Indonesia Gandeng Afrika-Amerika Latin Lawan Uni Eropa dan Negara Maju
Para pemilik hutan mendesak negara-negara maju mewujudkan janji menyediakan dana 200 miliar dollar AS per tahun untuk menjaga keanekaragaman hayati global
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
BELEM, KAMIS - Indonesia menggandeng negara di Afrika dan Amerika Latin untuk melawan diskriminasi perdagangan berkedok perlindungan lingkungan. Indonesia masih menggagas aliansi lain untuk menekankan perlakuan setara antara negara pemilik dan pembeli sumber daya alam. Aliansi yang digagas Indonesia itu juga setuju meminta kompensasi atas peran menjaga hutan.
Salah satu satu upaya Indonesia menunjukkan hasil dalam pertemuan 12 negara pemilik hutan terluas. Pertemuan di Belem, Brasil pada Rabu (9/8/2023) itu menegaskan, negara maju dan industri harus membayar kompensasi ke negara pemilik hutan.
Selain Indonesia, pertemuan itu dihadiri Bolovia, Brasil, Ekuador, Guyana, Peru, Suriname, Venezuela, Saint Vincent and the Grenadines, Republik Kongo, dan Republik Demokratik Kongo. Pertemuan itu lanjutan dari aliansi negara pemilik hutan yang digagas Indonesia tahun lalu. Awalnya, gagasan itu melibatkan Brasil dan Republik Kongo saja. Kini, aliansi itu meluas menjadi 12 negara dan diharapkan terus bertambah.
Negara-negara itu berada di sekitar hutan Amazon di Amerika Latin, Cekungan Kongo di Afrika, dan Asia Tenggara. Setidaknya 60 persen hutan dunia berada di 12 negara itu.
Komunike bersama dari pertemuan Belem disebut “Bersatu untuk Hutan Kita” dan dikeluarkan pada Rabu siang waktu setempat atau Kamis dini hari WIB. Salah satu poin komunike menyoroti diskriminasi komoditas ekspor dengan tudingan berkontribusi pada perusakan hutan.
“Kami mengutuk adopsi langkah-langkah untuk memerangi perubahan iklim dan melindungi lingkungan, termasuk yang sepihak, yang merupakan cara sewenang-wenang atau diskriminasi yang tidak dapat dibenarkan atau pembatasan terselubung pada perdagangan internasional,” demikian tercantum di komunike itu.
Komunike itu juga berisi salah satu pesan yang kerap disampaikan Indonesia di berbagai kesempatan. Pesan itu adalah akses ke pasar negara maju adalah faktor penting untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Peningkatan kesejahteraan adalah salah satu dari tujuan pembangunan berkelanjutan global atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Aliansi dan Kompensasi
Dalam komunike itu juga ada ajakan negara berkembang yang memiliki hutan untuk bersatu. “Negara kita harus memiliki pengaruh yang lebih besar atas pengelolaan sumber daya yang dialokasikan untuk konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan,” demikian tercantum di komunike itu.
Hal itu menunjukkan, negara pemilik hutan tidak mau aturan dari negara lain menjadi perangkat utama pelestarian hutan. Apalagi, berbagai prakarsa soal pelestarian hutan secara berimbang telah dikeluarkan negara berkembang.
Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengatakan, kesepakatan 12 negara itu akan dibawa ke Konferensi Para Pihak soal Perubahan Iklim (COP) 28 di Uni Emirat Arab. “Kami akan ke COP28 dengan tujuan menyampaikan ke negara kaya bahwa kalau mereka mau menjadi hutan, mereka harus membayar tidak hanya untuk menjaga hutannya melainkan juga orang-orang yang hidup di sekitarnya,” kata dia.
Dalam pertemuan Belem, para pemilik hutan mendesak negara-negara maju mewujudkan janji menyediakan dana 200 miliar dollar AS per tahun untuk menjaga keanekaragaman hayati global. Janji itu dilontarkan lebih dari lima tahun lalu dan tidak ada indikasi akan terwujud.
Pada Juni 2023, Bank Dunia memperkirakan manfaat ekonomi dari Amazon saja mencapai 317 miliar dollar AS per tahun. Manfaat itu mempertimbangkan pengolahan kayu, pariwisata, pertanian, dan peternakan. Nilai itu juga mempertimbangkan kemampuan Amazon menyerap karbon dioksida.
Memang, tidak semua pemanfaatan berujung pada penggundulan hutan Amazon. Karena itu, Bank Dunia mengusulkan kompensasi hanya diberikan untuk mencegah aktivitas yang bisa mengurangi hutan. Nilainya ditaksir hingga 98 miliar dollar AS per tahun.
Dana kompensasi dipakai antara lain untuk mengerahkan aparat dan peralatan penjaga areal konservasi. Dana itu juga dipakai untuk mengganti manfaat ekonomi yang gagal didapat karena masyarakat di sekitar Amazon dilarang menggunduli hutan untuk berbagai keperluan.
Tudingan Mirip
Komunike Belem dikeluarkan sehari setelah negara-negara di sekitar hutan Amazon bertemu. Di sela pertemuan, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva kembali mengungkit tudingan negaranya soal dugaan diskriminasi oleh UE.
Tudingan Brasil dan sebagian tetangganya ke UE mirip dengan tudingan Indonesia-Malaysia. Pokok tudingan itu setidaknya tiga kebijakan UE dan naskah perjanjian dagang UE dengan Brasil, Indonesia, dan sejumlah negara Amerika Latin. Kebijakan UE yang disasar adalah Instruksi Energi Terbarukan (RED II), Aturan Antipenggundulan Hutan (EUDR), dan aturan sanksi sepihak (EUER).
Parlemen Eropa dengan jelas menyebut EUDR menyasar sawit, kedelai, kulit, karet, kakao, kayu, dan produk turunannya. Sementara RED II membatasi impor sawit dan kedelai. Semua komoditas yang dituding berkontribusi pada penggundulan hutan dilarang masuk ke UE.
Ada pun EUER dipakai UE untuk menyikapi banding Indonesia dalam sengketa larangan bijih nikel. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menetapkan, larangan itu tidak sesuai peraturan perdagangan internasional. Indonesia mengajukan banding dan tetap melarang ekspor bijih nikel. Ekspor hanya diizinkan untuk nikel olahan.
UE menilai keputusan Indonesia tidak sesuai peraturan internasional. Karena itu, menggunakan EUER, UE akan keluar sementara dari aturan dagang internasional. Setelah itu, UE dapat menyanksi Indonesia dengan hukuman yang bisa saja tidak selaras aturan internasional.
Lula dan Presiden Argentina Albertor Fernandez berpendapat senada dengan Indonesia. Lula menegaskan, Brasil tidak berkewajiban menunjukkan kepada UE bukti produk Brasil dan negara lain memenuhi standar lingkungan.
Sementara Fernandez menuding UE berusaha mempertahankan impor bahan mentah dari Amerika Latin lewat perjanjian dagang itu. Argentina dan negara-negara Amerika Latin mau menerapkan konsep hilirisasi sumber daya alam seperti di Indonesia. Alih-alih dalam bentuk mentah, sumber daya alam harus diolah dulu sebelum diekspor dalam bentuk setengah jadi atau jadi.
Fernandez menyebut, UE berusaha tetap mendapatkan bahan baku murah dan tidak mau berinvestasi pada industri pengolahan di Amerika Latin. Padahal, ada sumber daya alam Amerika Latin dibutuhkan UE untuk mewujudkan aneka rencananya.
Badan Statistik UE, Eurostat, menyebut UE amat tergantung pada pasokan material dari berbagai mitranya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pada beberapa jenis mineral yang dikategorikan UE sangat penting, ketergantungan UE bisa mencapai 95 persen.
Sebagian mineral yang dibutuhkan UE ada di Indonesia. Sebagian lagi berada di berbagai negara lain. Sejak 2022, Indonesia telah mewacanakan pembentukan aliansi negara pemilik bahan baku penting untuk transisi energi.
Negara pemilik nikel, timah, litium, tembaga, kobalt, dan aneka logam tanah jarang diajak bersatu. Indonesia mengajak mereka membentuk lembaga semacam Organisasi Negara Produsen Minyak (OPEC). Sebab, aneka mineral itu akan sama pentingnya dengan minyak. (AFP/REUTERS)