Warga Jalur Gaza Terpenjara di Neraka Dunia
Tidak terbayangkan hidup di Jalur Gaza yang senantiasa jadi korban roket Israel. Belum lagi harus bergantung pada bantuan internasional dan pergerakan serba dibatasi seperti layaknya tinggal di penjara terbuka.
Sebagai pembalasan atas serangan Hamas, Israel tidak hanya kembali menyerang Gaza. Israel mengepung total Gaza. Pasokan air, listrik, bahan bakar, hingga makanan dihentikan.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant menyebut penduduk Gaza sebagai hewan. Padahal, wilayah 362,5 kilometer persegi itu dihuni 2,2 juta manusia, sebagian anak-anak dan lansia.
AFP melaporkan, pada Selasa (10/10/2023), Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan HAM Volker Turk mengecam keputusan Israel. ”Pengepungan yang membahayakan warga sipil dengan cara merintangi akses dari kebutuhan pokok yang diperlukan untuk bertahan hidup adalah hal terlarang dalam hukum kemanusiaan internasional,” ujarnya.
Blokade total dikhawatirkan akan memperburuk kondisi Gaza. Para pembela hak asasi manusia menyebut Gaza sebagai ”penjara terbuka” terbesar di dunia. Bahkan, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut Jalur Gaza sebagai ”neraka dunia”.
Baca juga: Babak Baru Kekerasan di Gaza, Siklus Berulang Jelang Hajatan Politik di Israel
Menurut PBB, Jalur Gaza adalah salah satu tempat termiskin di dunia. Laporan Bank Dunia pada September 2023 menyebut, 60 persen pemuda Gaza menganggur. Secara keseluruhan, pengangguran di Gaza mencapai 45 persen dari keseluruhan angkatan kerja. Sebagai pembanding, hanya 4 persen angkatan kerja Israel menganggur.
Perekonomian yang lesu menyebabkan minimnya barang kebutuhan hidup, terutama makanan dan obat-obatan. Rumah sakit di Gaza sering kekurangan peralatan dan obat-obatan karena blokade itu. Warga Palestina di Gaza harus mengajukan izin meninggalkan wilayah itu kalau hendak berobat di Tepi Barat atau di dalam wilayah Israel.
Badan PBB untuk membantu Palestina, UNWRA, menyebut hingga tiga dari setiap lima orang di Gaza dalam kondisi rawan pangan. Mereka tidak memiliki akses terhadap makanan yang cukup untuk hidup sehat.
Pada 2021, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyetujui bantuan sebesar 235 juta dollar AS untuk Palestina. Dana itu, antara lain, terdiri dari 150 juta dollar AS bagi UNWRA dan 75 juta dollar AS untuk bantuan ekonomi Tepi Barat dan Gaza. Biden membalikkan kebijakan presiden sebelumnya, Donald Trump, yang menangguhkan semua bantuan untuk Palestina pada 2018-2020.
Baca juga: Netanyahu Stop Listrik, BBM, dan Pangan ke Gaza, Abbas Bela Warga
Blokade di Gaza memburuk sejak Hamas menguasai wilayah itu pada 2007. Bukan hanya Israel, Mesir pun bolak-balik menutup akses dari dan ke Gaza. Padahal, pintu ke dan dari Gaza hanya bisa lewat Israel atau Mesir.
Blokade yang membatasi pergerakan orang dan barang dianggap oleh Israel sebagai cara yang harus dilakukan untuk mencegah arus persenjataan dan penyerang masuk ke wilayah Israel. Israel tak mau ada celah sedikit pun yang memungkinkan Hamas atau Palestina membuat senjata.
Akibat blokade itu, laporan PBB tahun 2020 menyebutkan kerugian ekonominya mencapai 16,7 miliar dollar AS antara tahun 2007-2018 atau enam kali lebih besar daripada produk domestik bruto (PDB) rata-rata Gaza. Gara-gara blokade itu juga, angka kemiskinan naik empat kali lipat.
Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah kelompok HAM memperingatkan konflik militer antara Israel dan Hamas akan memperburuk kehidupan rakyat Palestina di Gaza. Jalur Gaza menjadi sasaran tiga putaran permusuhan militer besar sejak 2008 dan menyebabkan perekonomian regional Gaza runtuh.
Bank Dunia pernah memperingatkan meningkatnya bentrokan antara warga Palestina dan pasukan Israel di Tepi Barat dan Gaza akan memperparah ketidakpastian ekonomi. Warga sipil, terutama anak-anak, yang harus menanggung akibatnya.
Sebelum konflik Israel dan Palestina, 7 Oktober lalu, pada tahun 2021 juga terjadi pertikaian sengit antara Israel dan Hamas dan menewaskan sedikitnya 67 anak. Pada Mei lalu, 12 warga sipil tewas akibat serangan Israel.
Terputus dari dunia
Gaza adalah wilayah kecil Palestina dengan pemerintahan sendiri yang berada di bawah pendudukan Israel, sama halnya dengan Tepi Barat dan Jerusalem Timur, setelah Perang Arab-Israel pada 1967. Berbatasan dengan Israel dan Mesir di pantai Mediterania, Gaza adalah bagian dari wilayah Palestina yang bersejarah sebelum negara Israel dibentuk pada 1948 melalui proses pembersihan etnis yang kejam dengan mengusir ratusan ribu warga Palestina dari rumah mereka.
Wilayah ini direbut oleh Mesir saat Perang Arab-Israel dan tetap berada di bawah kendali Mesir hingga 1967. Pada waktu itu, Israel lalu merebut sisa wilayah Palestina—Jalur Gaza dan Tepi Barat— ketika perang dengan negara-negara Arab.
Gaza berbeda dengan Tepi Barat yang jauh lebih besar dan tidak terlalu padat penduduknya dan dikendalikan oleh Partai Fatah, faksi terkuat di Organisasi Pembebasan Palestina. Fatah dianggap Barat sebagai wakil Palestina dan mau berdamai dengan Israel.
Baca juga: Mengapa Timur Tengah Selalu Bergejolak?
Untuk bisa bertahan hidup, warga di Jalur Gaza sangat bergantung pada bantuan internasional. Apalagi dengan banyaknya pengungsi (60 persen warga Palestina di Gaza adalah pengungsi) yang masih tinggal di penampungan pengungsian.
Fasilitas serba terbatas. Listrik sering mati. Jika pun ada listrik, hanya bertahan selama beberapa jam saja dalam sehari. Air bersih pun langka. Pergi dari daerah itu pun sulit bagi warga karena semua akses keluar masuk ditutup kecuali akses penyeberangan Rafah yang dikuasai Mesir.
”Saya tidak tahu harus apa. Tidak bisa keluar. Sekarang kami harus hidup di jalanan karena rumah saya hancur diserang Israel. Setiap hari rasanya takut dan panik karena setiap saat bisa saja rumah kena roket. Saya hanya ingin rumah yang layak untuk hidup dengan keluarga saya,” kata Hani el-Bawab (75) kepada CNN.
Kadang, Israel mengizinkan warga Gaza menyeberang Beit Hanoun. Akan tetapi, izin hanya untuk kasus kemanusiaan yang luar biasa dengan penekanan pada kasus medis yang mendesak. Menurut PBB, jumlah warga Palestina yang keluar melalui penyeberangan selama dekade 2010-2019 mencapai rata-rata 287 orang per hari.
Baca juga: Pemerintah Upayakan Evakuasi WNI dari Gaza
Dimulai pada akhir 1980-an dengan meletusnya pemberontakan Palestina pertama, atau Intifada, Israel mulai menerapkan pembatasan dengan memperkenalkan sistem perizinan. Sistem itu warga Gaza mendapat izin kalau mau ke Tepi Barat, Jerusalem, dan tentu saja Israel. Izinnya susah sekali didapat.
Sejak tahun 1993, Israel rutin menggunakan taktik penutupan di wilayah Palestina. Kadang, Israel melarang semua warga Palestina di wilayah tertentu untuk keluar. Larangan bisa berbulan-bulan.
Pada 1995, Israel membangun pagar yang dialiri listrik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza. Pada 2000, ketika Intifada Kedua meletus, Israel membatalkan banyak izin perjalanan dan izin kerja yang ada di Gaza.
Perlakuan berbeda diberikan kepada warga Israel, pemukim Yahudi, dan orang asing yang boleh keluar masuk Gaza sesukanya. Human Rights Watch dalam laporannya tahun 2021 menyebutkan melarang warga Palestina di Gaza untuk bergerak bebas di tanah air mereka sendiri menghambat kehidupan dan menunjukkan kenyataan kejam dari apartheid dan penganiayaan terhadap jutaan warga Palestina. (AFP/REUTERS/AP)