Beli Rumah Sendiri, Simbol Perlawanan Perempuan Lajang China
Banyak perempuan lajang China membeli rumah atau apartemen sendiri agar hidupnya tak bergantung pada laki-laki. Ini melawan tradisi China yang biasanya laki-laki yang harus membeli rumah sebagai prasyarat pernikahan.
Baru saja selesai tanda tangan kontrak pembelian apartemen baru, Guo Miaomiao (32) sudah sibuk memikirkan furnitur apa saja yang akan dibeli untuk mengisi apartemennya di Guangzhou. Yang sudah masuk dalam daftarnya baru sofa kulit untuk diletakkan di ruang tamu dan lampu gantung yang dia taksir ketika berselancar di media sosial.
Meski pasar perumahan atau properti di China sedang ”kurang sehat”, semakin banyak perempuan lajang—yang hidup dalam situasi masyarakat yang tidak setara—membeli rumah sendiri untuk memastikan jaminan keamanan hidupnya sendiri. Menikah atau tidak menikah pada akhirnya yang penting hidup aman karena sudah mempunyai rumah sendiri.
Baca juga: Berbagai Kiat China Memikat Warganya agar Mau Berkeluarga
Guo adalah salah satu dari semakin banyak perempuan lajang di China yang membeli properti sendiri. Ini tren di China yang meluas, sekaligus juga menyerang salah satu norma jender masyarakat China yang paling mengakar. Selama berabad-abad lamanya, laki-laki—terlepas dari tingkat pendapatannya— diharapkan memiliki rumah demi memenuhi syarat untuk menikah. Di mata masyarakat China pada umumnya, terutama kalangan konservatif, Guo menentang ekspektasi di China tentang peran yang harus dimainkan perempuan dalam pernikahan.
”Saya melihat banyak sekali kasus, termasuk saudara dan teman saya sendiri, ketika bertengkar dengan suaminya, pasti istri yang diusir keluar rumah hanya karena suaminya yang membeli rumah,” kata Guo kepada harian The New York Times, 18 Agustus 2023.
Dengan membeli rumah sendiri, Guo yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi di kota Guangzhou menjadi yakin jika dirinya nanti menikah, dia tidak akan takut pada apa pun. Jika bahkan terpaksa berpisah dari suaminya, dia akan bisa hidup mandiri. Perempuan yang sudah menikah otomatis menjadi ”milik suami” dan tidak lagi dianggap sebagai bagian dari keluarga kandung mereka. Seperti kata pepatah China: ”Anak perempuan yang sudah menikah seperti air yang terciprat”.
Kini, semakin banyak perempuan China yang menuntut rumah sendiri. Survei yang baru-baru ini dilakukan harian China Youth Daily menemukan hampir 94 persen responden menyetujui perempuan lajang membeli properti. Sebanyak dua pertiga responden mengatakan, itu menandakan keinginan akan kesetaraan jender.
Baca juga : Utak-atik China Angkat Tingkat Kelahiran
Meskipun statistik resmi tentang tingkat kepemilikan rumah sebenarnya terbatas, ada survei pemerintah pada 2020 yang menemukan persentase perempuan belum menikah yang sudah memiliki properti meningkat menjadi 10,3 persen dari 6,9 persen satu dekade sebelumnya. Angkanya kemungkinan lebih tinggi lagi karena jumlah perempuan lajang berusia 25 tahun ke atas bertambah hampir 10 juta selama periode yang sama.
Peningkatan pembeli dari kalangan perempuan bertepatan dengan gejolak hebat di sektor perumahan China. Banyak pengembang besar dan kecil yang kehabisan dana dan meninggalkan apartemen yang pembangunannya belum selesai sehingga tidak ada minat dari calon konsumen. Pembeli seperti Guo melihat peluang itu.
Dia memanfaatkan penurunan harga rumah dan tingkat hipotek untuk membeli rumah dengan dua kamar tidur yang sudah jadi dan berperabotan sebagian. Di media sosial, agen-agen properti mulai menarget perempuan lajang dengan mengunggah video promosi dengan tagar seperti ”rumah kecil yang cocok untuk perempuan lajang”.
Asisten profesor antropologi di Universitas Duke Kunshan di Suzhou, Wang Mengqi, yang mempelajari pola pembelian properti anak muda China menilai tren ini menunjukkan kebangkitan terhadap penegakan hak-hak perempuan. Pergeseran nilai tradisional di China ini merupakan bagian dari meningkatnya perhatian terhadap hak-hak perempuan secara lebih umum meski Pemerintah China selama ini berusaha menekan aktivis dan organisasi perempuan yang mengumandangkan gerakan #MeToo.
Isu-isu seperti kurangnya perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga juga sering menjadi diskusi di media sosial selama beberapa tahun terakhir. Kekhawatiran pada perlambatan ekonomi dan preferensi yang muncul untuk gaya hidup mandiri turut menyebabkan banyak anak muda China menolak menikah. Kecenderungan ini dilihat dari jumlah pendaftaran pernikahan yang turun ke rekor terendah 6,8 juta pada 2022.
Baca juga: Butuh Jodoh? Kontak Pengurus Partai Setempat
Salah satu alasan Guo membeli rumah sendiri karena merasa dirinya ”tidak aman”. Dia tumbuh dalam keluarga besar dengan delapan saudara kandung di daerah konservatif Provinsi Guangdong. Sejak kecil dia sering mendengar pembicaraan saudara dan teman-temannya bahwa setelah menikah dia tidak akan bisa tinggal di rumah orangtuanya lagi. Guo, yang menggambarkan dirinya sendiri sebagai pemberontak, sejak awal memutuskan membeli rumah sendiri.
Setelah lulus kuliah, dia bekerja di sejumlah kota besar di China dan mengejar kesempatan kerja yang kian ambisius. Dalam lima tahun terakhir, dia bisa menabung 70.000 dollar AS (sekitar Rp 1 miliar). Pada Maret lalu, dia mewujudkan mimpinya. ”Saya ingin membuktikan kepada semua orang bahwa pilihan perempuan tidak hanya terbatas pada pernikahan. Saya bisa memiliki banyak pilihan lain,” ujarnya.
Selain perubahan sikap, perubahan praktis, seperti kenaikan pendapatan, juga membantu meningkatkan kepemilikan rumah perempuan lajang. Menurut statistik resmi China, pada 2021, jumlah perempuan China yang mengenyam pendidikan tinggi melampaui jumlah laki-laki.
Jumlah pekerja perempuan di perkotaan naik hampir 40 persen dibandingkan 10 tahun lalu. Perkembangan hukum juga membuat para istri menjadi lebih sadar akan risiko keuangan apabila tinggal di rumah milik suami mereka. Hingga tahun 2011, pengadilan perceraian memperlakukan rumah keluarga sebagai milik bersama.
Namun, karena harga properti dan tingkat perceraian melonjak, Mahkamah Agung China memutuskan properti yang diperoleh sebelum pernikahan hanya dimiliki orang yang sudah membayar uang muka atau membeli properti itu secara langsung. Akibatnya, banyak perempuan yang bercerai lalu tidak mempunyai tempat tinggal atau menjadi tunawisma. Padahal, mereka sudah ikut berkontribusi pada pembayaran hipotek. Namun, dia tetap saja bisa ditendang keluar rumah.
Baca juga: Perempuan di China Makin Enggan Punya Anak
Perubahan itu membantu Zhang Ye (27), akuntan di kota Xi’an, membujuk orangtuanya agar membantunya membeli apartemen. Dia harus membantu calon suaminya membayar hipotek sehingga propertinya akan menjadi investasi keuangan yang lebih cerdas dan lebih aman. ”Kalau tidak, setelah saya menikah, saya membayar hipotek dengan suami saya tetapi tetap tidak bisa memiliki rumah itu,”ujarnya. Orangtua Zhang setuju dan membayar sebagian besar uang muka untuk apartemen seken yang terletak di tepi sungai.
Di kota Changsha, lebih dari setengah jumlah orang yang membeli rumah melalui agen properti daring terbesar di China, Beike Zhaofang, adalah perempuan. Mereka membeli rumah sendiri atau berinvestasi di dalamnya dengan mitra. Menurut Beike, berdasarkan transaksi di platformnya, Changsha adalah kota dengan persentase pembeli kalangan perempuan tertinggi.
Tren baru-baru ini masih jauh dari upaya menjungkirbalikkan kesenjangan jender yang sudah berlangsung lama dalam kepemilikan properti. Menurut studi yang dilakukan Universitas Peking pada 2018, tingkat kepemilikan properti di antara semua penduduk perempuan perkotaan hanya setengah dari penduduk laki-laki. Kesenjangan ini bahkan lebih mencolok di daerah perdesaan.
Biasanya, keluarga yang berjuang secara finansial untuk membantu anak laki-laki membeli properti—bahkan berutang jika diperlukan—karena ada persepsi bahwa memiliki rumah itu menjadi prasyarat menikah. Agen properti di Changsha, Tyler Wu, mengatakan, banyak pembeli di kalangan perempuan berusia muda yang ditemuinya memilih kondominium yang lebih kecil atau apartemen seken.
”Perlawanan” perempuan China ini bukan tanpa masalah. Pacar Zhang selama lima tahun terakhir ini keberatan ketika Zhang memutuskan membeli apartemen. Namun, Zhang tidak peduli. ”Saya biarkan saja dan sama sekali tidak berusaha membujuknya karena saya sudah ingin membeli rumah sejak kecil,” ujarnya.
Zhang juga tidak khawatir dirinya tidak akan bisa punya pacar lagi karena di media sosial beredar unggahan yang menyatakan perempuan jadi kurang ”laku” kalau sudah punya rumah sendiri.