Merawat Kenangan Raja-raja Thailand di Curug Dago
Kunjungan Raja Siam Rama V dan Rama VII ke Curug Dago, 127 tahun silam, yang dibuktikan dengan dua prasasti menjadi landasan memperkuat hubungan erat kedua negara.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F93f436e2-65de-46a0-8c27-7692cae84517_jpeg.jpg)
Duta Besar Thailand untuk Indonesia Prapan Disyatat (kiri) sedang menjelaskan informasi di papan petunjuk bagi pengunjung Curug Dago saat peluncurannya di Bandung, Kamis (21/9/2023) siang.
Ada dua Raja Siam, kerajaan yang kini bernama Thailand, penasaran dengan keindahan Curug Dago di Jawa Barat. Di lokasi wisata dengan air terjun setinggi 15 meter itu, dua raja Siam bertandang sebelum dan setelah Perang Dunia I.
Raja Rama V Chulalongkorn jalan-jalan blusukan ke kawasan curug yang terkenal indah sejak zaman Hindia Belanda itu. Chulalongkorn sampai datang ke curug dua kali.
Lawatan pertamanya ke Jawa, tahun 1871, belum sampai ke curug di Bandung, Jawa Barat, itu. Baru pada lawatan keduanya ke Jawa, Chulalongkorn ke curug, yakni pada 1896 dan 1901.
Baca Juga: Kisah Pertemuan Raja Thailand dan Raja-raja Jawa di Masa Lampau
Imtip Pattajoti Suharto, penulis buku Journeys to Java by Siamese King (2001), mengatakan, 28 tahun setelah lawatan Chulalongkorn, Raja Rama VII atau Prajadiphok Sakdidejana menapak tilas kunjungan ke Curug Dago pada 1929. Rama VII mau melihat prasasti yang dibuat Chulalongkorn. Prajadiphok, kata Imtip pada Kamis (21/9/2023), juga menorehkan namanya di salah satu batu untuk menandai kunjungannya ke Curug Dago.
Kedua raja ini menorehkan kenangannya di curug pada batu yang kini disebut prasasti Curug Dago. Chulalongkorn menuliskan inisial namanya pada batu andesit berukuran 122 x 46 x 56 sentimeter. Tulisan Prajadiphok ditorehkan pada batu berukuran 202 X 96 x 67 sentimeter.
Kedatangan Chulalongkorn yang suka berpetualang menjelajah luar negeri dan belajar beragam kebudayaan dan kemajuan teknologi ini yang kemudian lebih memopulerkan Curug Dago. Curug itu merupakan warisan alam yang terbentuk dari aliran lava letusan Gunung Tangkuban Perahu pada 125.000 tahun dan 48.000 tahun silam.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F9b34da51-c541-448e-89e7-a9cfa2826ccc_jpeg.jpg)
Imtip Pattajoti Suharto, penulis buku "Journeys to Java by Siamese King" (2001), Kamis (21/9/2023), menceritakan, 28 tahun setelah lawatan Chulalongkorn, Raja Rama VII atau Prajadiphok Sakdidejana menapaktilas kunjungan ke Curug Dago pada 1929 untuk melihat prasasti yang dibuat Chulalongkorn.
Raja Chulalongkorn sangat terkenal karena berpikiran terbuka dan maju. Chulalongkorn-lah yang melakukan banyak perubahan dan mereformasi Siam kala itu.
Duta Besar Thailand untuk Indonesia Prapan Disyatat mengatakan, dua prasasti kedua raja Siam itu menjadi bukti hubungan baik antara Thailand dan Indonesia sejak dulu. Untuk semakin mempererat hubungan kedua negara, Kedutaan Besar Thailand di Jakarta memasang papan informasi terkait dua prasasti itu untuk pengunjung Curug Dago di lokasi curug pada Kamis (21/9/2023).
Pulau Jawa, kata Prapan, sering menjadi tujuan lawatan pertama raja-raja Thailand. Selain raja Rama V dan VII, Raja Bhumibol Adulyandej juga melawat ke Jawa setelah dinobatkan pada 1960.
Lawatan itu dibalas Presiden RI Soekarno pada 1961. ”Raja yang sekarang, Maha Vajiralongkorn, juga pernah ke Indonesia ketika masih menjadi pangeran pada 1986,” ujar Prapan.
Baca Juga: Jejak Raja Thailand di Jawa
Prapan menilai kunjungan-kunjungan kerajaan ini tidak hanya membantu meletakkan fondasi yang kuat pada hubungan bilateral. Kunjungan itu juga meningkatkan kehidupan rakyat kedua negara.
”Thailand dan Indonesia memiliki hubungan dekat karena kesamaan tradisi dan budaya. Indonesia dan Thailand juga teman lama dan teman baik. Seperti komentar Raja Chulalongkorn dulu ketika berkunjung; orang-orang Jawa sangat baik dan bersahabat,” kata Prapan.
Imtip menceritakan perjalanan raja-raja Thailand ini secara singkat yang kemudian dilanjutkan putrinya, Shwita Suharto. Shwita memulai cerita ibunya dari Raja Rama IV atau Raja Mongkut, ayah Chulalongkorn, yang sosoknya menginspirasi film The King & I (1956) dan Anna and the King (1999).

Raja Mongkut (Cho Yun Fat) dan Anna Leonowens (Jodie Foster) dalam film Anna and the King.
Pada masa pemerintahan Raja Mongkut, negara-negara tetangga Siam sudah terjajah. Raja Mongkut menyiapkan beberapa strategi untuk mencegah kolonialisme di Thailand.
Salah satunya adalah dengan menyiapkan putra mahkota, Rama V, untuk mampu melindungi negara dan rakyatnya dari penjajahan. ”Raja Mongkut menyadari pentingnya pendidikan. Beliau sendiri belajar bahasa Inggris dan menjadi bangsawan pertama di Asia yang dapat berbahasa Inggris,” kata Shwita.
Untuk putra-putrinya, Raja Mongkut merekrut Anna Leonowens untuk menjadi guru bahasa Inggris. Setelah Raja Mongkut mangkat pada 1868, Chulalongkorn yang saat itu berusia 15 tahun dinobatkan menjadi raja.
Baca Juga: Raja Chulalongkorn Studi Banding Kereta Api di Semarang
Chulalongkorn pernah menuliskan perasaannya saat dinobatkan menjadi raja. ”Tiada kata yang bisa melukiskan perasaan sedihku menjadi yatim piatu di usia sangat muda dan dinobatkan menjadi raja yang harus menghadapi musuh di dalam dan luar negeri sendirian. Mahkota ini terasa sangat berat. Hari penobatan itu menjadi hari yang paling sial untukku,” begitu katanya.
Di usia yang sangat muda, Chulalongkorn bertekad menjadikan Siam negara yang berdaulat dan makmur dengan visi luar biasa. Kemudian, pada usia remaja, 17 tahun, di tahun 1871 Chulalongkorn memutuskan melawat ke luar negeri dan tujuan pertamanya ke Jawa dengan singgah sebentar ke Singapura.
Diterima dengan baik oleh penguasa setempat, Chulalongkorn memberikan tanda kasih patung gajah dari perunggu untuk Batavia dan Singapura. Sampai saat ini gajah perunggu itu masih dipajang di Victoria Memorial Hall, Singapura, dan Monumen Nasional atau Museum Gajah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F24%2F658139c8-fd48-4c32-82c9-e11b21bcad9a_jpg.jpg)
Patung gajah berdiri di halaman depan Museum Nasional di Jakarta Pusat, Sabtu (24/12/2022). Museum Nasional juga biasa disebut Gedung Gajah atau Museum Gajah karena di halaman depan museum terdapat sebuah patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang pernah berkunjung ke museum pada 1871.
Jawa pada zaman itu sedang dijajah Belanda dan sudah maju dalam perdagangan dan teknologi baru. ”Yang paling menarik perhatian raja waktu itu adalah kereta api yang juga masih baru di Semarang,” kata Shwita.
Chulalongkorn melihat banyak hal baru yang belum ada di Siam, seperti barak tentara, kantor pos, sekolah, rumah sakit, pengadilan, kantor telegram, penjara, dan bank. Untuk mendapatkan ide pembaruan bagi Siam, Chulalongkorn ingin mempelajari cara penjajah mengelola daerah administrasi jajahan mereka.
Meski berusia 17 tahun, Chulalongkorn sering bepergian ke luar negeri, seperti ke India, Malaya, Burma (kini Myanmar), dan Eropa. Akan tetapi, Jawa menjadi tempat spesial baginya dan terbukti sampai datang tiga kali.
Baca Juga: Kunjungan Raja Chulalongkorn ke Batavia, Inspirasi Modernisasi Thailand
Perjalanannya ke Jawa menarik karena pada masa itu Jawa selalu memiliki sesuatu yang baru dan bertingkat internasional serta maju pesat. ”Raja terinspirasi membangun Siam menjadi negara yang makmur dan berdaulat bebas dari kolonialisme,” kata Shwita.
Menyamar
Selain kunjungan resmi, Chulalongkorn juga suka bepergian dengan menyamar sebagai rakyat biasa untuk melihat keseharian kehidupan rakyat. Ketika berada di Jawa, Chulalongkorn juga menyamar menjadi orang biasa dan sempat menonton pertunjukan kesenian ronggeng dan wayang.
Berkat kunjungannya ke Jawa, ketika berusia 20 tahun, Chulalongkorn yang sudah memiliki kekuasaan penuh lalu mengajak saudara-saudaranya yang seumuran untuk membangun dan melakukan perubahan besar-besaran dan cepat di Siam.

Raja Thailand Rama V atau Chulalongkorn
Terinspirasi dari lawatan luar negerinya, Chulalongkorn mengubah sistem tatanan negara dan beragam fasilitas umum, seperti rumah sakit, infrastruktur jalan, dan bangunan. Gerakan reformasi ini sampai ke tingkat desa.
”Untuk memantau perkembangan secara langsung, beliau sering ke luar kota dan menyamar jadi orang biasa untuk dapat informasi langsung tentang keadaan rakyatnya dan perilaku pejabat setempat,” kata Shwita.
Baca Juga: Kapal Perang TNI dalam Film Hollywood
Setelah bekerja keras selama 20 tahun dan menghadapi ancaman kolonialisme dari Perancis, Chulalongkorn jatuh sakit. Dokter kerajaan lalu menganjurkannya untuk beristirahat, berobat, dan berlibur di Jawa bersama keluarga.
Pada waktu itulah dia ke Curug Dago pertama kali pada 19 Juni 1896. Pada kunjungan keduanya, 6 Juni 1901, barulah dia menuliskan inisialnya di sebuah batu besar yang kemudian dipahat.
Dalam perjalanannya ke Jawa untuk ketiga kalinya, Chulalongkorn mengajak Pangeran Prajadiphok yang masih berusia 8 tahun. Sekitar 28 tahun kemudian atau dua tahun setelah Prajadiphok dinobatkan menjadi raja, dia juga ke Bandung pada 12 Agustus 1929.
Begitu sampai di Bandung, dia langsung ke Curug Dago untuk melihat prasasti Chulalongkorn. Saat itu, ia juga ikut menorehkan inisialnya di dua batu yang berdekatan.
Penemuan kembali
Kedua prasasti raja-raja Thailand itu sempat terlupakan dan tidak diketahui kabarnya. Lalu, pada 1986, Omas Witarsa (kini berusia 67 tahun) dan Yayan Sopian (64) menemui Abah Iyun (62), sesepuh Desa Punuk Curug.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F03%2F14%2F8f01cf2c-7a74-43c0-8a23-d46b7ec11d49_jpg.jpg)
Posisi Prasasti Curug Dago di dekat Curug Dago.
Abah Iyun kala itu bercerita sering melihat orang Belanda berkumpul di batu yang ada tulisan Raja Siam, tetapi tulisannya sulit dimengerti dan bentuknya seperti aksara Sunda.
”Kami sempat ragu apakah batunya masih ada karena dulu pernah terjadi longsor akibat banjir bandang dan menghancurkan tebing di Curug Dago,” cerita Omas, Kamis.
Pada November 1988, keduanya pun mulai mencari dan ketemu dua batu dengan tiga goresan di atas tebing yang agak datar. Dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto disebutkan, ”Tempo doeloe, di tepian air terjun Dago terukir pada sebongkah batu alam. Inisial nama Putra Mahkota Raja Siam yang berkunjung tahun 1901”.
Baca Juga: Kemegahan Kompleks Istana Kerajaan Thailand
Pada batu pertama ada dua kelompok goresan. Pada batu pertama ada tiga huruf: Co, Po, dan Ro singkatan dari Chulachomklao Paraminthara (Chulalongkorn atau Rama V).
Di bawahnya, ada dua goresan angka tiga dan empat. Pada baris ketiga ada lima goresan, dua huruf dan tiga angka, yakni Ra (Ratanoksin) dan Sok (Tahun). Ratanoksin adalah nama lain dari Bangkok yang didirikan 1782 oleh Dinasti Chakri. Tertulis juga angka 1, 2, dan 0 yang artinya ibu kota Ratanakosin berusia 120 tahun.
Pada batu kedua ada huruf Po, Po, Ro singkatan dari Prajathipok Paraminthara atau Rama VII. Di bawahnya ada 2 huruf, Bu (Buddha) dan Sok (tahun) kemudian diikuti empat angka, yakni 2, 4, 7, 2 yang artinya Tahun Buddha 2472.
Setelah dua batu ini berhasil ditemukan lagi, Omas bersurat ke Raja Thailand Bhumibol Adulyadej, 15 Juli 1990. Pihak kerajaan mengonfirmasi kebenaran inkripsi dua raja itu.
”Lalu, pada 25 Januari 1991 datang lagi surat dari raja Thailand yang isinya menyatakan Pemerintah Thailand menyerahkan pelestarian prasasti ini kepada Indonesia,” kata Omas yang pernah menerima penghargaan Satya Lencana Karya Satya 20 Tahun dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada 2003.
”Dulu, kami sebenarnya iseng saja mau menulis cerita-cerita seputar curug karena kan sering ada cerita mistis terkait curug. Lalu, Abah Iyun cerita dulu ketika masih remaja, zaman penjajahan Belanda, sering lihat orang Belanda jalan-jalan di sekitar batu itu. Ternyata setelah kita cari-cari, ketemu,” tutur Omas.