Ketakutan AS-Jepang-Korsel pada China-Korut Itu Nyata
Trio AS-Jepang-Korsel berkomitmen bergandengan demi kepentingan yang sama: khawatir dengan ancaman China dan Korea Utara. Padahal, Jepang-Korsel masih punya PR menyelesaikan luka lama Perang Dunia II.
WASHINGTON, KAMIS —Ketika Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol (62) memperingati kemerdekaan Korea Selatan dari Jepang pada 1945, dia tidak menyinggung penderitaan rakyatnya selama 35 tahun penjajahan yang brutal. Barangkali itu karena dia berusia terlalu muda untuk mengingat penghinaan yang diterima rakyat Korea Selatan dari Jepang. Yoon malah ”merangkul” Jepang dan menjadikannya mitra.
Korsel dan Jepang kini memiliki kekhawatiran dan kepentingan yang sama terhadap ancaman dari agresivitas China di Pasifik serta ancaman rudal dan nuklir Korea Utara. Bersama dengan Amerika Serikat, keduanya memperkuat hubungan keamanan dan ekonomi di Camp David, tempat peristirahatan Presiden AS di Maryland, Jumat (18/8/2023).
Baca juga : AS-Jepang-Korsel Berisiko Tarik Asia Tenggara seperti NATO
Di Camp David pernah disepakati Perjanjian Perdamaian Camp David yang menciptakan perdamaian di Timur Tengah pada 17 September 1978. Perjanjian itu ditandatangani oleh Presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin. Saat Perang Dunia II, Presiden AS Franklin Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill juga bertemu di Camp David yang waktu itu dikenal sebagai Shangri-La untuk membicarakan upaya menjatuhkan Perdana Menteri Italia Benito Mussolini.
Lokasi itu kembali menjadi saksi sejarah baru dalam hubungan antara Korsel dan Jepang yang mulai mencair selama satu tahun terakhir. Pertemuan Presiden AS Joe Biden dengan Yoon dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida itu diharapkan akan berujung pada pelembagaan kerja sama ketiga negara untuk menghadapi situasi Pasifik yang kian rumit.
Hubungan Jepang-Korsel termasuk hubungan yang rumit karena mereka memiliki perbedaan pandangan tentang sejarah Perang Dunia II dan pemerintahan kolonial Jepang di Semenanjung Korea. Keduanya selalu saling bermusuhan dan tidak percaya satu sama lain. Akan tetapi, jika keduanya kemudian memutuskan untuk bergandengan tangan, terbayang tingkat kekhawatiran Korsel-Jepang pada China dan Korut.
Jika tidak ada aral melintang, pertemuan ketiga negara itu akan menjadi agenda tahunan. Kerja sama militer dan pertahanan balistik yang menjadi dasarnya. Ketiga negara itu diperkirakan akan merinci rencana komunike untuk berinvestasi dalam teknologi sebagai jalur komunikasi langsung tiga arah. Kerja sama itu juga menawarkan pembaruan tentang kemajuan yang sudah dicapai ketiganya dalam upaya berbagi data peringatan dini terkait peluncuran rudal.
Baca juga : Korsel, Jepang, dan AS Berencana Berbagi Data Nuklir Korut
Pada intinya, ketiga negara ini mengikat janji untuk saling berkonsultasi satu sama lain jika terjadi krisis atau ancaman keamanan di Pasifik. ”Pertemuan di Camp David itu mengejutkan karena dulu kedua negara itu (Jepang-Korsel) hampir tidak bisa dipertemukan dalam satu ruangan yang sama,” tulis Guru Besar Universitas Georgetown, AS, Dennis Wilder, yang pernah menangani hubungan Jepang-Korsel semasa pemerintahan mantan Presiden AS George W Bush, di platform media sosial X.
Kini, ketiga pemimpin negara akan menghabiskan waktu paling lama bersama di Camp David. Wakil Penasihat Keamanan Nasional Korsel Kim Tae-hyo mengatakan, dorongan Yoon untuk memecahkan kebuntuan telah memberikan momentum penting untuk kerja sama yang lebih luas. Upaya-upaya sebelumnya untuk membangun hubungan yang lebih erat antara Korsel dan Jepang selalu gagal.
Pada 2019, perselisihan tentang perlakuan Jepang terhadap rakyat Korsel di masa perang membuat Korsel membatalkan perjanjian pembagian informasi intelijen militer. Yang terjadi kemudian, Jepang membatasi ekspor yang dibutuhkan oleh produsen keripik Korsel. Perbaikan hubungan kedua negara ini membawa risiko politik yang signifikan bagi Yoon. Berdasarkan jajak pendapat, mayoritas rakyat Korsel menentang penanganan Yoon atas masalah kerja paksa dengan Jepang.
Penasihat senior dan Ketua Jepang di Pusat untuk Studi Strategis dan Internasional, Christopher Johnstone, mengatakan, beberapa bulan yang lalu, baik Yoon maupun Kishida, sedikit tidak nyaman dengan prospek pertemuan di Camp David karena masih ragu-ragu. Kishida dan Yoon mulai bertugas ketika kedua negara sedang berada di masa yang paling sulit sejak resmi menormalisasi hubungan pada 1965.
Baca juga : Mendekat ke Amerika Serikat Sekaligus Merangkul China dan Jepang
Hubungan Korsel-Jepang mulai membaik secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Yoon mengusulkan inisiatif pada Maret lalu untuk menyelesaikan perselisihan yang berawal dari kompensasi bagi pekerja paksa Korsel di masa perang. Yoon mengumumkan Korsel akan menggunakan dananya sendiri untuk memberi kompensasi kepada rakyat Korsel yang diperbudak Jepang sebelum akhir PD II.
Yoon juga berkunjung ke Tokyo, Maret lalu, untuk berbicara dengan Kishida. Ini kunjungan pertama dalam lebih dari 12 tahun. Kishida lalu membalas kunjungan ke Seoul, Mei lalu, dan menyatakan simpati atas penderitaan pekerja paksa di Korsel selama pemerintahan kolonial Jepang. ”Dunia berubah cepat, khususnya Jepang dan Korsel,” kata peneliti senior untuk studi Asia-Pasifik di Dewan Hubungan Luar Negeri, Sheila Smith.
Sebelum meninggalkan Tokyo, Kamis, Kishida berbicara kepada wartawan dan mengatakan, pertemuan puncak ini akan menjadi kesempatan bersejarah untuk meningkatkan kerja sama strategis secara trilateral dengan Korsel dan AS. ”Sungguh berarti mengadakan KTT Jepang-AS-Korsel pada saat situasi keamanan di sekitar Jepang semakin parah,” ujarnya.
Meski ketiga negara sepakat berjanji untuk berkonsultasi, berbagi informasi, dan menyelaraskan pesan satu sama lain dalam menghadapi ancaman atau krisis, komitmen itu tidak melanggar hak setiap negara untuk membela diri di bawah hukum internasional. Komitmen itu juga tidak mengubah komitmen perjanjian bilateral yang ada antara AS dan Jepang serta AS dan Korsel. Saat ini AS memiliki sedikitnya 80.000 tentara yang berbasis di Jepang dan Korsel.
Baca juga : Korea Selatan Buat Keputusan Berbeda Soal Jugun Ianfu
Utusan Khusus Presiden AS untuk Jepang Rahm Emanuel mengatakan, Pemerintah AS berusaha melawan apa yang disebut sebagai taktik intimidasi China dan keyakinan China bahwa AS tidak bisa membuat dua sekutu Pasifik terpentingnya itu—Jepang dan Korsel—untuk akur. ”Pesan untuk China: kekuatan kami meningkat sementara kekuatan China menurun,” kata Emanuel pada acara Brookings Institution yang membahas KTT itu.
Menanggapi pertemuan tiga serangkai di Camp David, China menyatakan tidak ada negara yang mencari keamanannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan keamanan negara lain, perdamaian, dan stabilitas kawasan. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, Jumat, mengatakan, komunitas internasional sudah bisa melihat dan menilai sendiri siapa yang sebenarnya menciptakan kontradiksi dan meningkatkan ketegangan.
”Upaya untuk membuat kelompok dan geng eksklusif serta membawa konfrontasi blok ke kawasan Asia Pasifik tidak populer dan memicu kewaspadaan serta penentangan negara-negara di kawasan itu,” ujarnya.
Baca juga : Korban Kerja Paksa Masa Jepang Tolak Keputusan Kompensasi
Ketika China mengkritik geng eksklusif AS-Jepang-Korsel, pada saat yang sama China juga semakin dekat dengan Rusia dan China. China bahkan gencar mengupayakan hubungan yang lebih kuat dengan negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Presiden China Xi Jinping akan menghadiri pertemuan puncak blok BRICS di Johannesburg, Afsel pekan depan. Blok BRICS ini juga geng eksklusif antara Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. (REUTERS/AFP/AP)