Imbas Pembuangan Limbah PLTN Fukushima Merambat ke WTO
Jepang meminta China mencabut larangan impor boga bahari. Jika protes lewat jalur diplomatik ini buntu, Tokyo akan membawa kasus itu ke WTO.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
TOKYO, SELASA — Jepang berencana mengadukan China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). China diadukan karena melarang impor boga bahari dari Jepang. Pelarangan ini diberlakukan setelah Jepang memutuskan membuang limbah PLTN Fukushima ke laut mulai pekan lalu. Greenpeace mengingatkan, limbah PLTN Fukushima jauh lebih berbahaya dibandingkan limbah PLTN lain.
Menteri Keamanan Ekonomi Jepang Sanae Takaichi mengatakan, Jepang harus memikirkan pembalasan atas pelarangan impor oleh China. Pembalasan termasuk mengadukan ke lembaga perdagangan dunia, ”Jika protes lewat jalur diplomatik tidak efektif,” ujarnya, Selasa (29/8/2023), di Tokyo, sebagaimana dikutip Kyodo News.
Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi mengatakan, Jepang akan melakukan langkah sesuai kerangka WTO. Di sisi lain, Tokyo akan terus berusaha berkomunikasi dengan Beijing dan menjaga hubungan Jepang-China.
Hayashi mendesak China membatalkan larangan impor boga bahari dari Jepang. Larangan impor total diberlakukan oleh China. Sementara dua wilayah swatantra China, Hong Kong dan Makao, melarang secara terbatas. Pelarangan ini ditegaskan setelah Jepang mulai membuang limbah PLTN Fukushima pada Kamis (24/8/2023).
Operator PLTN Fukushima, TEPCO, mengklaim air itu telah diolah dan aman untuk dibuang. Dengan mengacu pada data Jepang dan TEPCO, Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menyetujui pembuangan tersebut. Amerika Serikat dan sejumlah sekutu Jepang juga mendukung pembuangan itu.
Adapun Pemerintah Korea Selatan tidak secara tegas mendukung Jepang. Seoul hanya menyatakan akan mengikuti panduan IAEA. Presiden Korsel Yoon Suk Yeol dan Perdana Menteri Korsel Han Duck-soo berusaha menenangkan warga. Caranya, menurut kantor berita Yonhap, mereka makan ikan dan aneka boga bahari.
Menu berbahan boga bahari juga disajikan di kantin kantor Kepresidenan Korsel. Makanan sejenis akan terus disajikan sepanjang pekan ini.
Langkah tersebut untuk menunjukkan boga bahari dari perairan Korsel tetap aman dikonsumsi. Kantor Kepresidenan Korsel mengklaim, sejumlah pejabat juga ikut makan di kantin. Bahkan, menu dari ikan cepat habis.
Klaim dari China
Dosen Hubungan Internasional pada Tsinghua University, Beijing, Liu Jiangyong, mengatakan bahwa Jepang berusaha menunjukkan diri sebagai korban. Jepang menjalankan program rekayasa opini selama bertahun-tahun untuk mencari dukungan pembuangan limbah itu.
Media China, Global Times, menyebut Kementerian Ekonomi dan Perdagangan Jepang menyiapkan dana kampanye 2 miliar yen pada 2022. Dana itu dipakai untuk mengurangi citra buruk Jepang terkait Fukushima.
TEPCO menawarkan kompensasi kepada nelayan Jepang. Kompensasi akan diberikan jika penjualan hasil tangkapan mereka merosot setelah pembuangan limbah.
”Dana sebanyak itu tidak diperlukan jika Jepang yakin tindakan mereka benar,” kata dosen Dalian Maritime University, Liaoning, Chang Yen-chiang, kepada Global Times.
Keputusan Jepang memicu protes keras di sejumlah negara. Selain di China, unjuk rasa dan protes atas pembuangan itu terjadi di Korsel dan berbagai negara Pasifik. Sabtu pekan lalu, setidaknya 50.000 orang berunjuk rasa di Seoul, Korsel, untuk memprotes pembuangan itu. Mereka khawatir, pada akhirnya laut yang tercemar limbah radioaktif itu akan mencapai pesisir negara mereka.
Direktur Federasi Gerakan Lingkungan Korsel Denise Yoon menyebut, akan ada protes besar dan serentak pada 26 September 2023. Pada tanggal itu, sidang paripurna Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dimulai. Selain di New York, unjuk rasa akan digelar di sejumlah kota di Asia, Eropa, dan Pasifik.
Kecaman pada sekutu
Liu Jiangyong mengecam sekutu Jepang dan media-media Barat. Mereka dianggap kehilangan kekritisan pada kasus Fukushima. Berbagai media Barat sibuk membenarkan manuver Jepang. Padahal, mereka kerap sekali cerewet pada berbagai isu lingkungan dan perlindungan warga di sejumlah negara lain.
”Bayangkan jika air limbah PLTN dibuang di Laut Tengah atau perairan lain di sekitar Eropa dan Amerika. Pasti mereka tidak akan sejinak sekarang,” kata Liu kepada Global Times.
Peneliti nuklir pada Greenpeace Asia Timur, Shaun Burnie, menyebut, sekutu Jepang mengutamakan politik alih-alih melindungi lingkungan. Karena pembuangan dilakukan sekutunya, AS dan anggota G7 mendukung keputusan Jepang.
”Jepang gagal melindungi bangsanya, khususnya nelayan dan orang-orang yang hidup dari laut. Jepang juga mengecewakan bangsa-bangsa di Pasifik,” kata Burnie.
Greenpeace Jepang menyebut, pembuangan itu mengabaikan berbagai bukti ilmiah yang menyebut limbah itu membahayakan lingkungan. ”Pemerintah Jepang dan TEPCO menyesatkan dan keliru menyatakan tidak ada alternatif atas keputusan mereka,” kata Hisayo Takada, Manajer Greenpeace Jepang.
Greenpeace menyebut, belum semua risiko radioaktif dari pembuangan itu dievaluasi. Dalam kajian Greenpeace dan sejumlah panel ahli, air itu tidak hanya mengandung tritium. Air limbah PLTN Fukushima juga mengandung antara lain karbon-14, cesium 137, kobalt-60, strontium-90, dan yodium-129. Total ada 621 jenis senyawa radioaktif dalam limbah bekas air pendingin PLTN Fukushima.
Karbon-14 butuh setidaknya 5.000 tahun untuk hilang. Senyawa itu bisa memicu mutasi genetika. Adapun strontium-90 dapat memicu kanker tulang dan darah. Berdasarkan data TEPCO, kandungan strontium-90 pada limbah PLTN Fukushima 100 kali lebih tinggi dari ambang batas.
Greenpeace mengingatkan, limbah PLTN Fukushima berbeda dari PLTN lain. Limbah Fukushima mengandung lebih banyak jenis dan jumlah radioaktif. Sebab, limbah itu bersentuhan dengan inti reaktor PLTN. Di PLTN lain, limbah sisa air pendingin sama sekali tidak bersentuhan dengan inti reaktor.
”Tidak layak membandingkan limbah PLTN Fukushima dengan PLTN lain,” demikian pernyataan Greenpeace Jepang.
IAEA, menurut Greenpeace, tidak wajib melindungi laut dan keanekaragaman hayati maritim. Walakin, tidak berarti IAEA bisa mendukung ada negara melakukan itu. (AFP/REUTERS)