Prakarsa China Kini Bidik ”Yang Kecil dan Indah”
Prakarsa Sabuk dan Jalan mulai beralih pada proyek kecil, cerdas, dan lebih ”hijau” dan tidak menyusahkan negara mitra.
Pergelaran ”ulang tahun” ke-10 Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) China berakhir dengan komitmen dana tambahan 107 miliar dollar AS. Dana itu untuk pembiayaan proyek-proyek dalam kerangka kerja sama itu selama lima tahun ke depan. Putaran pendanaan terbaru mencakup pinjaman 700 miliar yuan dari dua bank China, yaitu Exim Bank dan China Development Bank, serta suntikan modal 80 miliar yuan ke dalam Dana Jalur Sutra.
Baca juga: China Arahkan Proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan Lebih Realistis
Angka 780 miliar yuan ini sama dengan yang dijanjikan pada Forum Prakarsa Sabuk dan Jalan China pertama pada 2017. Pada waktu itu, Presiden China Xi Jinping berjanji menyalurkan 100 miliar yuan ke Dana Jalur Sutra, menawarkan pinjaman 380 miliar yuan, dan mengandalkan lembaga keuangan untuk mengumpulkan dana 300 miliar yuan.
Komitmen terbaru dari China tahun ini menunjukkan keinginannya untuk tetap menjadikan BRI sebagai inti dari visi geopolitiknya dan mengaitkan pembangunan China dengan negara-negara berkembang.
Namun, kali ini, China tidak lagi menggembar-gemborkan proyek masif berbiaya besar. Dalam pidatonya saat pembukaan Forum Prakarsa Sabuk dan Jalan, 18 Oktober lalu, Xi menekankan BRI kini akan berfokus pada proyek-proyek ”kecil tetapi indah” dan pembangunan yang lebih hijau atau ramah lingkungan. Xi menepis kekhawatiran banyak pihak pada keberlanjutan BRI karena situasi perekonomian China yang dikatakan kurang sehat.
Baca juga: Satu Dekade “Sabuk dan Jalan” dalam Kerja Sama China-Indonesia
Produk domestik bruto China, kata Xi, lebih baik daripada perkiraan kuartal ketiga. Ini membuktikan China berada di jalur yang tepat untuk memenuhi target pertumbuhan tahunan sebesar 5 persen. Dia menekankan pentingnya fokus pada resolusi strategis.
”Seperti kata pepatah, siapa yang memberi bunga mawar pada orang lain, wanginya akan melekat di tangannya. Memandang perkembangan negara lain sebagai ancaman atau menganggap saling ketergantungan ekonomi sebagai risiko tak akan memperbaiki kehidupan seseorang atau mempercepat pembangunannya,” kata Xi.
Guru Besar Keuangan di Universitas Renmin, Beijing, Zhao Xijun, pada kesempatan terpisah, menilai pidato Xi itu menunjukkan BRI tetap menjadi pendorong utama globalisasi China di tengah gelombang antiglobalisasi di Barat.
Baca juga: China Janji Inisiatif Sabuk dan Jalan Jadi “Lebih Terbuka”
Amerika Serikat dan negara-negara Kelompok Tujuh (G7) telah mencoba ”melawan” proyek BRI dengan meluncurkan kerangka kerja sama baru. Kerja sama itu disebut Kemitraan untuk Infrastruktur dan Investasi Global senilai 600 miliar dollar AS untuk pembangunan infrastruktur di negara berkembang yang disepakati pada KTT G7 pada 2022. Negara-negara G7 akan memberikan total bantuan 600 miliar dollar AS, termasuk dana swasta, berdasarkan kerangka kerja ini pada 2027.
China lebih kuat
Wartawan News Agency of Nigeria, Fortune Abang, menilai China memiliki kekuatan, termasuk pemberian pinjaman besar, dan perusahaan-perusahaan yang mampu terlibat dalam proyek-proyek berskala besar. ”Berbeda dengan AS, China tak peduli pada masalah hak asasi manusia atau situasi demokrasi di negara-negara yang diajak kerja sama sehingga China cenderung disambut lebih baik oleh para pemimpin otoriter di Afrika,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi, dalam konferensi pers dengan 200 wartawan lokal dan asing di Media Center BRF, Rabu (18/10/2023), mengatakan, China bersedia bekerja sama dengan proyek pembangunan lainnya, termasuk kerangka kerja sama yang digagas AS itu. Hanya saja, menurut Wang, masalah ekonomi tak boleh dipolitisasi.
Baca juga: China Sodorkan Modernisasi "Tandingan" Barat
Hal senada ditekankan Presiden Joko Widodo yang juga mengingatkan proyek BRI harus dilandasi prinsip kemitraan setara dan saling menguntungkan. Selain perencanaan matang, proyek itu harus dilengkapi penggunaan sistem pendanaan transparan, penerapan tenaga kerja lokal, dan pemanfaatan produk dalam negeri. ”Keberlanjutan proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan harus dipastikan untuk jangka panjang dan dapat memperkokoh fondasi ekonomi negara mitra, bukan justru mempersulit kondisi fiskalnya,” kata Jokowi.
Evaluasi
Pengamat China di Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro, menilai proyek-proyek berskala besar membutuhkan perencanaan lama, modal besar, dan kadang kala tidak dapat segera terealisasi karena berbagai alasan. BRI berpotensi mendatangkan tuduhan ”jebakan utang” yang menyudutkan China.
Untuk itu, China harus mengevaluasi pembiayaan di tengah-tengah situasi ekonomi yang belum menentu. ”Skala proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan menjadi lebih kecil karena tuduhan jebakan utang itu dan proyek yang lebih hijau sejalan dengan kecenderungan pembangunan dewasa ini yang merespons kebutuhan pelestarian lingkungan,” kata Rachmat.
Baca juga: Dana Baru Rp 1.500 Triliun untuk Sabuk-Jalan China
Indonesia dapat menawarkan beberapa proyek strategis nasional untuk bisa dibantu pembiayaannya oleh China. Dilihat dari sisi ini, kata Rachmat, proyek-proyek yang dikerjasamakan sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan pembangunan, khususnya di sektor infrastruktur. Untuk itu diperlukan perencanaan matang, pelaksanaan proyek yang inklusif, pembiayaan yang transparan dan akuntabel, dan perhatian pada aspek kelestarian lingkungan.
Dengan adanya sejumlah kerangka kerja sama pembangunan, negara-negara berkembang, khususnya di Afrika dan Asia, akan mempunyai banyak peluang memanfaatkannya. Dalam konteks ini, kerangka kerja sama yang dibuat AS, Uni Eropa, bersama dengan G7 tidak akan menghambat BRI. Kerangka-kerangka kerja sama ini akan ”bersaing” memperebutkan pasar, peluang ekonomi, dan—dalam tingkat tertentu—pengaruh di negara-negara yang menjadi target mereka.
”Selama kerangka-kerangka kerja sama ini tidak dibalut dengan syarat-syarat politis, tampaknya negara-negara berkembang akan menerimanya,” kata Rachmat.
Delapan rencana aksi
Ada delapan poin rencana aksi China yang mencakup fokus pada pembiayaan proyek-proyek ”kecil dan indah”. Xi berjanji akan mendukung perekonomian dunia yang terbuka, meningkatkan perdagangan barang dan jasa, mendorong ekonomi digital, dan menghapus semua pembatasan akses investasi asing di sektor manufaktur.
Ada komitmen untuk mempromosikan pembangunan ramah lingkungan, jaringan pakar, dan dialog industri panel surya. Xi juga menguraikan rencana kerja sama ilmiah internasional dan inisiatif untuk mempromosikan penelitian kecerdasan buatan dan meningkatkan tata kelola kecerdasan buatan global.
China juga akan mendorong pertukaran budaya antarmasyarakat, meningkatkan tata kelola BRI, dan mekanisme kerja sama internasional. Ada juga serangkaian janji untuk lebih meningkatkan jaringan transportasi dan logistik di seluruh Eurasia. Komitmen Xi termasuk mempercepat pengembangan jalur kereta China-Eropa, mengintegrasikan pelabuhan, pelayaran, dan layanan perdagangan dalam Jalur Sutra Maritim dan percepatan pengembangan Koridor Perdagangan Darat-Laut Internasional Baru dan Jalur Sutra Udara.
Baca juga: Arah Kebijakan Cina dan Peluang bagi Indonesia
Guru Besar Emeritus di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong Barry Sautman mengatakan, sebenarnya kemajuan China bergantung pada perkembangan perekonomian dunia, khususnya negara-negara berkembang. Itu berarti China akan berusaha memacu pembangunan di negara-negara dengan beragam sistem politik dan posisi internasional. Makna dari pengumuman pendanaan Xi itu adalah China memenuhi janji dukungan bantuan pembangunan untuk negara-negara berkembang.
China percaya diri BRI akan terus berjalan meski ada tantangan baru dari AS dan UE. Dengan lebih dari 200 perjanjian kerja sama yang tersebar di 150 negara dan 30 organisasi internasional, nilai kumulatif impor dan ekspor antara China dan negara mitra telah mencapai 19,1 triliun dolar AS, dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 6,4 persen dari tahun 2013-2022.
Pada forum tahun ini juga tercapai 458 hasil kerja sama. Banyaknya hasil kerja sama yang tercapai, kata Wang, menunjukkan daya tarik BRI dan pengaruh globalnya. Sebanyak 25 presiden, wakil presiden, dan perdana menteri ikut hadir bersama sedikitnya 10.000 delegasi dari 151 negara dan 41 organisasi internasional ikut hadir. Belum lagi 4.000 wartawan lokal dan asing yang diundang untuk meliput BRF.
”Siapa yang bisa membangun lebih banyak jalan, kereta api, dan jembatan untuk negara-negara berkembang? Siapa yang bisa membangun lebih banyak sekolah, rumah sakit, dan stadion untuk masyarakat di negara-negara berpenghasilan rendah? China yakin bisa melakukannya,” tegas Wang.