Kalah Referendum, Bendera Aborigin Dikibarkan Setengah Tiang
Kanada dan Selandia Baru memiliki perjanjian dan perlindungan suku-suku asli. Berbeda dengan Australia yang sampai hari ini tidak punya.
CANBERRA, SENIN — Setelah referendum untuk mengakui hak penduduk asli Aborigin dan Kepulauan Selat Torres gagal, warga Aborigin mengibarkan bendera setengah tiang, Senin (16/10/2023). Tindakan itu bersamaan dengan aktivis Aborigin mengadakan aksi diam selama sepekan.
”Upaya rekonsiliasi sudah mati di Australia. Penduduk yang baru 235 tahun di sini (orang Eropa) tidak mau mengakui penduduk yang sudah 60.000 tahun ada terlebih dahulu,” kata Marcia Langton, penggagas gerakan Voice yang mengupayakan pengakuan hak Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres.
Baca juga: Aborigin Ratapi Hasil Referendum yang Menolak Akui Suku Pribumi
Referendum di seluruh Australia menghasilkan penolakan lebih dari 60 persen terhadap pengakuan dan lembaga khusus untuk melindungi hak suku asli, yakni Aborigin dan Kepulauan Selat Torres. Kelompok tersebut sudah lebih dari 60.000 tahun menghuni Australia dan Kepulauan Torres.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, Senin, menyatakan, dia menerima kesalahan yang menjadi bagiannya atas kegagalan hasil referendum tersebut. ”Kita tahu referendum ini sulit, itulah sebabnya hanya delapan dari 45 (referendum) yang lolos. Saya tentu menerima tanggung jawab atas keputusan yang saya ambil,” katanya di depan sidang parlemen.
Hasil referendum tersebut dinilai sebagai kemunduran besar dalam upaya rekonsiliasi dengan komunitas penduduk asli. Kegagalan itu juga berisiko merusak reputasi Australia di dunia terkait bagaimana negara itu memperlakukan warganya.
”Kerusakan dari referendum pada Sabtu akan ekstrem. Ini kemunduran rekonsiliasi, apa pun yang dikatakan politisi,” sebut tajuk rencana harian Sydney Morning Herald, Senin.
Adapun surat kabar bisnis utama, Australian Financial Review, menyebut hasil referendum membuat ”patah hati” warga asli. Mereka telah menderita akibat pengabaian dan diskriminasi selama berabad-abad sejak kolonisasi Inggris Raya pada 1788.
Aturan khusus
Kanada dan Selandia Baru memiliki perjanjian khusus dengan suku–suku asli dan ada perlindungan khusus. Berbeda dengan Australia yang sampai hari ini tidak memilki aturan khusus terhadap warga Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres.
Australia memiliki penduduk 28 juta jiwa dengan penduduk Aborigin dan warga Kepulauan Selat Torres kini berjumlah 3 persen dari keseluruhan penduduk. Banyak penduduk asli yang tewas karena kekerasan pemukim Eropa dan juga wabah penyakit yang dibawa pendatang baru Eropa di Australia pada tahun 1800-an dan 1900-an.
Warga Aborigin di utara Australia diketahui lebih lama berhubungan dengan pelaut–pelaut Makassar dibandingkan dengan bangsa–bangsa Eropa. Adapun penduduk Kepulauan Selat Torres berasal dari daratan besar Papua dengan budaya campuran Melanesia dan Austronesia. Pulau Pasir di Ashmore Reef yang kini menjadi wilayah Australia adalah persinggahan pelaut–pelaut dari Nusantara yang berinteraksi dengan warga Aborigin.
Baca juga: Siap Berlayar ke Australia, Padewakang Diluncurkan
Referendum Voice adalah referendum yang pertama diadakan dalam seperempat abad di Australia. Setidaknya usulan diperkirakan akan mendapat dukungan mayoritas di empat dari enam negara bagian. Hasilnya, semua negara bagian di Australia menolak usulan lembaga khusus bagi suku Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres.
”Ini kenyataan pahit. Perlu dua generasi lagi bagi orang Australia bisa menghilangkan prasangka kolonial dan mengakui keberadaan masyarakat asli Australia,” kata Langton.
Lembaga Rekonsiliasi Australia yang didirikan komunitas Aborigin mengatakan, hasil referendum tersebut adalah tindakan rasis dan dampak pengelabuan informasi. Lloyd Walker, akitivis Aborigin dan mantan atlet rugbi nasional Australia, mengatakan, langkah menuju rekonsiliasi Australia masih sulit, tetapi harus terus diperjuangkan. ”Kita kalah suara, tetapi terbukti ada 40 persen masyarakat yang mendukung usulan The Voice,” kata Walker.
Masyarakat Aborigin mengalami berbagai diskriminasi dan terdapat generasi yang dicuri (stolen generation) ketika anak-anak Aborigin dipisahkan dengan paksa dari orangtuanya oleh pemerintah kulit putih Australia pada abad ke-20.
Pemimpin oposisi, Peter Dutton, mengatakan, referendum tersebut tidak diperlukan dan justru membelah masyarakat Australia. Sangat sedikit dukungan bersama para tokoh politik Australia dalam isu Voice sehingga kubu konservatif memilih ”Tidak” dalam referendum.
”Banyak yang akan mempertanyakan soal rasisme dan prasangka terhadap masyarakat asli Australia menyikapi hasil referendum ini,” kata para pemimpin politik Australia. Mereka berharap setiap warga Australia becermin dan mawas diri pada hasil referendum tersebut. (REUTERS)