China Cerdik Mengelola Perekonomiannya dan Masih Jadi Mesin Pertumbuhan Global
Rattner mengatakan, ekonomi China belum bisa diabaikan, termasuk soal kesempatan berinvestasi. Aset-aset China masih kuat, tidak melulu tentang utang-utangnya.
Dari basis manufaktur global menjadi negara dengan kekuatan permintaan domestik, inilah salah satu warna perekonomian China. Negara ini tidak lagi menjadi basis buruh dunia berupah murah, kondisi kerja buruk, dan pola kerja 996. China kini menjadi negara dengan 707 juta jiwa lebih warga kelas menengah dan andalan bagi produk-produk bermerek dunia.
Perubahan pola ini mulai terjadi di bawah mantan Presiden Hu Jintao dan berlanjut di era Xi Jinping sekarang. Warga berubah dari status buruh menjadi konsumen domestik dan global. Pengejaran teknologi mengubah China dari perakit produk menjadi penjual ”made in China”.
Baca juga : China Jadi Raksasa Pengekspor Mobil berkat Kendaraan Listrik
Pada 2021, misalnya, China menjadi negara terbesar yang memproduksi mobil dengan jumlah 21.407.962 unit, melebihi total produksi lima negara produser mobil terbesar dunia berikutnya, yakni Jepang, India, Korea Selatan, Jepang, dan Brasil. Pada 2 Agustus, Wall Street Journal menuliskan bahwa China kini menyalip Jepang sebagai eksportir mobil terbesar dunia.
China sekaligus memodifikasi basis mekanisme pasar dengan mengubah pola Deng Xiaoping dan Jiang Zemin yang mengandalkan ”kucing putih” atau ”kucing hitam”, asalkan bisa menangkap tikus. Ini sebutan bagi kapitalis, entah bermoral atau tidak, hal terpenting bisa menggerakkan perekonomian. Pola ini mulai terkikis sejak Hu Jintao dan semakin mengental di era Xi Jinping.
Inilah pola pergeseran paradigma pembangunan ekonomi China, berubah, berevolusi sejak reformasi ekonomi 1978.
China juga mengubah dominasi princelings, sebutan bagi para pangeran-pangeran partai, yang pernah sangat menentukan bagi perizinan dan kelancaran bisnis di China. Di era Xi Jinping, eksistensi princelings diberangus. Kesempatan bagi semua dan kemakmuran bagi semua, demikian moto Xi didukung teknokrat Wang Huning, salah satunya.
Badan pengatur ekonomi, The National Development and Reform Commission (NDRC), dalam langkah terbaru yang diumumkan pada 11 Agustus, mengatur agar usaha kecil yang dapat bantuan dana dari negara benar-benar merupakan usaha kecil yang andal, bukan jaringan princelings. NDRC mencegah favoritisme dan menghukum pejabat yang bertindak bias.
Di bawah Xi terjadi pemberangusan monopoli, hal paling nyata menyasar Ant Group milik Jack Ma. Ada banyak korporasi China yang menjadi sasaran pencegahan monopoli ini. Juga ada penegakan rambu-rambu keuangan, peringatan dan sanksi pada perusahaan auditor yang berbohong, serta pencegahan gaya hidup mewah di ranah publik.
Inilah pola pergeseran paradigma pembangunan ekonomi China, berubah, berevolusi sejak reformasi ekonomi 1978. Tidak bisa dikatakan telah sempurna, tetapi ada pengelolaan saksama atas paradigma pembangunan ekonominya.
Baca juga : China Evaluasi Ekonominya
Beban sektor properti
Pergeseran paradigma ini bukan tanpa konsekuensi. Salah satunya adalah perkembangan teknologi China yang sarat dengan tudingan pencurian teknologi. Dari negara pembuat suku cadang semata, China kini bisa menciptakan telepon pintar, otomotif, hingga pesawat komersial dan jet tempur canggih.
Ini menjadi momok konstan dalam relasinya dengan Amerika Serikat dan berujung pada sejumlah sanksi ekonomi, termasuk tarif dari pihak AS. Hal ini turut memukul ekonomi China dengan relokasi investasi keluar dari China. Konsekuensi paling nyata dan penyebab pertumbuhan menurun adalah pemberangusan bisnis yang berjalan liar dan tanpa aturan serta berubah menjadi ajang spekulatif. Sektor properti menjadi contoh terbaik tentang ini.
Selama sekian tahun sektor properti di China menyumbang 20 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Bangkitnya kelas menengah menjadikan China sebagai pasar terbesar dunia bagi sektor properti. Ada masanya, pesanan rumah sudah berlangsung walau bangunan belum ada (presales) saking tingginya permintaan sebagaimana dilansir china-briefing.com.
Namun, penjualan perumahan telah menjelma menjadi ajang spekulatif. Perumahan dibangun bukan untuk tujuan tempat tinggal semata, melainkan investasi spekulatif. Kenaikan harga terus berlangsung. China menyimpan 70 persen kekayaan dalam bentuk kepemilikan rumah, seperti dikutip dari Fortune.
Pada 2020, China menjadi negara dengan kepemilikan rumah tertinggi di dunia, yakni 90 persen dari total penduduk secara statistik. Artinya, satu orang bisa memiliki dua atau lebih dari tiga rumah. Akan tetapi, ada batas permintaan, yang akhirnya dipastikan jenuh. Tentu telah muncul pula keluhan rakyat, harga perumahan semakin tidak terjangkau.
Pada saat bersamaan, sektor ini telah menimbun utang hingga 5 triliun dollar AS (The Wall Street Journal, 10 Oktober 2021). Daya bayar kembali atas utang-utang pasti akan menurun dan gejala gagal bayar utang sudah mulai terlihat.
Sadar akan risiko gagal bayar dan efeknya pada perekonomian, pada Agustus 2020 Bank Sentral China dan Kementerian Perumahan dan Pembangunan Kota-Desa berdiskusi untuk membatasi dan menurunkan utang para pengembang. Pinjaman dari perbankan bagi para pembeli rumah ekstra turut dibatasi.
Efeknya, likuiditas di sektor perumahan anjlok. Tahun 2021 menjadi annus horribilis bagi sektor properti China. Efeknya meluas, termasuk berupa anjloknya layanan perbankan. Penurunan di sektor konstruksi perumahan juga terjadi secara drastis.
Baca juga : Evergrande, Pelajaran Penting
Sejumlah pemerintah daerah di China turut ketiban masalah. Penerimaan dari hasil penjualan lahan untuk pembangunan properti menurun drastis. Di China, lahan-lahan adalah milik negara. Utang-utang pemda untuk membangun properti pun menumpuk karena turut berperan sebagai pengembang lewat perusahaan-perusahaan milik pemda.
Jadi sasaran Barat
Ada kelesuan perekonomian akibat lesunya properti. Inilah bagian dari permasalahan perekonomian China sekarang, ditambah warisan pandemi Covid-19 yang memperlambat konsumsi, investasi, karena karantina wilayah total (lockdown). Hal lain adalah isu investasi asing dan ekspor yang juga menurun.
Muncul pula isu angka pengangguran 20 persen pada pekerja usia muda (16-24 tahun) berdasarkan data Juli 2023. Ada istilah lying flat, merujuk pada fenomena sebagian anak muda yang memilih santai ketimbang ambisi materi besar.
Semua situasi ini menjadi sasaran utama media Barat, terutama AS, diikuti sekutunya di Eropa, Jepang, India, dan Australia. Mereka memberitakan pertumbuhan China telah menurun serta masa depannya suram. Muncul julukan tentang pemerintahan otokratik di bawah Xi yang telah menghambat perekonomiannya sendiri.
Isu terus ditiupkan bahwa kelesuan China akan berefek secara global. Situs Business Insider, 17 Agustus, memberitakan, bisnis Citigroup di China mencatatkan penurunan pendapatan bersih 36 persen pada kuartal I-2023 dibandingkan dengan kuartal serupa tahun lalu. Thermo Fisher Scientific, perusahaan biotechnologi AS, menurunkan perkiraan penjualan di China.
Ekonomi China mulai disetarakan dengan Jepang yang mengalami deflasi dan pertumbuhan mandek sejak dekade 1980-an, seperti disebutkan The Economist.
Danaher, perusahaan perdagangan valas, mencatatkan penurunan penjualan 10 persen pada kuartal I-2023. Dow, DuPont, Procter & Gamble, Intel, 3M, Toyota, Nissan diberitakan mengalami hal serupa. Hal berbeda dialami Apple, Starbucks, dan Marriott yang dikabarkan mencatatkan kenaikan penjualan.
Namun, utang-utang China ditiupkan sebagai sangat akut. Situasi ditandai pula dengan kebangkrutan perusahaan-perusahaan pengembang China. Ekonomi China mulai disetarakan dengan Jepang yang mengalami deflasi dan pertumbuhan mandek sejak dekade 1980-an, seperti disebutkan The Economist.
Ditiupkan pula kondisi demografi China yang disebut menua, dan tingkat kelahiran rendah, yakni 1,09 pda 2022. Dari sini muncul prediksi bahwa ekonomi China mungkin tidak akan setingggi negara-negara maju lainnya di depan, seperti dilaporkan Reuters.
Miskin spiritualisme
China sangat sadar bahwa kondisi domestik sedang penuh tantangan. China sadar pula isu tersebut menjadi bahan kampanye media Barat dan sekutunya. Tentu China membalasnya, seperti China Daily dengan memasang kartun bertema AS yang kecanduan uang murah, tetapi kini malah disuntikkan dosis berupa suku bunga tinggi.
Dua negara ini sama brutalnya saat menyerang satu sama lain. Presiden AS Joe Biden menyebut ekonomi China sebagai bom membesar yang siap meledak karena kelesuan ekonominya. Seperti dikutip kantor berita Associated Press, 17 Juli, Xi menyebut Barat semakin ketiban masalah karena materialisme dan ”miskin spiritualisme”.
Ke dalam negeri, Xi berpesan agar warga sabar menantikan program pemulihan ekonomi. Xi menyerukan pembangunan ideologi sosialis dengan kohesi sosial kuat, serta fokus pada perbaikan pendidikan, layanan kesehatan, dan pasokan pangan ketimbang terjebak perburuan kemakmuran jangka pendek.
Baca juga : China Melambat Lagi, Indonesia Bisa Terimbas
Xi tetap menginginkan rakyat siap berpeluh. Pemerintah China menolak pemberian bantuan tunai langsung karena hanya akan memanjakan rakyat serta tidak berkesinambungan. China siap mendorong penguatan pembangunan di sektor perdesaan, memberikan kesempatan bagi wiraswasta massal ketimbang kepentingan monopolistik bisnis. Ini diikuti dengan penegakan aturan bisnis dan pencegahan bisnis spekulatif.
Pembangunan berkualitas dan merata, demikian China bersikukuh, ketimbang memburu pertumbuhan tinggi, tetapi dengan basis perekonomian semu dan individualistik serta menguntungkan segelintir pihak. China menyadari penuaan demografi dan sedang berupaya mendorong kelahiran. China mencoba saksama mengelola perekonomiannya, dan tidak buyar konsentrasi karena sasaran Barat.
Mesin pertumbuhan
Lepas dari itu, Dana Moneter Internasional (IMF) tetap memperkirakan China masih akan menjadi penopang bagi 34,9 persen pertumbuhan global. China diperkirakan masih akan tumbuh 5 persen lebih pada 2023, sebut IMF di lamannya.
Mantan ekonom JPMorgan Chase, Anthony Chan, pada 9 Agustus dalam wawancara dengan Fox Business, tidak membantah penurunan pertumbuhan ekonomi China di depan. Sebagai negara dengan perekonomian yang mulai matured, China menuju penurunan pertumbuhan sebagaimana pernah dialami AS dan negara-negara maju sekarang, kata Chan kepada Fox Business. Meski demikian, Chan menambahkan, ekonomi China masih tumbuh tinggi, jauh di atas pertumbuhan ekonomi AS yang diperkirakan hanya 1,8 persen pada 2023.
Steve Rattner, investor di Willett Advisors’, kepada televisi Bloomberg, 18 Agustus, senada dengan Lawrence Summer, ekonom AS dan mantan Menteri Keuangan AS, bahwa ekonomi China akan tumbuh lebih rendah di depan. Akan tetapi, Rattner mengatakan, ekonomi China belum bisa diabaikan, termasuk soal kesempatan berinvestasi. Aset-aset China masih kuat, tidak melulu tentang utang-utangnya. Rattner meyakini konsumen China masih jauh lebih kuat ketimbang konsumen di AS.
Di samping itu, China dengan kekuatan dana negara tetap menjadi harapan utama bagi banyak negara di dunia. Afrika, Asia Tengah, dan Asia lainnya, serta Amerika Latin, bahkan hingga Eropa masih tetap mengandalkan guyuran investasi asal China. Ini sesuatu yang luput dari perhatian AS di masa lalu. Di masa depan juga AS belum bisa diyakini apakah akan bisa meniru China dalam investasi global. (REUTERS/AP/AFP)