Penembakan massal jarang terjadi di Thailand. Namun, kekerasan dengan senjata api dan kepemilikan senjata api merupakan hal yang umum.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·4 menit baca
BANGKOK, RABU — Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin menjanjikan pencegahan kekerasan bersenjata setelah insiden penembakan di pusat perbelanjaan yang menewaskan dua orang. Insiden ini mengungkit pertanyaan tentang kebijakan pengendalian senjata di negara itu.
Srettha mengunjungi pusat perbelanjaan Mal Siam Paragon di Bangkok, Rabu (4/10/2023), dan ikut mengheningkan cipta. ”Mari kita jadikan kejadian ini yang terakhir. Pemerintahan saya akan berusaha keras untuk memberi prioritas pada pencegahan,” katanya. Ia tidak memberikan keterangan detail tentang pencegahan yang dimaksud.
Pengunjung sudah kembali berdatangan ke salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Thailand itu, sehari setelah penembakan. Pada Selasa, seorang pelaku melepaskan tembakan, menewaskan dua turis dari China dan Myanmar, serta melukai lima orang lainnya.
Polisi telah menangkap tersangka, seorang remaja berusia 14 tahun yang bersekolah di sekolah swasta mahal yang lokasinya hanya berjarak beberapa ratus meter dari mal itu. Remaja yang belum diungkap identitasnya itu diduga mengalami gangguan psikologis dan telah memodifikasi pistol yang dirancang untuk menembak peluru kosong.
Kepala Kepolisian Thailand (RTP) Torsak Sukvimol mengatakan, awalnya petugas mempertanyakan motif pembunuh remaja itu. Pelaku mengatakan, dia memiliki masalah kesehatan mental dan telah menjalani perawatan di Rumah Sakit Rajavithi. Pelaku juga tidak mengaku mengonsumsi obat yang diresepkan beberapa waktu sebelum melakukan penembakan.
Kepolisian Thailand merilis foto penangkapan remaja yang diduga sebagai pelaku penembakan massal di Mall Siam Paragon, Bangkok, Selasa (3/10/2023).
Remaja itu merasa ada seseorang yang memberinya perintah untuk membunuh. Dia melihat versi lain dari dirinya yang memberi perintah untuk melakukan hal-hal tertentu. Torsak menilai pernyataan pelaku membingungkan. Interogasi baru akan dilanjutkan setelah kondisi mentalnya stabil. Di tempat tinggal pelaku, pihak berwenang menemukan senjata BB, peluru M16, selongsong senapan, dan peluru 9 mm, yang menimbulkan kekhawatiran tentang ketersediaan senjata api.
Penembakan massal jarang terjadi di Thailand. Akan tetapi, kekerasan dengan senjata api dan kepemilikan senjata api merupakan hal yang umum. Meskipun aturan kepemilikan ketat, senjata api masih dapat dimodifikasi dan diperoleh secara ilegal. Sering kali senjata diselundupkan dari luar negeri.
Thailand merupakan salah satu negara dengan kepemilikan senjata yang tertinggi di kawasan. Berdasarkan data GunPolicy.org, diperkirakan hingga 10 juta senjata api beredar atau sekitar satu dari tujuh orang memiliki senjata api. Hasilnya buruk. Thailand mencatat hampir 1.300 kematian akibat senjata api terjadi pada 2019. Jumlah ini sangat tinggi dibandingkan 130 korban di Vietnam, tetangga Thailand, yang populasinya 40 persen lebih tinggi dibanding Thailand.
Sangat wajar para pelajar dari sekolah kejuruan membuat sendiri senjata mereka. Faktor yang mendasari adalah norma bahwa kamu harus terlihat kuat, berkuasa, dan punya senjata adalah cara menunjukkannya.
Boonwara Sumano dari Thailand Development Research Institute merujuk pada norma umum yang mengagung-agungkan senjata sejak usia muda. ”Sangat wajar para pelajar dari sekolah kejuruan membuat sendiri senjata mereka. Faktor yang mendasari adalah norma bahwa kamu harus terlihat kuat, berkuasa, dan punya senjata adalah cara menunjukkannya,” katanya.
Untuk membeli senjata secara sah, pembeli harus berusia minimal 20 tahun, menjalani pemeriksaan latar belakang, dan memberikan alasan kepemilikan seperti untuk berjaga-jaga atau berburu. Namun, program pemerintah yang disebut ”kesejahteraan senjata” membuat ratusan ribu pucuk senjata masuk ke Thailand.
Berdasarkan program itu, aparat pemerintah diberi diskon untuk senjata pribadi dan bisa membeli langsung melalui agen, dibandingkan melalui proses perizinan sipil. ”Inilah masalah yang sebenarnya,” kata Michael Picard, peneliti independen yang fokus pada pelucutan senjata ringan, kepada AFP.
Insiden terbaru ini terjadi tiga hari sebelum peringatan satu tahun penembakan massal dan penusukan di timur laut Thailand. Peristiwa itu memakan 35 korban jiwa, 22 di antaranya anak-anak. Pelakunya adalah mantan polisi yang kemudian bunuh diri.
Pada 2020, penembakan massal terjadi di empat lokasi berbeda di Nakhon Ratchasima dengan pelaku seorang tentara. Penembakan itu menewaskan setidaknya 29 orang dan melukai 57 lainnya.
Penembakan ini juga terjadi ketika Pemerintah Thailand berusaha menghidupkan kembali perekonomian dengan menarik lebih banyak wisatawan, terutama warga negara China, ke tujuan wisata yang populer ini. Siam Paragon, terkenal sebagai tempat yang paling banyak difoto di dunia oleh Instagram pada 2013. Pusat perbelanjaan ini merupakan mal paling terkenal di Thailand yang menarik pengunjung domestik dan internasional. Pusat belanja itu dipenuhi toko-toko mewah, akuarium, bioskop, dan restoran.
China adalah pasar penting bagi industri pariwisata Thailand. Turis dari Negeri Tirai Bambu itu menyumbang seperempat dari hampir 40 juta pengunjung pada 2019 sebelum pandemi Covid-19. Kedutaan Besar China di Bangkok menyatakan penyesalan atas insiden ini. PM Srettha telah memanggil Duta Besar China untuk Thailand guna memberikan jaminan dilakukannya penyelidikan menyeluruh. Thailand juga memberi jaminan untuk memperkuat manajemen keamanan publik guna memberikan lingkungan yang dapat diandalkan dan aman bagi warga China yang bepergian ke Thailand. (AFP/AP/REUTERS)