Target Inflasi Fed Tetap 2 Persen, Sinyal Penting bagi Negara Berkembang
J Scott Davis, peneliti dari Federal Reserve Bank of Dallas, pada 10 Agustus 2021, menuliskan bahwa negara berkembang tidak perlu takut akan ”tapering” jika memiliki cadangan devisa tinggi.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Inflasi di Amerika Serikat harus diturunkan ke level 2 persen. Ini tak kunjung tercapai sejak Maret 2021. Penurunan diupayakan dengan kenaikan suku bunga 11 kali sejak Maret 2022 hingga Juli 2023. Inflasi telah turun dari 9,1 persen pada Juni 2022 menjadi 3,7 persen pada September 2023, tetapi belum mencapai target 2 persen.
Demikian inti pidato Gubernur Federal Reserve (Bank Sentral AS/Fed) Jerome Powell, Kamis (20/10/2023), di New York, pada pertemuan yang diselenggarakan The Economic Club of New York, organisasi nirlaba dan nonpartisan. Pidato Powell ini sangat ditunggu-tunggu.
Sebab, pasar dan para pejabat bank sentral dunia sempat dibuat ”bingung”. Apakah Fed akan mengubah target inflasi dari 2 persen menjadi kisaran 3–4 persen?
Olivier Blanchard, Profesor Emeritus dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan mantan ekonom Dana Moneter Internasional (IMF), pernah menyarankan perubahan target inflasi AS tersebut. Alasannya, agar ekonomi AS tidak terlalu tercekik akibat kenaikan suku bunga dengan tujuan menurunkan inflasi ke level 2 persen.
Debat soal perubahan target inflasi ini bergema di jajaran Federal Reserve. Terbaru, Presiden Federal Reserve San Francisco Mary Daly mengatakan, target inflasi netral bisa dinaikkan menjadi kisaran 2,5–3 persen (Bloomberg, 11 Oktober 2023). Ini diperlukan mengingat pertumbuhan amat dibutuhkan dengan relaksasi target inflasi.
Namun, sebelum pensiun pada Januari lalu, Presiden Federal Reserve Kansas City Esther George menegaskan, ”Saya tidak pernah nyaman dengan perubahan target inflasi. Inflasi tidak ada pada DNA saya.”
Beban bagi perbankan AS
Isu perubahan target inflasi menjadi di atas 2 persen mencuat setelah perbankan AS mengalami krisis pada Maret 2023. Banyak bank terimbas kenaikan suku bunga Fed. Setelah krisis perbankan, Fed tampak gamang menaikkan suku bunga.
Aksi kenaikan suku bunga diperlambat, dan muncul istilah pause sementara. Walau Fed kemudian menaikkan suku bunga, besarannya pun tidak lagi 0,75 persen, tetapi menjadi 0,25 persen. Fed bahkan turut mengguyur pasar dengan penalangan dana bagi perbankan yang mengalami pelarian deposan.
Saya tidak pernah nyaman dengan perubahan target inflasi. Inflasi tidak ada pada DNA saya.
Ada efek inflatoir dari tindakan Fed pada awal 2023 tersebut. Inflasi yang sempat turun menjadi 3 persen pada Juni naik kembali menjadi 3,7 persen pada Agustus dan September 2023. Powell berkali-kali mengatakan, inflasi sangat bandel. Sebenarnya inflasi tidak bandel, tetapi kebijakan pengetatan moneter tidak pernah dilakukan secara kencang.
Kini Powell telah menegaskan bahwa Fed tetap kukuh pada target inflasi 2 persen. Jika target inflasi dinaikkan, perekonomian bisa ketagihan dengan inflasi. Situasi seperti ini menimpa Argentina dan Turki yang ketagihan dengan inflasi tinggi. Alasan Powell lainnya, pembiaran inflasi bisa berkembang menjadi hal yang tidak terkendalikan.
Kalimat berputar-putar
Pertanyaannya, bagaimana cara Fed menurunkan suku bunga tersebut? Jawaban Powell amat samar. Kalimatnya berputar-putar tentang cara menurunkan inflasi.
”Powell tidak akan memberi sinyal jelas. Dia selalu bicara tentang kemungkinan kenaikan suku bunga,” kata Tim Duy, ekonom dari SGH Macro Advisors (The Wall Street Journal, 19 Oktober). Namun, untuk itu Powell akan melihat perkembangan data inflasi dan kondisi perekonomian.
Kalimat Powell yang berputar-putar sebenarnya bisa dimaklumi. Naik turunnya inflasi tidak tergantung kebijakan Fed semata. Powell menyebutkan adanya efek geopolitik terhadap inflasi. Ada efek perang dagang terhadap inflasi, juga efek geopolitik yang menaikkan harga migas dunia. Ada pula efek defisit anggaran Pemerintah AS yang bersifat inflatoir. ”Ini di luar kendali kami,” kata Powell.
Meski demikian, Powell menyebutkan, di tengah penurunan inflasi yang diiringi suku bunga tinggi, terbukti ada daya tahan ekonomi. Hal ini mendorong Fed memperlambat kenaikan suku bunga.
Pertumbuhan ekonomi sempat anjlok 2 persen pada kuartal I-2022 dan anjlok lagi 0,6 persen pada kuartal II-2022. Namun, pertumbuhan terjadi lagi sebesar 2,7 persen pada kuartal III-2022 dan 2,6 persen pada kuartal IV-2022. Pertumbuhan juga berlanjut, yakni 2,2 persen pada kuartal I-2023 dan 2,1 persen pada kuartal II-2023.
Ilusi di balik pertumbuhan
Namun, Fed tidak ingin melihat pertumbuhan ekonomi semata. Fed melihat inflasi tidak kunjung turun ke level 2 persen. Fed sejatinya berharap pertumbuhan tetap bertahan tinggi tanpa harus cepat-cepat menaikkan suku bunga.
Esther George melihat fakta lain di balik pertumbuhan yang diiringi inflasi tinggi. Ini disebabkan Fed hanya menaikkan suku bunga, tetapi tidak mengurangi kepemilikan aset-aset swasta. Inilah yang diduga membuat pertumbuhan tinggi sekaligus inflasi di atas 2 persen.
Ini ilusi pertumbuhan, yang didukung penambahan jumlah uang beredar oleh Fed lewat pembelian aset-aset busuk milik swasta. Oleh karena itu, George menekankan, diperlukan langkah jelas tentang pelepasan aset swasta, disebut tapering, untuk mencapai inflasi 2 persen.
Lewat pidatonya yang terbaru, Powell relatif lebih hawkish atau keras. Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi masih akan berlanjut pada kuartal III-2023. Akan tetapi, Powell menekankan pertumbuhan kemungkinan akan menurun lagi pada kuartal IV-2023 dan berlanjut pada 2024. Ada kerelaan Fed menerima pertumbuhan lebih rendah demi mencapai target inflasi 2 persen.
Efek bagi negara berkembang
Ini sekaligus sinyal bahwa Fed tidak akan segan menaikkan suku bunga lagi. Sinyal ini juga penting bagi pasar agar jangan berharap pada penurunan suku bunga. Powell menyinggung pasar yang mulai mencium tapering, yang bertujuan mengetatkan jumlah uang beredar demi menekan inflasi.
Kevin Nicholson dari Global Fixed Income memperkirakan Fed akan menaikkan lagi suku bunga. Inilah yang layak menjadi perhatian negara-negara berkembang. Kenaikan suku bunga diiringi tapering merupakan berita buruk bagi negara berkembang yang memiliki utang luar negeri, dan pada umumnya dalam denominasi dollar AS.
Sebanyak 38 negara berkembang sedang terancam krisis utang dan beberapa sudah menghadapinya. Setidaknya 25 negara berkembang mengalokasikan 20 persen anggaran negara untuk membayar cicilan utang luar negeri.
Sinyal dari Powell mengingatkan fenomena kenaikan suku bunga Fed pada dekade 1970-an dan 1980-an yang turut menyebabkan krisis utang di Amerika Latin dan bagian dunia lainnya. Sinyal soal tapering juga mengingatkan kejadian pada 2013 ketika kurs mata uang banyak negara berkembang melemah.
J Scott Davis, peneliti dari Federal Reserve Dallas, pada 10 Agustus 2021, menuliskan bahwa negara berkembang tidak perlu takut akan tapering jika memiliki cadangan devisa tinggi. Keberadaan China sebagai penyangga perekonomian dunia juga mungkin menjadi peredam krisis.
Akan tetapi, semua itu tergantung pemangku otoritas moneter di seluruh dunia, bagaimana mereka bergegas menaikkan cadangan devisa. (REUTERS/AP/AFP)