Tarung Propaganda AS-China
Propaganda menjadi salah satu instrumen bertahan sekaligus menyerang di politik internasional. Amerika Serikat menuding China menyebarkan propaganda. Demikian pula sebaliknya.
Persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan China kian sengit. Tarung propaganda menjadi salah satu palagannya.
Senator AS Marco Rubio mengeluarkan pernyataan resmi tertulis pada Rabu (9/8/2023) yang meminta Departemen Kehakiman AS menyelidiki Neville Roy Singham (69), warga negara AS yang diduga menjadi penyandang dana sekaligus penyebar propaganda Pemerintah China di AS dan global.
Langkah Rubio itu dilakukan setelah surat kabar The New York Times menerbitkan artikel dua pekan lalu terkait Singham. Intinya, Singham disebutkan memiliki banyak perusahaan cangkang dan yayasan yang bertujuan untuk menghimpun serta menyalurkan dana ke berbagai pihak di dunia. Agendanya adalah memuji-muji Pemerintah China agar reputasi dan pengaruh global mereka menguat.
Tarung propaganda menjadi salah satu palagannya.
Singham adalah pengusaha di bidang teknologi. Ia mendirikan perusahaan peranti lunak Thoughtworks yang berbasis di Chicago, Negara Bagian Illinois. Perusahaan ini kemudian ia jual pada 2017.
Selama memimpin Thoughtworks hingga sekarang, Singham diduga membangun berbagai perusahaan cangkang ataupun yayasan, salah satunya atas nama istrinya, Jodie Evans. Singham membantah artikel di The New York Times itu.
Dugaan soal Singham yang berperan dalam propaganda China itu juga disebutkan di India, negara yang selama ini bermusuhan dengan China. Media Times of India edisi 18 Juli 2021 mengatakan, Kementerian Keuangan India menyelidiki aliran dana yang ganjil ke sejumlah media arus utama di negara tersebut. Salah satunya adalah media daring NewsClick.
Dikatakan bahwa Singham menyalurkan dana sebesar 5 juta dollar AS kepada media-media di India untuk menyebarluaskan propaganda Pemerintah China. NewsClick menyangkalnya. Namun, media ini telanjur diserang oleh berbagai politikus ataupun pendukung partai politik nasionalis Bharatiya Janata Party atas tuduhan pengkhianatan dan penyalahgunaan penerimaan bantuan asing.
Pada Januari 2022, lembaga kajian New Lines dari Universitas Fairfax, AS, menerbitkan hasil penelitian mereka yang menyebutkan bahwa Singham menyalurkan dana sebesar 65 juta dollar AS ke berbagai lembaga swadaya masyarakat. Beberapa di antaranya adalah Code Pink, No Cold War, dan People’s Forum di AS. Ada pula aliran dana ke surat kabar Brasil de Fato dan media daring Afrika Selatan New Frame.
Lembaga ini mengklaim, Pemerintah China sejak 2009 telah menggelontorkan dana 6,6 miliar dollar AS untuk meningkatkan ekspose mereka secara global.
”Narasi yang disebarkan oleh lembaga-lembaga ini adalah tuduhan Pemerintah China melakukan genosida terhadap kelompok minoritas Uyghur tidak benar,” demikian bunyi laporan New Lines.
Peneliti dari Institut Kajian dan Analisis Pertahanan Manohar Parrikar di India, Shruti Pandalai, menjelaskan bahwa propaganda merupakan alat politik yang sangat penting bagi China. Di dalam negeri, propaganda ini untuk melakukan kendali sosial sekaligus menjaga kewibawaan Partai Komunis China dan pemimpinnya, Xi Jinping, di muka rakyat.
Lembaga ini mengklaim, Pemerintah China sejak 2009 telah menggelontorkan dana 6,6 miliar dollar AS untuk meningkatkan ekspose mereka secara global. Bahkan, selama periode 2008-2018, China menginvestasikan 2,8 miliar dollar AS khusus untuk media luar negeri. China juga semakin gencar melakukan program kajian jurnalistik dengan mengundang wartawan-wartawan dari berbagai penjuru dunia.
Target akademisi
Pemerintah AS juga gencar melakukan ”pembersihan” terhadap warga yang mereka tuding bekerja sama atau terkait dengan propaganda China. Langkah ini misalnya menyasar sejumlah akademisi keturunan China.
Akibatnya, sebagian di antara mereka memutuskan angkat kaki dari AS. Selama pemerintahan Presiden AS 2017-2021, Donald Trump, negara itu meluncurkan Inisiatif China yang menyelidiki warga negara AS keturunan China yang memegang berbagai posisi strategis.
Dunia akademisi dan kesehatan tidak luput. Surat kabar South China Morning Post melaporkan, Institut Kesehatan Nasional AS (NIH) meluncurkan penyelidikan serupa, tetapi tidak transparan. Sebanyak 250 akademisi dan pakar kesehatan AS keturunan China menjadi obyek penyelidikan. Sebanyak 42 persen di antaranya akhirnya kehilangan pekerjaannya.
Selama pemerintahan Presiden AS 2017-2021, Donald Trump, negara itu meluncurkan Inisiatif China yang menyelidiki warga negara AS keturunan China yang memegang berbagai posisi strategis.
Salah satunya adalah Guan Kunliang, akademisi kelahiran China yang telah menjadi warga AS. Ia memenangi penghargaan McArthur tahun 1998 yang menempatkan dia pada status sebagai genius di bidangnya, yakni farmakologi.
Guru Besar Universitas California San Diego (UCSD) ini sejak 2019 dilarang melakukan penelitian. Pasalnya, NIH menemukan bahwa Guan menerima sokongan dari Universitas Fudan di China.
Hal serupa dialami Fu Xiangdong, pakar ilmu saraf dari UCSD juga. Ia dipaksa mengundurkan diri pada awal tahun 2023 gara-gara penelitiannya berkolaborasi dengan Universitas Wuhan. Fu kemudian bergabung dengan Universitas Westlake di Zhejiang, China, untuk melanjutkan penelitiannya di bidang penyakit bawaan, antara lain penyakit parkinson.
Merambah teknologi
Pembersihan ini juga merambah ke bidang teknologi. Washington, misalnya, menjegal industri semikonduktor Beijing. Bahkan, suasananya menyerupai kondisi McCarthysm atau yang dikenal dengan Ketakutan Merah pada 1950-an ketika Pemerintah AS menangkapi orang-orang yang mereka anggap terlalu progresif dan kekiri-kirian sebagai antek komunis.
”Ini akan menjadi senjata makan tuan karena AS menyemai ketidakpercayaan di dalam diri sendiri yang akan merugikan persatuan, pembangunan, perekonomian, dan pemberdayaan masyarakat,” kata Jon Bateman, peneliti teknologi dan hubungan internasional di Dana Carnegie untuk Perdamaian Internasional (CEIP) pada artikelnya di majalah Politico edisi 15 Desember 2022.
Pembersihan ini juga merambah ke bidang teknologi. Washington, misalnya, menjegal industri semikonduktor Beijing.
Kementerian Luar Negeri China dalam kajian berjudul, ”Hegemoni AS dan Bahayanya”, yang diunggah pada Februari 2023, menyebutkan, AS menyalahgunakan hegemoni budayanya untuk memicu ”evolusi damai” di negara-negara sosialis. Ini dilakukan dengan menggunakan media massa dan simbol-simbol budaya.
”AS menggelontorkan dana dalam jumlah yang amat besar ke jaringan radio dan televisi guna mendukung infiltrasi ideologi mereka. Corong-corong itu membombardir negara-negara sosialis dalam berbagai bahasa dengan propaganda menghasut, siang dan malam,” sebut kajian itu.
AS, masih mengutip kajian itu, menggunakan misinformasi untuk menyerang negara lain. Untuk itu, AS membangun rantai industri untuk memproduksi dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Tujuannya, menyesatkan opini publik dengan dukungan sumber daya keuangan yang hampir tak terbatas.