsi diturunkan” dan ”kalau tidak beli, saya bisa hemat 100%” kini menjadi topik yang hangat dibicarakan. ”Saya menghabiskan 250.000 yuan (Rp 593 juta) di Pinduoduo tahun lalu, tetapi sepanjang tahun ini hanya Rp 172 juta dan belum beli apa pun selama Hari Jomblo,” cerita salah satu warganet.
Sementara sejumlah warganet menyebut lokapasar memberikan promosi palsu. Sebab, sejumlah pedagang menaikkan harganya dulu sebelum didiskon untuk Hari Jomblo.
Selain itu, beberapa tahun terakhir pun ada tren yang dikenal sebagai Guochao atau bangga memakai produk dalam negeri. Tren itu terutama ajakan memakai produk buatan China. Hal itu membuat produk-produk dari mancanegara sulit bersaing.
Ada juga isu lain di China. Pemimpin konsultan pemasaran digital WPIC Marketing, Jacob Cooke, menyebut bahwa pengeluaran untuk barang-barang tahan lama berkurang. Salah satu penyebabnya, krisis di sektor properti. ”Dari data sementara terlihat konsumen kelas menengah dan kelas atas ingin berbelanja produk yang meningkatkan kesehatan, gaya hidup, dan ekspresi diri seperti vitamin, perawatan hewan peliharaan, makanan, dan baju olahraga,” ujarnya.
Anti-Valentine
Ide Hari Jomblo konon bermula dari para mahasiswa sarjana Universitas Nanjing, China. Diduga, kegiatan itu pertama kali dilakukan pada 11 November 1993. Dulu sebutannya ”Hari Lajang”.
Pada hari itu, para lajang alias jomblo memanjakan diri mereka dengan membeli hadiah dan bingkisan untuk diri mereka sendiri. Mereka melakukan itu untuk merayakan kejombloan dan ”melawan” Hari Valentine.
Baca juga: Setelah "E-Commerce", Muncul "Social Commerce"
Acara ini kemudian berkembang menjadi festival belanja secara daring mulai 2009. Dari sehari menjadi berminggu-minggu sejak Oktober. Puncaknya pada 11 November, tanggal yang terdiri dari empat angka satu.
Angka-angka itu dianggap mewakili kumpulan orang-orang yang kesepian. China menyebutnya ”cabang-cabang yang telanjang”, ungkapan China untuk mereka yang tidak terikat.
Sejak dimulai menjadi belanja daring, nilai transaksi Hari Jomblo mencapai 400 persen dari transaksi Cyber Monday atau hari belanja terbesar dalam kalender AS. Hari Jomblo bahkan sudah memecahkan rekor penjualan pada saat Black Friday, hari belanja lain di AS.
Semua gairah itu terjadi sebelum pandemi. Tahun ini, aneka promosi belum membuahkan hasil. (AP/REUTERS)