Situasi Gaza kian memburuk. Begitu warga meninggalkan Gaza, Israel kemungkinan tidak akan membiarkan mereka kembali.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
BERLIN, SELASA - Raja Abdullah dari Jordania memperingatkan agar tidak mencoba mendorong pengungsi Palestina ke Mesir atau Jordania. Ia menekankan bahwa situasi kemanusiaan itu harus diatasi di Gaza dan Tepi Barat. Sebelumnya, Mesir juga menyiratkan keengganan menerima banjir pengungsi Palestina. Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi menekankan pentingnya penduduk Gaza tetap berada di Gaza dan tidak meninggalkan kampung halaman mereka.
”Tidak ada pengungsi di Jordania, tidak ada pengungsi di Mesir,” kata Raja Abdullah dalam konferensi pers setelah bertemu Kanselir Jerman Olaf Scholz di Berlin, Jerman, Selasa (17/10/2023).
”Ini adalah garis merah karena saya pikir itu adalah rencana oleh beberapa pihak tertentu yang biasa mencoba menciptakan masalah de facto di lapangan,” lanjutnya.
Hingga hari ke-11 sejak perang Hamas-Israel meletus, ribuan orang yang mencoba melarikan diri dari Gaza berkumpul di Rafah. Pintu perbatasan di Rafah merupakan pelintasan dari Gaza ke Mesir. Hingga saat ini, pintu perbatasan itu masih ditutup.
Mesir belum mengizinkan membuka pintu perbatasan, baik bagi bantuan yang masuk ke Gaza maupun bagi warga asing yang mencoba keluar dari Gaza. Hal ini karena Israel telah beberapa kali menyerang sisi Palestina tak jauh dari pelintasan tersebut. Selama 10 hari serangan artileri dan serangan udara, militer Israel telah menyerang pelintasan Rafah empat kali. Serangan itu mendorong otoritas setempat tetap menutup pintu pelintasan.
Namun, dampak dari penutupan itu serius. Hingga saat ini konvoi bantuan masih tertahan di Mesir. Mereka telah menunggu selama beberapa hari. Ratusan ton bantuan dari lembaga kemanusiaan dan beberapa negara berada di Al Arish, menunggu izin masuk ke Gaza. Pada Selasa, konvoi itu bergerak mendekat pelintasan perbatasan Rafah.
”Kami menunggu lampu hijau agar bantuan bisa masuk dan puluhan sukarelawan siap kapan saja,” kata pejabat Bulan Sabit Merah di Sinai utara.
Para pekerja bantuan memperingatkan bahwa kehidupan di Gaza hampir hancur total akibat pengepungan Israel. Di tengah serangan roket Israel yang kian intensif, pasokan air, makanan, dan listrik ke wilayah itu sangat terbatas.
Seruan kepada Israel untuk membentuk koridor kemanusiaan ke Jalur Gaza terus meningkat namun belum dihiraukan.
Oleh karena itu, para mediator, termasuk lembaga-lembaga kemanusiaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, mendorong pintu perbatasan itu dibuka dan diterapkan koridor kemanusiaan. Namun, hingga saat ini para pihak terkait belum menghiraukannya.
Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths dijadwalkan tiba di Kairo, Mesir, Selasa, untuk membantu membangun kesepakatan. Langkah itu penting untuk memungkinkan dan memastikan bantuan kemanusiaan mengalir ke Gaza serta pengungsi dapat meninggalkan wilayah perang.
Amerika Serikat pun berupaya memecahkan kebuntuan ini. Bahkan, untuk itu, Presiden Joe Biden akan berkunjung ke Israel dan Jordania pada Rabu. Secara khusus, AS telah meminta Mesir membuka kembali perbatasan agar warga Palestina-Amerika di Gaza bisa keluar dari Gaza.
Ketakutan akan pengusiran
Seperti sejumlah negara lain, Mesir telah menyuarakan penolakan terhadap pengungsian massal penduduk Gaza. Hal ini menyiratkan ketakutan dalam dunia Arab bahwa perang terbaru Israel-Hamas ini bisa memicu gelombang baru pengusiran permanen warga Palestina dari tanah mereka.
Dikutip dari media Al Qahera News Mesir, Kairo merencanakan pertemuan darurat terkait krisis ini. Pertemuan itu direncanakan berlangsung pada Sabtu di kota Sharm el-Sheikh di Laut Merah. Pada Senin, Abdel Fatah el-Sisi telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin melalui telepon membahas eskalasi di Gaza, demikian pernyataan kantor Sisi.
Setelah Israel mengumumkan pengepungan Gaza, Mesir yang berbatasan langsung dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, jika pintu pelintasan dibuka, diduga akan terjadi banjir pengungsi. Namun, di sisi lain, Mesir merasa sangat tidak nyaman jika nasib warga Palestina terabaikan.
Ini bukan perhitungan yang sederhana bagi Mesir. Mesir sadar bahwa begitu warga Palestina meninggalkan Gaza, Israel mungkin tidak akan membiarkan mereka kembali. ”Pengusiran” ini dikhawatirkan akan melemahkan aspirasi Palestina untuk menjadi sebuah negara. Pada eksodus tahun 1948 dalam peristiwa Nakbha, Mesir menerima 750.000 pengungsi Palestina.
Berdasarkan data Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), saat ini beban pengungsi Mesir bertambah berat dengan masuknya pencari suaka dari 55 negara di sekitar Mesir. Menurut data UNCHR, jumlah pengungsi di Mesir saat ini mencapai 300.000 orang. Pengungsi itu berasal dari Suriah, Sudan, Sudan Selatan, Eritrea, Etiopia, Yaman, dan Somalia.
Sebagaimana Mesir, saat ini diperkirakan 2 juta pengungsi Palestina berada di Jordania.