Indonesia Advokasi Solidaritas Perempuan Afghanistan
Advokasi tentang solidaritas perempuan Afghanistan terus digaungkan di Markas Besar PBB di New York, AS. Ikhtiar ini bertujuan untuk menekan rezim Taliban yang menerapkan kebijakan diskriminasi terhadap perempuan.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA DARI NEW YORK, AS
·4 menit baca
NEW YORK, KOMPAS — Indonesia bersama Kanada dan Irlandia mengadvokasi solidaritas perempuan Afghanistan pada pertemuan tingkat tinggi di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (19/9/2023). Acara ini digelar oleh perwakilan tetap setiap negara di PBB.
Hadir pada acara itu Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi, Menteri Luar Negeri Kanada Melanie Joly, serta Menteri Luar Negeri dan Pertahanan Irlandia Simon Coveney. Hadir juga aktivis perempuan dari Afghanistan, Asila Wardak, dan mantan Menteri Perempuan Afghanistan Habiba Sarabi.
”Kita di sini untuk membangun solidaritas dengan perempuan dan anak perempuan Afghanistan. Solidaritas berarti empati dan memberikan dukungan nyata,” kata Retno dalam pidatonya.
Semua pihak, menurut Retno, sudah tahu situasi yang mengkhawatirkan terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan. Tantangannya sekarang adalah apa kontribusi negara-negara atas persoalan tersebut.
”Pertanyaannya adalah apa yang akan kita lakukan. Apakah kita akan membiarkan politik menghalangi kita untuk memberikan bantuan dan duduk diam, sementara jutaan perempuan dan anak perempuan Afghanistan menderita? Atau, apakah kita akan melakukan apa pun yang kita bisa untuk membantu mereka, apa pun politiknya?” kata Retno.
Pilihan kedua, menurut Retno, adalah pilihan yang bijaksana. Sehubungan dengan itu, Indonesia telah mencoba berkontribusi melalui tiga hal, yakni bantuan kemanusiaan, peran ulama, serta pendidikan untuk perempuan dan anak perempuan Afghanistan.
”Dalam hal bantuan kemanusiaan, selain bantuan lainnya, Indonesia akan memberikan bantuan 10 juta dosis vaksin polio ke Afghanistan dan kami melakukannya dengan bekerja sama dengan Unicef,” kata Retno.
Terkait ulama, Retno melanjutkan, Indonesia berbagi praktik terbaik dengan ulama Afghanistan dalam memberi pendidikan inklusif bagi perempuan. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia bisa berbagi dengan ulama di Afghanistan tentang bagaimana perempuan dan anak perempuan di Indonesia mempunyai hak yang sama atas pendidikan.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, Indonesia bisa berbagi dengan ulama di Afghanistan tentang bagaimana perempuan dan anak perempuan di Indonesia mempunyai hak yang sama atas pendidikan.
”Yang terbaru adalah para ulama kami bergabung dengan ulama OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) yang berkunjung ke Afghanistan. Lalu untuk perempuan, Indonesia memberikan beasiswa dan pelatihan untuk perempuan Afghanistan,” kata Retno.
Pada Desember 2022, Retno menambahkan, Indonesia dan Qatar menyelenggarakan Konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Perempuan Afghanistan. Acara itu berhasil mengumpulkan dana secara signifikan untuk membantu perempuan Afghanistan.
Konferensi kedua akan digelar pada November 2023. ”Anda semua dipersilakan untuk bergabung dalam upaya ini. Semua ini kami lakukan karena kami ingin melihat kehidupan yang damai dan sejahtera di Afghanistan. Politik tidak boleh menjadi penghalang karena di atas politik adalah kemanusiaan,” kata Retno.
Duta Besar RI untuk PBB Arrmanatha Christiawan Nasir dalam pembicaraan dengan wartawan di New York menyatakan bahwa pertemuan ini adalah acara untuk membantu perempuan Afghanistan. Ini merupakan cara untuk memberikan platform bagi perempuan-perempuan Afghanistan menyuarakan keprihatinan mereka.
Pertemuan tentang solidaritas perempuan Afghanistan, kata Arrmanatha, digelar untuk meningkatkan profil isu tersebut agar mendapat perhatian di dalam PBB dan di luar PBB. ”Situasi buruk di dunia ini banyak. Isunya banyak. Namun, kalau PBB membahasnya, Sekretaris Jenderal PBB bicara, akan mendapatkan banyak perhatian, salah satunya dari media. Ini salah satu tujuan acara itu supaya persoalan perempuan di Afghanistan mendapat perhatian,” katanya.
Pada sisi lain, inisiatif negara-negara menjadi sponsor untuk isu tertentu akan membentuk profil negara tersebut. ”Misalnya Indonesia, kita dikenal aktif mendorong isu perempuan Afghanistan,” ujar Arrmanatha.
Irlandia, saat menjadi anggota tidak tetap di Dewan Keamanan PBB, memegang portofolio Afghanistan. Sementara Kanada, dari dulu dikenal sebagai negara yang aktif menyuarakan isu-isu kemanusiaan.
Seperti dilansir media Arab Saudi, Arab News, Asila Wardak, mantan Direktur Jenderal Urusan PBB pada Kementerian Luar Negeri Afghanistan, mengatakan bahwa pembatasan di negaranya melarang perempuan dan anak perempuan Afghanistan mendapatkan pendidikan, pergi ke taman, bergerak bebas, mengakses layanan kesehatan, dan bepergian. Pembatasan ini memengaruhi kesehatan mental mereka dan tidak terinspirasi oleh Islam atau budaya Afghanistan.
”Cara mereka (Taliban) menampilkan Islam sangat berbahaya bagi wilayah ini dan juga komunitas Islam, karena saya yakin ada banyak orang ekstremis di sejumlah negara Islam, dan kemudian mereka akan meniru apa yang mereka lakukan, yang dilakukan Taliban di Afghanistan,” kata Wardak.
Habiba Sarabi, seperti dikutip Arab News, menyerukan agar negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim menunjukkan kepada dunia bahwa kebijakan opresif Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang sebenarnya. ”Taliban ingin memundurkan kita ratusan tahun atas nama Islam. Tolong tunjukkan kepada dunia bahwa apa yang mereka lakukan tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang sebenarnya,” kata Sarabi.
Oleh sebab itu, Sarabi mendorong agar komunitas internasional terus memberikan tekanan publik dan swasta untuk mencegah normalisasi apartheid jender oleh Taliban. Advokasi tersebut sekaligus untuk menempatkan isu perempuan Afghanistan pada posisi di semua tingkatan, meja, dan forum diplomatik internasional.