Kota di Jepang Tolak Jadi Tempat Pembuangan Limbah Nuklir
Jepang akan memeriksa setidaknya 180 contoh aneka biota lain di laut sekitar Fukushima sampai Maret 2024.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
TOKYO, KAMIS — Pemerintah Kota Tsushima menolak tahapan untuk menjadikan kota di salah satu pulau kecil Jepang itu sebagai tempat pembuangan limbah nuklir. Penolakan itu disampaikan sebulan setelah Jepang mulai membuang air limbah dari PLTN Fukushima.
Wali Kota Tsushima Naoki Hitakatsu menyebut bahwa sebagian warga kota tidak setuju tahapan pemilihan Tsushima sebagai penampung limbah nuklir dimulai. ”Risiko yang mungkin timbul dari faktor-faktor yang tidak disadari tidak bisa dikesampingkan,” katanya sebagaimana dilaporkan kantor berita Kyodo, Rabu (27/9/2023) malam waktu Tokyo.
Pada 2017, Tsushima dijajaki menjadi salah satu tempat penyimpanan limbah nuklir. Menurut rencana, akan dibangun rubanah setidaknya 300 meter di bawah tanah untuk menjadi tempat penyimpanan aneka limbah radioaktif dari sejumlah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Jepang.
Untuk memilih kota, dilakukan serangkaian persiapan, termasuk pemeriksaan kelayakan lokasi. Hitakatsu telah mengumumkan, Pemkot Tsushima menolak pemeriksaan awal itu.
Ia membenarkan, ada tawaran subsidi 2 miliar yen jika Tsushima mau dijadikan tempat penampungan limbah nuklir. Walakin, menurut Hitakatsu, nilai subsidi itu tidak sebanding dengan potensi kerugian jika kota itu jadi tempat sampah nuklir.
Ekspor hasil laut anjlok menjelang dan sejak air tercemar radioaktif dari PLTN Fukushima dibuang ke laut. Nilai penurunannya lebih dari 10 miliar yen pada Juli-Agustus 2023 saja.
Perekonomian kota itu mengandalkan hasil penangkapan cumi-cumi dan peternakan mutiara. Belajar dari kota-kota di sekitar Fukuhisma, perekonomian daerah yang mengandalkan hasil laut terpukul sejak inti reaktor PLTN Fukushima meleleh pada 2011.
Dampak Fukushima
Pemerintah Jepang mengakui, ekspor hasil laut anjlok menjelang dan sejak Tokyo memutuskan mulai membuang air tercemar radioaktif dari PLTN Fukushima ke laut. Nilai penurunannya lebih dari 10 miliar yen pada Juli-Agustus 2023 saja. Nilai itu dikhawatirkan membesar karena penolakan dari sejumlah negara tujuan ekspor boga bahari dan aneka hasil laut Jepang.
Pada 24 Agustus-11 September 2023, Tokyo Electric Power Co (Tepco) telah membuang 7.800 ton air tercemar radioaktif. Tepco akan kembali membuang 7.800 ton air itu pada September-Oktober 2023. Dari akhir Agustus sampai Maret 2023, Tepco berencana membuang total 31.000 ton air limbah itu.
Pembuangan tetap dilakukan meski ada penolakan di dalam dan luar Jepang. Warga dari Fukushima dan Miyagi telah mengajukan gugatan. Mereka meminta pengadilan memerintahkan penundaan pembuangan limbah.
Ada bukti 44 contoh ikan di sekitar Fukushima mengandung sesium hingga 180 kali lebih tinggi dari ambang batas di Jepang. Sesium lebih berbahaya dari tritium.
Dalam gugatan disebutkan, pembuangan itu mengancam hak hidup warga dan mengganggu usaha warga mencari ikan dan aneka boga bahari. ”Pembuangan itu bentuk pelanggaran oleh pemerintah pusat dan Tepco,” kata Hiroyuki Kawai, pengacara para penggugat.
Pemerintah Jepang dan Tepco berkeras, air yang dibuang telah diolah sehingga menurunkan risiko. Bahkan, dari 64 contoh ikan yang diperiksa dari perairan sekitar Fukushima, tidak ditemukan kandungan tritium. Dari berbagai radioaktif yang terkandung di air limbah PLTN Fukushima, tritium adalah salah satunya.
Jepang akan memeriksa setidaknya 180 contoh ikan dan aneka biota lain di laut sekitar Fukushima sampai Maret 2024. Pemeriksaan untuk mencari tahu apakah ada peningkatan kandungan radioaktif pada biota laut sejak limbah mulai dibuang.
Reaksi negara lain
Penolakan dan protes atas pembuangan itu masih terus terjadi di sejumlah negara. ”Penilaian yang disampaikan operator PLTN Fukushima, Tepco, tidak cukup kuat untuk mendukung gagasan membuang limbah radioaktif,” kata Direktur Warga Bumi, Tsai Hui-hsun, kepada Focus Taiwan.
Sejumlah LSM di Taiwan memang menolak pembuangan limbah PLTN Fukushima ke laut. Tsai mengingatkan, biota laut terus bergerak dari satu perairan ke perairan lain. Dalam laporan untuk periode Mei 2022-2023, tercantum bukti 44 contoh ikan di sekitar Fukushima mengandung sesium hingga 180 kali lebih tinggi dari ambang batas di Jepang. Sesium lebih berbahaya dari tritium.
Sekretaris Jenderal Aliansi Aksi Hijau Masyarakat Taiwan Tsui Shu-hsin menyebut, Tokyo lebih mementingkan menghemat uang dibandingkan menyelamatkan lingkungan. Sebab, pembuangan ke laut bukan satu-satunya solusi atas limbah PLTN Fukushima. Ada cara lain yang memang lebih mahal karena membutuhkan ruang penyimpanan lebih luas.
Peneliti pada Asosiasi Pakar Hukum Lingkungan Taiwan, Hsieh Pei-yi, menyebut perairan Fukushima penting bagi nelayan Taiwan. Ia mengingatkan, informasi kandungan radioaktif di perairan antara Fukushima ke Taiwan tidak tersedia tepat waktu. ”Jika kandungannya melebihi ambang batas, butuh beberapa hari bagi khalayak untuk tahu kondisi itu,” katanya, sebagaimana dikutip Focus Taiwan.
Sementara Wakil Tetap Korea Utara untuk Perserikatan Bangsa-bangsa Kim Song mengecam pembuangan itu. ”Meskipun ada protes keras dan kritik terhadap komunitas internasional, Jepang tetap membuang air yang terkontaminasi nuklir ke laut sehingga menimbulkan bencana kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap keselamatan umat manusia dan lingkungan ekologi kelautan,” ujarnya dalam pidato di sidang Majelis Umum PBB pada Selasa (26/9/2023).
Ia juga mengecam Dewan Keamanan PBB dan lembaga terkait karena masalah itu. Sebab, DK PBB masih bungkam sampai sekarang. Bahkan, ada anggota tetap DK PBB yang mendukung pembuangan itu.
Kim memang tidak menyebut negara. Sejauh ini di antara lima anggota DK PBB, hanya Amerika Serikat dan Inggris yang mendukung pembuangan itu. London dan Washington menyebut, pembuangan itu telah sesuai ketentuan internasional. Sementara China yang juga anggota tetap DK PBB mengecam keras. Adapun Rusia mengecam dengan cara lebih lunak daripada China. (REUTERS/AFP)