Azerbaijan dan Separatis di Nagorno-Karabakh Gencatan Senjata
Pemerintah Azerbaijan dan kelompok separatis di Nagorno-Karabakh menyepakati gencatan senjata menyeluruh, mulai Rabu ini. Dengan gencatan senjata ini, semua berharap tak akan pecah pertempuran besar seperti tahun 2020.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
STEPANAKERT, RABU — Kelompok separatis di Nagorno-Karabakh dan Pemerintah Azerbaijan, Rabu (20/9/2023), mengumumkan gencatan senjata sehari setelah Azerbaijan melancarkan operasi militer ke wilayah Nagorno-Karabakh. Gencatan senjata ini disepakati berkat mediasi pasukan penjaga perdamaian asal Rusia yang ditempatkan di wilayah itu.
”Melalui mediasi Komando pasukan penjaga perdamaian asal Rusia yang ditugaskan di Nagorno-Karabakh, dicapai kesepakatan penghentian menyeluruh dari permusuhan mulai pukul 13.00 (16.00 WIB) pada 20 September 2023,” demikian pernyataan badan kepresidenan yang memproklamasikan diri di Nagorno-Karabakh dengan nama ”Republik Artsakh” lewat media sosial.
Dalam pernyataan tersebut, mereka juga mengatakan, pasukan separatis sepakat untuk membubarkan diri secara keseluruhan dan menarik semua perlengkapan militer dan persenjataan berat dari wilayah Nagorno-Karabakh. Pernyataan itu juga menyebutkan, seluruh pasukan Armenia juga akan ditarik dari wilayah yang berada di bawah kontrol pasukan penjaga perdamaian asal Rusia.
Azerbaijan mengonfirmasi kesepakatan gencatan senjata tersebut. Menanggapi kesepakatan gencatan senjata itu, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan menyatakan, pihaknya tidak terlibat dalam menyusun draf kesepakatan antara kelompok separatis dan Pemerintah Azerbaijan tersebut.
”Armenia tidak berpartisipasi dalam menyusun naskah deklarasi gencatan senjata di Nagorno-Karabakh di bawah mediasi pasukan penjaga keamanan asal Rusia,” kata Pashinyan sambil menegaskan bahwa Yerevan ”tidak mempunyai tentara” di enklave yang dikontrol kelompok separatis.
Seperti diketahui, keberadaan pasukan penjaga perdamaian asal Rusia di wilayah tersebut merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata yang dicapai antara Armenia dan Azerbaijan menyusul pertempuran enam pekan di antara dua negara itu pada tahun 2020.
Nagorno-Karabakh, dengan populasi sekitar 120.000 jiwa, adalah wilayah yang dihuni warga etnis Armenia di Azerbaijan. Wilayah itu menjadi pusat konflik sejak runtuhnya Uni Soviet seusai Perang Dingin pada era 1990-an. Gencatan senjata yang diinisiasi Rusia pada 1994 tidak menghentikan konflik seutuhnya.
Dalam perkembangan berikutnya, timbul kembali serangkaian kekerasan bersenjata yang melibatkan kelompok separatis dan militer Azerbaijan. Pecah konflik terbuka pada tahun 2020. Konflik itu menewaskan lebih dari 6.000 orang dari kedua belah pihak. Rusia dan Turki menjadi mediator perundingan dan ditunjuk untuk menjaga perdamaian di Koridor Lachin, yang menghubungkan Armenia dan Nagorno-Karabakh.
Selain menewaskan lebih dari 6.000 jiwa, pertempuran tahun 2020 juga mengakibatkan 90.000 warga etnis Armenia mengungsi.
Sempat memanas
Sehari sebelum gencatan senjata terakhir ini, pada Selasa (19/9/2023) situasi di wilayah Nagorno-Karabakh sempat memanas. Hal ini setelah militer Azerbaijan melancarkan operasi militer ke wilayah tersebut.
Baku menyatakan, mereka tidak akan menghentikan operasi militer itu sebelum permasalahan di wilayah itu tuntas. Pernyataan ini sempat mencuatkan kekhawatiran, konflik terbuka akan kembali pecah di Nagorno-Karabakh.
”Angkatan bersenjata ilegal Armenia harus mengibarkan bendera putih. Jika tidak, tindakan antiteroris akan terus berlanjut hingga akhir,” kata Istana Kepresidenan Azerbaijan dalam pernyataan tertulis setelah serangan ke Nagorno-Karabakh diluncurkan.
Sehari sebelum gencatan senjata terakhir ini, pada Selasa (19/9/2023) situasi di wilayah Nagorno-Karabakh sempat memanas.
Azerbaijan juga menuding kelompok separatis Nagorno-Karabakh melakukan kegiatan pengintaian dan memperkuat posisi pertahanan, serta dalam posisi siap tempur.
Sementara kelompok separatis Nagorno-Karabakh menyebut militer Azerbaijan menggempur wilayah pegunungan itu menggunakan artileri berat, jet tempur, dan pesawat nirawak (UAV). Menurut jurnalis AFP yang berada di lokasi itu, ledakan keras terdengar di beberapa kawasan di wilayah tersebut.
Menurut kelompok separatis, sebanyak 27 orang tewas, termasuk dua warga sipil, dan lebih dari 200 orang terluka akibat serangan itu. Gempuran militer Azerbaijan, kata mereka, juga memaksa lebih dari 7.000 orang mengungsi dari 16 desa yang menjadi sasaran gempuran.
Sementara secara terpisah, PM Armenia Nikil Pashiyan belum menginstruksikan militernya untuk terjun dalam konflik tersebut dan memilih menahan diri. Ia menyebut serangan Azerbaijan sebagai serangan darat.
Serangan militer Azerbaijan berlangsung beberapa jam setelah empat anggota kepolisian dan dua warga sipil dikabarkan tewas karena ledakan ranjau di Nagorno-Karabakh. Pihak berwenang menyalahkan kelompok separatis di wilayah itu atas insiden tersebut.
Ketegangan antara Armenia dan Azerbaijan kembali berlangsung sejak Desember 2022 setelah Baku memblokade Koridor Lachin yang menghubungkan kawasan itu dengan Armenia. Empat bulan setelah pemblokiran Koridor Lachin, militer Azerbaijan kembali memblokade jalur alternatif baru yang dibuat oleh Armenia, tepatnya di rute yang menghubungkan Kordnizor di Armenia dan Shusha di Nagorno-Karabakh.
Militer Azerbaijan memblokade jalur itu karena menganggap jalur tersebut digunakan oleh Armenia untuk menyelundupkan senjata bagi kelompok separatis dan melakukan ekstraksi sumber daya alam secara ilegal. Armenia membantah klaim tersebut dan sebaliknya menuding Baku sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dugaan tindakan genosida terhadap warga Nagorno-Karabakh.
Perselisihan itu tidak selesai, memdorong Komite Palang Merah Internasional (ICRC) turun tangan. Melalui ICRC, warga Nagorno Karabakh mendapatkan kiriman tepung sebanyak 20 ton dan pasokan medis dari Armenia. Pengiriman bahan makanan dan obat-obatan ini tidak menggunakan jalur yang diblokade oleh militer.
Pashiyan, yang tengah menghadapi gejolak di dalam negeri, mendesak Rusia dan PBB untuk mengambil sikap terhadap operasi militer Azerbaijan terhadap Nagorno-Karabakh. Ia juga berbicara dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken dan Presiden Perancis Emmanuel Macron.
Dalam pernyataan terpisah, Blinken dan Macron meminta Baku untuk segera menghentikan serangannya. Selain berbicara dengan Pashiyan, Blinken juga berbicara dengan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev. Dia mendesak Baku untuk meredakan ketegangan.
”Saya berbicara dengan Presiden Azerbaijan Aliyev hari ini dan mendesaknya untuk segera menghentikan aksi militer di Nagorno-Karabakh,” kata Blinken di media sosial.
Azerbaijan mengatakan, Rusia dan Turki—yang menurunkan pasukan penjaga perdamaian di Nagorno-Karabakh—telah diberi tahu tentang operasi militer ke Nagorno-Karabakh. Rusia dan Turki memiliki pandangan yang saling berbeda soal operasi militer ini.
Turki, sekutu Azerbaijan, dilaporkan menyebut operasi tersebut sebagai sebuah tindakan yang dibenarkan dan memahaminya. Meski demikian, Ankara mendesak para pihak untuk bernegosiasi secara komprehensif untuk menghentikan konflik dan mencegah perang.
Adapun Rusia menyatakan keprihatinannya atas tindakan Azerbaijan tersebut. Moskwa meminta para pihak untuk duduk bersama di meja perundingan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan para pihak menghentikan segera pertempuran. Dia juga mendesak para pihak agar tetap taat pada isi perjanjian gencatan senjata tahun 2020 dan prinsip-prinsip hukum kemanusiaan internasional.
Seperti dilansir laman BBC, Azerbaijan menyatakan siap berunding selama perundingan itu diselenggarakan di wilayah mereka. Baku menyebut agar perundingan dilakukan di Kota Yevlakh, sekitar 100 kilometer utara ibu kota wilayah Karabakh, Khankendi. Warga etnis Armenia menyebut ibu kota itu dengan nama Stepanakert. (AP/AFP/REUTERS)