Dari awalnya forum informal, BRICS terus berkembang menjadi kekuatan geopolitik dan geoekonomi baru.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
BRICS adalah akronim dari lima negara yang kini menjadi anggota kelompok negara lintas benua, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kelima negara ini berhimpun berdasarkan visi dan misi yang sama, yaitu mempromosikan dialog dan kerja sama bagi negara-negara berkembang.
Negara-negara anggota BRICS memiliki pengaruh yang besar dalam berbagai kerja sama, mulai ekonomi, militer, hingga geopolitik. Secara akumulasi, populasi penduduk BRICS mencakup 43 persen populasi dunia. Adapun nilai perdagangannya mencapai 16 persen perdagangan global.
Seiring besarnya skala tiap-tiap negara serta situasi politik dan ekonomi global yang dinamis, BRICS terus mengonsolidasikan diri sebagai kekuatan geopolitik dan geoekonomi baru untuk mengimbangi hegemoni negara-negara Barat.
Dikutip dari laman BRICS, kelompok ini tidak semata-mata mendiskusikan soal perekonomian. Selama periode 2009-2016, misalnya, mereka menyusun sikap bersama berbagai masalah regional, seperti perang di Libya, Suriah, dan Afghanistan, serta program nuklir Iran.
Pada periode yang sama, BRICS juga memperkuat kerja sama ekonomi antaranggota. Di antaranya adalah pembuatan mekanisme kerja sama antarbank negara anggota yang menyediakan perpanjangan kredit fasilitas dalam mata uang lokal serta membentuk BRICS Exchange Alliance.
Konferensi Tingkat Tinggi Ke-6 BRICS di Brasil pada 2014 merekomendasikan pembentukan Bank Pembangunan Baru (New Development Bank) dan perjanjian pembentukan pengaturan dana darurat (Treaty for the Establishment of a BRICS Contingent Reserve Arrangement). Total dana yang dimiliki kedua lembaga ini senilai 200 miliar dollar AS.
Perluasan keanggotaan
Lebih dari 40 negara dikabarkan ingin bergabung dengan BRICS, antara lain Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Argentina, Bolivia, Mesir, Kuba, dan Kazakshtan. Indonesia juga disebut-sebut tertarik untuk ikut di dalam kerja sama ini meski Pemerintah Indonesia belum menyatakan sikap resminya.
Negara-negara berkembang yang tertarik bergabung ke BRICS menilai bahwa blok ekonomi itu menjadi alternatif kerja sama global dari tatanan yang selama ini didominasi oleh Barat. Negara-negara itu tidak puas terhadap tatanan global. Sentimen ini menguat saat pandemi Covid-19 karena terjadi ketimpangan akses vaksin antara negara kaya dan negara miskin-berkembang.
Mereka berharap keanggotaan BRICS membuka peluang dan manfaat, terutama untuk membiayai pembangunan, peningkatan perdagangan dan investasi.
Iran, rumah bagi sekitar seperempat dari cadangan minyak Timur Tengah, mengatakan, pihaknya berharap mekanisme keanggotaan baru akan diputuskan secepatnya. Arab Saudi, yang hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan ”Friends of BRICS” di Cape Town, Afrika Selatan, pada Juni lalu, menerima dukungan dari Rusia dan Brasil untuk bergabung dengan BRICS.
Sementara Argentina pada Juli 2022 menerima dukungan resmi China untuk bergabung. Etiopia secara resmi telah mengajukan keanggotaan pada Juni lalu. Begitu juga Aljazair dan Bolivia. Bahkan Aljazair telah menjadi salah satu pemegang saham Bank Pembangunan Baru atau yang disebut BRICS Bank.
Kepala Departemen Hubungan Internasional FISIPOL UGM Nur Rachmat Yuliantoro, Senin (21/8/2023), menyebut, munculnya BRICS adalah bagian dari tren yang berkembang dalam hubungan internasional, yaitu multilateralisme. Melalui berbagai forum multilateral, negara-negara berusaha memanfaatkan hubungan baik satu antara mereka untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya.
“Ini juga yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia melalui kehadiran Presiden Jokowi di KTT BRICS. Semuanya adalah demi kepentingan nasional Indonesia,” katanya. (REUTERS)