Lima perempuan jadi menteri di Jepang. Jumlah ini masih sama dengan dua pemerintahan sebelumnya. Harus ada lebih banyak keterwakilan perempuan di majelis rendah karena dari situlah para menteri diambil.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida merombak kabinetnya, Rabu (13/9/2023), dengan memasukkan lima perempuan menteri. Mereka adalah Yoko Kamikawa sebagai menteri luar negeri, Ayuko Kato sebagai menteri yang mengawasi kebijakan terkait anak, Hanako Jimi yang pernah menjadi dokter akan bertanggung jawab untuk revitalisasi daerah, Shinako Tsuchiya sebagai menteri rekonstruksi, dan Sanae Takaichi sebagai menteri keamanan ekonomi .
Dari lima perempuan menteri itu, hanya dua orang yang pernah menjabat sebagai menteri. Takaichi sudah menjabat sebagai menteri di posisi yang sama sejak Agustus 2022. Adapun Kamikawa dulu pernah menjadi menteri kehakiman yang menangani eksekusi sekte kiamat Aum Shinrikyo yang mendalangi serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo pada tahun 1995. Sementara tiga lainnya benar-benar ”wajah baru”.
Jumlah perempuan menteri di dalam kabinet Kishida ini sebenarnya sama saja seperti jumlah perempuan di kabinet dua pemerintahan sebelumnya, yakni pada era Junichiro Koizumi pada tahun 2001 dan Shinzo Abe pada tahun 2014. Di kabinet mereka masing-masing juga ada lima perempuan menteri.
Hanya saja, perbedaannya dengan dua kabinet sebelumnya, Kishida tampak mau fokus pada isu-isu jender dan demografi khususnya kecenderungan tren penurunan angka kelahiran. Kishida juga tampak mau fokus pada isu revitalisasi perekonomian daerah dan rekonstruksi daerah yang hancur pascagempa bumi dan tsunami 10 tahun lalu.
Jumlah perempuan di kabinet Jepang masih jauh dari keterwakilan perempuan yang terlihat di sebagian besar negara anggota G7 lainnya. Di kabinet Italia, misalnya, rasio perempuan menteri di kabinet kini berjumlah seperempat dari total jumlah anggota kabinetnya.
Pakar politik komparatif di Universitas Sophia, Tokyo, Koichi Nakano, mengatakan, Jepang perlu mendorong lebih banyak perempuan masuk ke parlemen untuk mendapatkan keterwakilan jender yang lebih seimbang di tingkat atas. Jepang hanya perlu memiliki lebih banyak perempuan yang memenuhi syarat.
Sekitar 10 persen anggota parlemen yang berjenis kelamin perempuan tidak cukup. Sistem kuota yang ketat bisa menjadi salah satu solusi. ”Sistem yang ada saat ini memberikan terlalu banyak hak istimewa kepada laki-laki, khususnya laki-laki dari dinasti politik,” ujarnya.
Rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik terlihat jelas pada Juni lalu ketika Jepang menjadi tuan rumah pertemuan tingkat menteri G7 mengenai kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan. Jepang menjadi satu-satunya negara anggota yang diwakili oleh menteri laki-laki.
Forum Ekonomi Dunia dalam laporan tahun 2023 menempatkan Jepang pada peringkat 125 di antara 143 negara dalam hal kesetaraan jender. Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Hirokazu Matsuno berjanji akan mendorong lebih banyak partisipasi perempuan, terutama dalam dunia politik. Kesetaraan jender di Jepang dalam pemberdayaan politik termasuk yang terendah di dunia, yakni di peringkat 138, di bawah China, Arab Saudi, dan Turki.
Partai Demokrat Liberal Jepang juga berjanji akan meningkatkan jumlah anggota parlemen perempuan hingga tiga kali lipat menjadi 30 persen dalam 10 tahun ke depan. Salah satu caranya adalah dengan menawarkan pengaturan pengasuhan anak dan dana untuk mendukung kandidat perempuan.
Publik Jepang menilai Kishida yang mulai menjabat dua tahun lalu itu memasukkan wajah-wajah baru dalam kabinet sebagai upaya untuk meningkatkan popularitasnya yang merosot dalam beberapa bulan terakhir. Penyebabnya, serangkaian skandal mulai dari kesalahan data terkait dengan kartu identitas dan penangkapan seorang wakil menteri karena dicurigai melakukan suap. Jajak pendapat yang dilakukan lembaga penyiaran publik NHK, pekan lalu, menyebutkan, sekitar 43 persen responden tidak menyetujui kepemimpinan Kishida, sementara 36 persen setuju.
Posisi strategis
Penunjukan perempuan menteri yang paling menonjol dalam kabinet baru ini adalah Kamikawa (70), lulusan Kennedy School of Government di Harvard University. Dia menjadi menlu perempuan pertama di Jepang dalam hampir dua dekade. Duta Besar Amerika Serikat untuk Jepang Rahm Emanuel, kepada majalah Time, menyebutkan ini sudah termasuk kemajuan yang luar biasa bagi negara yang masih tertinggal dalam menunjuk perempuan untuk memegang posisi penting.
Seperti halnya Takaichi, Kamikawa memegang posisi penting sebagai menlu. Sementara tiga perempuan lainnya menempati posisi menteri yang relatif low-profile atau kurang strategis.
Kishida masih mempertahankan laki-laki untuk memegang posisi-posisi penting di bidang keuangan dan perdagangan. Jepang tidak pernah memiliki menteri keuangan perempuan. Penunjukan perempuan sebagai Kepala sekretaris kabinet terakhir kali terjadi lebih dari 30 tahun lalu. Kemajuan yang terbatas ini mencerminkan kurangnya perempuan di LDP yang sudah lama berkuasa. Hanya 8 persen dari anggota parlemen di majelis rendah yang berkuasa adalah perempuan, bahkan kurang dari 10 persen di semua partai.
”Jumlah perempuan terkadang naik turun. Dalam politik Jepang, khususnya majelis rendah, jumlah perempuan terlalu sedikit. Padahal, menteri-menteri Jepang sebagian besar dipilih dari anggota parlemen majelis rendah,” kata Mieko Nakabayashi, mantan anggota parlemen yang menjadi Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Waseda, Tokyo.
Meski penunjukan perempuan telah membantu pemerintah Jepang membersihkan citra mereka dan meningkatkan dukungan publik, dampaknya terkadang tidak bertahan lama. Pada tahun 2014, tingkat popularitas Abe melonjak setelah menunjuk lima perempuan menteri. Akan tetapi, enam minggu kemudian, dua di antara mereka mengundurkan diri pada hari yang sama. Salah satu dari mereka mengundurkan diri karena dituduh melanggar peraturan dengan membagikan kipas kertas murah kepada para pemilih.
Pada Oktober 2018, Abe menunjuk kabinet dengan hanya satu perempuan di antara 19 anggotanya. Demikian pula dengan Rui Matsukawa, mantan diplomat dan wakil menteri pertahanan, yang mungkin bisa menjadi kandidat kabinet tahun ini jika bukan karena badai kritik atas foto-foto ceria yang dia unggah di media sosial selama kunjungan belajar LDP ke Paris pada Juli lalu.
Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Sophia, Tokyo, Mari Miura, menilai publik Jepang terlalu mengawasi perempuan. Jika perempuan melakukan kesalahan kecil saja, serangannya luar biasa. Namun, jika laki-laki melakukan hal yang sama, mereka juga akan dikritik, tetapi tidak sedahsyat ke perempuan.
Meski berbuat kesalahan, Kishida menunjuk Yuko Obuchi—salah satu menteri yang mengundurkan diri pada 2014—untuk memegang posisi penting di LDP yang bertanggung jawab atas kampanye pemilu. Kishida ingin Obuchi membantu menggerakkan LDP untuk bisa membuat perempuan mengambil 30 persen kursi di parlemen.
”Ada banyak anggota parlemen perempuan berbakat dengan segudang pengalaman. Saya ingin para menteri baru memanfaatkan kepekaan dan empati mereka sebagai perempuan dalam pekerjaan mereka,” kata Kishida. (REUTERS/AFP/AP)