Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut eksodus pergerakan warga Palestina di Gaza saat ini menjadi ”Nakba kedua” bagi rakyat Palestina.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
Di tengah kecemasan warga Palestina di Gaza menghadapi ultimatum evakuasi dalam 24 jam oleh militer Israel, negara-negara Arab tetangga menolak pengusiran warga Palestina di Gaza. Simpati dilayangkan kepada mereka, tetapi jalur kemanusiaan tidak kunjung dibuka.
Mesir, seperti dilansir situs MENAFN, menutup semua perbatasan mereka dengan Palestina dan Israel, yaitu Rafah, Taba, dan Karam Abu Salem. Hanya Rafah yang secara berkala dibuka untuk mengantarkan berbagai bantuan sosial bagi warga Palestina dari Mesir. Menurut Kairo, penutupan ini dilakukan untuk mencegah banjir pengungsi ke Mesir.
”Rakyat Palestina hendaknya bertahan di Gaza demi menjaga tanah air. Jika Gaza ditinggalkan, Palestina kehilangan wilayah dan rumah,” ujar Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, dikutip surat kabar Al-Ahram, Jumat (13/10/2023).
Di mata Sisi, jika sampai terjadi gelombang eksodus massal warga Palestina dari Gaza, apalagi jika kemudian wilayah itu kembali diduduki Israel, hal ini semakin mempertipis peluang berdirinya negara Palestina di masa depan. Sudah lama rakyat Palestina mengidamkan negara merdeka di atas wilayah garis perbatasan tahun 1967—termasuk Jalur Gaza—dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Pernyataan Raja Abdullah II dari Jordania tak kalah kerasnya. Ia juga ”menolak setiap upaya paksa bagi rakyat Palestina untuk meninggalkan seluruh teritorial Palestina atau upaya yang memicu perpindahan mereka sambil menyerukan perlunya langkah-langkah pencegahan agar krisis tidak merembes ke negara-negara tetangga dan memperburuk masalah pengungsi”.
Kondisi saat ini semakin menyusahkan warga Gaza. Dalam posisi terjepit, setelah bertahun-tahun hidup dalam blokade, ke wilayah tetangga sebelah saja mereka tidak bisa.
Diabaikan
Pengamat isu Timur Tengah dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, Hamdan Basyar, menjelaskan, situasi ini pelik tak lepas dari langkah beberapa negara Arab yang menormalisasi hubungan dengan Israel tidak bisa mendorong isu Palestina dibahas lebih lanjut. Sejak tahun 2020, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel, menyusul dua negara Arab lainnya, Mesir dan Jordania.
Dalam beberapa bulan terakhir, Arab Saudi—dengan mediasi Amerika Serikat—menegosiasikan hubungan diplomasi dengan Israel. ”Bisa dipahami bahwa negara-negara Arab tersebut memiliki kepentingan masing-masing dalam normalisasi hubungan itu. Pada saat yang sama, Palestina merasa ditinggalkan dalam perundingan. Teman-teman yang semestinya membela mereka ternyata tidak menyinggung Palestina di dalam membangun hubungan dengan Israel,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (14/10/2023).
Palestina merasa ditinggalkan dalam perundingan. Teman-teman yang semestinya membela mereka ternyata tidak menyinggung Palestina di dalam membangun hubungan dengan Israel. (Hamdan Basyar)
Di tengah pengabaian isu Palestina oleh negara-negara Arab tersebut, kelompok Hamas menyerang Israel selatan, sepekan lalu. Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair SM Alshun, dalam konferensi pers, Selasa (10/10/2023), mengungkapkan, seluruh kelompok dan elemen di Palestina bersatu padu bersama kelompok Hamas untuk bertempur di darat melawan Israel.
”Gaza tidak akan sendirian menghadapi agresi (Israel) ini, sama seperti wilayah-wilayah lain pendudukan Palestina,” kata Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Abbas, seperti dikutip kantor berita Palestina, Wafa, Sabtu (7/10/2023).
Menurut Hamdan, serangan Hamas pada 7 Oktober lalu menjadi pukulan telak bagi Israel. Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan, tercatat jumlah korban jiwa dari Israel per Sabtu (14/10/2023) malam kini 1.200 orang, sedangkan dari pihak Palestina sedikitnya 2.215 orang. Anak-anak, perempuan, dan warga lansia turut menjadi korban.
Dalam pertemuan darurat tingkat menteri luar negeri Liga Arab di Kairo, 11 Oktober, organisasi beranggotakan 22 negara Arab itu menekankan bahwa mereka tidak meninggalkan Palestina.
Dalam pernyataan bersama, Liga Arab mendorong perwujudan solusi dua negara, yakni berdirinya negara Palestina dan Israel secara berdampingan dan damai. Organisasi itu juga meminta penghentian pertempuran dan mendorong agar kedua belah pihak kembali ke meja perundingan.
Arab Saudi melalui pernyataan yang dirilis kantor berita SPA mengatakan, mereka membawa prioritas perdamaian di Palestina ke negara-negara sahabat. Hal itu disampaikan Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman dalam pembicaraan via telepon dengan para mitranya, antara lain dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Sisi, dan Raja Abdullah II.
Sementara di Doha, Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim al-Thani mengatakan, Qatar mengupayakan deeskalasi, pembukaan jalur kemanusiaan, dan pembebasan sandera. Hal itu disampaikannya saat menerima lawatan Menlu AS Antony Blinken, Jumat (13/10/2023), seperti dilansir Guardian.
Lindungi Palestina
Di tengah upaya diplomatik yang sedang berlangsung, ribuan warga Palestina di Jalur Gaza dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka di wilayah utara. Israel mengultimatum warga Gaza utara agar mengungsi ke selatan di tengah persiapan militernya untuk kemungkinan menyerang wilayah itu dari darat.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut eksodus pergerakan warga Palestina di Gaza saat ini menjadi ”Nakba kedua” bagi rakyat Palestina. Dalam pembicaraan via telepon dengan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeu, Jumat (13/10/2023), ia juga menekankan pentingnya perlindungan bagi rakyat Palestina dan pembukaan koridor kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Namun, di tengah gempuran tanpa henti oleh militer Israel, tak ada jalan bagi warga Palestina untuk keluar dari Gaza. Situasi ini berbeda dengan peristiwa Nakba tahun 1948. Ketika itu, 760.000 warga Palestina atau setara dengan setengah dari total penduduk Palestina terusir dari kampung halaman. Mereka mengungsi ke berbagai negara Arab, seperti Jordania, Lebanon, dan Suriah, selain mereka yang tinggal di Gaza dan Tepi Barat.
Di negara-negara tujuan itu, warga Palestina tinggal di kemah-kemah pengungsian. Bahkan, status pengungsi itu terus disandang anak cucu mereka hingga hari ini. Eksodus warga Gaza pekan ini mengingatkan pada peristiwa Nakba, 75 tahun silam. Hanya, sampai saat ini belum ada kepastian ke mana mereka akan menemukan tempat yang aman. (AP/REUTERS)