Antara Desember 1964 dan Maret 1973, setidaknya 260 juta bom dijatuhkan di Laos. Jutaan bom kluster yang tidak meledak itu tersebar di seluruh penjuru Laos.
Oleh
IWAN SANTOSA
·6 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Pesawat pengebom strategis jenis Boeing B-52 Stratofortress milik Angkatan Udara Amerika Serikat (United State of Pacific Air Force/US PACAF) tiba di Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (20/6/2023).
Republik Demokratik Laos adalah negeri di daratan Asia Tenggara yang memilki pemandangan alam indah, tetapi mempunyai sejarah kelam. Sepanjang Perang Vietnam tahun 1960-an dan 1970-an, meski berstatus sebagai negara netral, Laos dihujani bom oleh Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF), terutama armada pengebom B-52.
Laman harian Times of India edisi 23 Maret 2023 menuliskan, antara Desember 1964 dan Maret 1973, sebanyak 260 juta bom dijatuhkan di Laos. Banyak dari bom yang merupakan bom kluster itu tidak meledak.
Akibatnya, jutaan bom kluster yang tidak meledak itu tersebar di seluruh penjuru Laos. Sebagian sisa bom tidak meledak yang berhasil dijinakkan dipamerkan di Museum UXO (Unexploded Ordnance), sebuah museum yang tidak lazim di kota Luang Prabang di utara Laos.
Dalam panduan wisata kota Luang Prabang di laman www.tourismluangprabang.com disebutkan, rata–rata setiap delapan menit, sebuah pengebom B-52 Angkatan Udara AS menjatuhkan bom di wilayah Laos sepanjang kurun tahun 1964–1973. Pengeboman itu bagian dari Perang Rahasia yang dilancarkan AS terhadap sebuah negara netral semasa Perang Vietnam berkecamuk di Vietnam.
Situs panduan perjalanan Lonely Planet.com menyebut, UXO Laos Information Centre dapat menjelaskan suasana kehancuran Laos akibat Perang Indo China 2 (Perang Vietnam). Bahkan, setelah 50 tahun berlalu, sisa bom masih membawa maut bagi masyarakat di beberapa provinsi di negeri yang memiliki kemiripan budaya etnik Lao di Laos dengan etnik Thai di Thailand.
Harian The Guardian dalam laporan pada 27 April 2023 yang disponsori Yayasan Bill dan Melinda Gates menyajikan laporan upaya pembersihan sisa bom yang tidak meledak di Laos. Laporan yang ditulis Antonia Bolingbroke–Kent itu menceritakan perjuangan Youa Thaiyang (61), warga Provinsi Xieng Khouang. Ia menunjukkan gambar bom aktif yang tidak meledak berukuran bola tenis tersembunyi di balik semak. Bom itu adalah jenis BLU-26.
Hari itu, Youa Thaiyang sedang menggarap ladang untuk menanam singkong. ”Saya beruntung keburu menemukan bom tersebut. Banyak petani di sini terbunuh karena ledakan bom aktif sisa perang yang belum meledak,” kata Youa.
Ia menceritakan para petani Laos yang sehari–hari berjudi dengan maut karena dapat mati sewaktu–waktu ketika mencangkul ladangnya dan mengenai sisa bom aktif eks zaman Perang Vietnam tersebut.
Harian The Guardian mengutip ucapan Presiden AS kala itu, John Fitzgerald Kennedy. ”Saya menegaskan kepada rakyat Amerika dan seluruh dunia bahwa kami menginginkan kedamaian di Laos dan bukannya perang,” katanya. Sayang, usia Kennedy dan janji tersebut juga tidak bertahan lama.
Sebagai bagian dari operasi antikomunis di Asia Tenggara yang dikenal sebagai Perang Vietnam, AS membombardir Laos. Akibatnya, kini Laos, negeri yang hanya berpenduduk 7 juta jiwa itu, terhitung sebagai negeri paling banyak dibom dibandingkan per kapita penduduk di dunia.
Bom yang dijatuhkan Angkatan Udara AS tidak saja membunuh manusia di masa perang berlangsung. The Guardian menuliskan, sejak Perang Vietnam berakhir, sekurangnya 20.000 warga Laos tewas karena ledakan sisa bom. Pada 2021, sekurangnya ada 63 kasus ledakan sisa bom.
Meski angka kasus semakin menurun, tiap tahun tetap ada ledakan sisa bom. Dari korban yang jatuh, 45 persen di antaranya anak–anak.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Monumen Patuxay berdiri megah di jantung kota Vientiane, Laos, Kamis (17/12/2009). Monumen ini menjadi simbol perjuangan rakyat Laos.
Dawang (8), gadis kecil Suku Hmong, dengan fasih menjelaskan jenis bahan peledak yang ada di sebuah gambar. ”Mortir, BLU-26, granat tangan,” ujarnya. Sekitar 1,5 kilometer dari rumah Youa Thaiyang, ada 30 anak sekolah sedang belajar mengenal jenis–jenis bahan peledak di sekolah dasar setempat.
Anak–anak sekolah tersebut mendengarkan penjelaskan staf MAG, lembaga yang aktif mengedukasi dan membersihkan sisa bom dan bahan peledak di Laos. Sebagian besar suku Hmong adalah sekutu AS dalam Perang Vietnam. Namun, hingga kini mereka hidup dalam bayangan maut akibat sisa bom yang ditinggalkan teman seperjuangan.
Saat ini MAG mempekerjakan 1.200 orang di seluruh Laos. Sebagian besar, yakni 800 orang, bekerja di Provinsi Xieng Khouang.
Saya ingin Laos bebas dari sisa bom.
Pada 2016, Pemerintah Laos mengumumkan rencana membersihkan sisa bom dan bahan peledak secara total pada 2030 sehingga rakyat dapat mengolah tanah pertanian dengan aman. Namun, penelitian yang disponsori Konggres AS memperkirakan, dengan kondisi kerja saat ini, diperlukan 100 tahun untuk membersihkan Laos dari sisa bom dan bahan peledak!
Di dekat Phonsavan, ibu kota Xieng Khouang, terlihat sembilan perempuan bertopi menurunkan bangku–bangku plastik, meja lipat, dan keranjang bambu berisi ketan dari sebuah mobil. Sepintas mereka terlihat seperti rombongan piknik.
Namun, mereka adalah rombongan MAG yang bertugas membersihkan ladang dari sisa bom dan bahan peledak. Nicsamone (28), anggota MAG, berjalan sambil menggunakan detektor metal berkata, ”Saya ingin Laos bebas dari sisa bom.”
”Ayah tewas karena ledakan sisa bom saat saya berusia 8 tahun. Saya berharap jangan ada lagi anak–anak Laos mengalami nasib seperti saya ditinggal orangtua yang menjadi korban ledakan sisa bom,” kata Nicsamone. Setelah seharian bekerja, mereka menemukan sisa–sisa paku, kaleng bir, dan tidak ada sisa bom atau bahan peledak.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Wihara That Luang, simbol nasional Laos, Kamis (17/12/2009).
Manajer Bank Dunia Cabang Laos Alex Kremer mengatakan, sisa bom aktif tersebut merupakan penghambat pembangunan Laos. Berdasarkan catatan operasi pengeboman oleh AS di Laos, wilayah selatan yang berbatasan dengan Vietnam adalah daerah yang memang secara ekonomi paling tertinggal di Laos karena masyarakat kesulitan mengolah lahan pertanian yang dipenuhi sisa bom.
Di tengah kesulitan hidup rakyat Laos di daerah bekas pengeboman, masyarakat mencari rezeki dengan mengolah limbah sisa perang, termasuk bagian dari kepingan bom yang dilebur. Di Ban Nateng, desa berjarak satu jam perjalanan mobil dari Phonsavan, Somchit Poungsavat (40), sedang duduk di depan tungku batu bata sambil menuangkan cairan aluminium ke cetakan.
Bengkel kerjanya dipenuhi potongan bom 500 lbs, tumpukan granat berpelontar roket (rocket propelled grenade/RPG), helm militer, mortir, bom kluster, dan lain–lain. Sebagian atap bengkel kerjanya dibangun dari sisa badan pesawat T-28 buatan Amerika Serikat. Tak jauh dari sana, sebuah rumah panggung kayu berdiri di atas tiang yang merupakan delapan sisa bom yang sudah dijinakkan dan diambil isi bahan peledaknya.
Poungsavat, yang merupakan guru Bahasa Inggris di kampung tersebut, menambah penghasilan dengan membuat sumpit, sendok–garpu, gantungan kunci, dan berbagai perlengkapan logam dari sisa bom dan bahan peledak yang sudah dijinakkan. Dia membeli sisa metal dari bom dan bahan peledak seharga 40.000 kip (sekitar Rp 38.000) per kilogram.
”Memang ini pekerjaan berbahaya bagi warga yang mencari sisa bom dan bahan peledak untuk diambil logamnya. Namun, tidak banyak lapangan kerja tersedia di sini dan masyarakat butuh uang,” kata Poungsavat.
Dia mengerjakan pesanan 2.000 batang sumpit dari pembeli di AS. Pesanan lainnya adalah sendok dan gantungan kunci simbol Broken Cross sebagai lambing perdamaian dan anti perang.
Melihat pengalaman sisa bom kluster di Laos, Kamboja, dan Vietnam, wajar jika mantan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di harian Phnom Penh Post edisi 9 Juli 2023 menentang rencana AS mengirimkan bom kluster ke Ukraina karena akan membahayakan tidak saja di masa perang, tetapi juga sesudah perang. Bahaya terutama dari sisa bom kluster yang akan membunuh petani dan anak–anak tidak berdosa.