”Drone” Anka dan Titik Balik Strategis bagi Indonesia
Pilihan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjalin kerja sama pertahanan dengan Turki telah membuka peluang lebih besar bagi Indonesia. Jakarta dapat mencontoh kemandirian Ankara.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO, IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Konflik di Nogorno-Karabakh yang menjadi palagan Azerbaijan vs Armenia pada pertengahan 2020 menjadi buah bibir kalangan militer. Mengandalkan Bayraktar TB2 buatan Baykar Makina, Turki dan drone kamikaze atau biasa disebut loitering munitions, buatan Israel, Azerbaijan berhasil mengobrak-abrik pertahanan Armenia. Sejumlah drone Azerbaijan menghancurkan tank, artileri, dan sistem pertahanan udara Armenia. Hasilnya, setelah bertempur selama 44 hari, Armenia pada pertengahan November 2020 menyerah.
Perang Azerbaijan-Armenia dan kini di palagan Ukraina menjadi palagan pembuktian ”tajamnya” sengatan drone atau pesawat nirawak. The Washington Post, November 2020, menyebut, penggunaan drone memperlihatkan masa depan perang.
Mulai marak digunakan dalam perang sejak Pentagon mengerahkan Predator ke Afghanistan pascaserangan 11 September atas menara kembar WTC, New York, Amerika Serikat, kini drone berkembang menjadi lebih canggih. Turki dan beberapa negara lain, seperti China, AS, Israel, Rusia, dan Korea Selatan, mengembangkan drone sebagai loyal wingman, terbang bersama dalam satu flight dengan sebuah pesawat tempur yang menjadi ”inangnya”. Duet yang mengakomodasi kecerdasan buatan itu digadang-gadang akan menjadi andalan di masa depan.
Ketika Kementerian Pertahanan di era Prabowo Subianto memutuskan memilih Anka, produk Turkish Aerospace, sebagai arsenal TNI, langkah itu menjadi titik balik strategis. Ada tiga alasan mengapa menyebut langkah itu strategis.
Pertama, Indonesia semakin ”berani” mengalihkan diri dari sumber-sumber tradisional, seperti AS, Rusia, dan Eropa, untuk mengisi keragaman alat utama sistem persenjataan (alutsista)-nya. Kedua, mengacu misi kemandirian industri pertahanan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, yang dielaborasi Prabowo, melalui kerja sama pertahanan dengan Turki, langkah itu adalah investasi ”brilian”. Dalam konteks lebih luas, ketiga, kerja sama itu membuka peluang, baik bagi Turki maupun Indonesia memasuki pasar kawasan.
Wakil Menteri Pertahanan M Herindra mengatakan, Turki tidak setengah-setengah dalam menjalin kerja sama. ”Transfer of technology-nya full. Selain harganya kompetitif, tidak ada konflik kepentingan apa pun, serta menjanjikan investasi kerja sama dengan PT Pindad, PT DI, LEN, dan Defend ID. Syarat yang diberikan pun tak menyulitkan,” katanya, Jumat (4/8/2023).
Bagi Indonesia yang ingin mengejar kemandirian dalam industri pertahanan, apa yang ditawarkan Turki adalah ”emas”. Duta Besar Indonesia untuk Turki, Lalu M Iqbal, membenarkan hal itu.
Tentang kemandirian itu, menurut Iqbal, Turki benar-benar belajar dari masa lalu. Seperti Indonesia yang pernah diembargo AS pascareferendum Timor Leste, 1999, Turki pun pernah mengalaminya. Sebagai anggota NATO, Turki diembargo pakta pertahanan itu pada tahun 1974 karena Turki menginvasi Siprus.
Namun, Turki tidak patah arang. Turki lantas menggenjot ekosistem industri pertahanannya. ”Mereka membangun rantai pasok di dalam negeri,” kata Iqbal. Salah satu caranya, Turki mengolaborasi tiga entitas, yaitu pemerintah, kampus, dan industri.
Menurut Iqbal, bagi Indonesia, Turki adalah contoh sekaligus pilihan rasional untuk pengembangan industri pertahanan. Selain ramah dalam transfer of technology (TOT), Turki pun dapat menjadi acuan bagaimana membangun ekosistem industri pertahanan, termasuk bagaimana menciptakan rantai pasok di dalam negeri.
Lompatan Turki
Berbicara dalam upacara penutupan Pameran Industri Pertahanan Internasional (IDEF) ke-16 di Istanbul, Turki, Presiden Recep Tayyip Erdogan, sebagaimana dikutip kantor berita Anadolu, mengatakan, selama bertahun-tahun, Turki tak dapat menggunakan senjata yang diimpornya untuk memerangi terorisme.
”Kami telah menjadi sasaran embargo, dan jelas kami menjadi korban pembatasan yang tidak adil dan melanggar hukum,” katanya. ”Kami telah mengalami standar ganda, ketidakadilan dan ketidaksetiaan, menghadapi ini, kami tidak menyerah,” kata Erdogan.
Turki pun lantas mempercepat proyek pertahanan, dan menemukan solusi untuk memenuhinya. Kini, selain drone, Turki telah mengembangkan beragam senjata canggih, seperti rudal anti-kapal Atmaca, drone siluman Anka III, dan pesawat generasi keenam Kaan.
Dalam 20 tahun, Turki berhasil melakukan lompatan pesat. Erdogan mengatakan, rasio tingkat ketergantungan pada sumber asing dalam industri pertahanan berkurang dari 80 persen pada 2002 menjadi hanya 20 persen pada 2022.
Wakil Presiden Eksekutif Divisi Helikopter Turkish Aerospace Mehmet Demiroglu menuturkan, dalam teknologi pesawat nirawak tempur, Turki berada di tiga besar dunia.
Erdogan mengatakan, Ankara telah mengembangkan model Turki dalam kerja sama industri pertahanan persis seperti yang mereka lakukan dalam bantuan kemanusiaan. Anadolu, mengutip Erdogan, menyebutkan, target Turki bukan hanya menjual produk, melainkan juga menjalin kerja sama jangka menengah dan panjang. Erdogan menggarisbawahi, Turki tidak setuju dengan metode perdagangan di mana satu pihak adalah produsen dan satu pihak selalu menjadi pelanggan.
”Turki bertujuan membangun hubungan berdasarkan sikap saling menguntungkan. Tidak tepat menggunakan isu vital, seperti keamanan, sebagai elemen ancaman dan tekanan antarnegara,” katanya.
Erdogan mengatakan, setiap orang harus dapat memenuhi kebutuhan keamanan mereka dengan mudah selama sah dan sesuai hukum. ”Itu sebabnya kami akan terus berbagi kemampuan dengan negara-negara sahabat. Kami akan mendukung semua mitra kami sambil memenuhi kebutuhan kami sendiri,” ujarnya.
Indonesia-Turki
Pesatnya perkembangan industri pertahanan Turki dapat mendorong Indonesia menjadikan Turki sebagai mitra strategis jangka panjang. Merujuk pada pernyataan Herindra dan Iqbal apa yang ditegaskan Presiden Erdogan adalah peluang besar bagi misi kemandirian Indonesia.
Dengan mengadaptasi dan mengadopsi teknologi standar NATO—karena Turki adalah negara anggota NATO—keunggulan alutsista Turki dapat diandalkan. Kedigdayaan Bayraktar TB2 dalam palagan Nogorno Karabakh dan Ukraina menjadi buktinya. Dan dibandingkan dengan produk Eropa dan AS, alutsista produk Turki, kata Iqbal, jauh lebih murah.
Di sisi lain, dua keunggulan itu—ditambah pernyataan Erdogan—sangat terbuka bagi Indonesia terlibat membangun pasar di kawasan. Ini yang sedang dilakukan melalui pengembangan tank Harimau oleh PT Pindad dan FNSS.
Terkait pembelian Anka—sebanyak 12 unit—Presiden dan CEO Turkish Aerospace Temel Kotil akhir Juli lalu mengatakan, enam di antaranya akan dirakit PT Dirgantara Indonesia (DI). Menurut dia, perakitan Anka di Indonesia merupakan bagian dari kesepakatan kedua belah pihak.
Sebagaimana Erdogan, Turkish Aerospace ingin mendukung Indonesia agar mampu membangun sendiri alutsista yang diperlukan. Kini, Kotil masih menunggu tindak lanjut PT DI membangun fasilitas perakitan Anka. ”Tak ada persyaratan jumlah minimal pembelian Anka untuk transfer teknologi. Ini adalah kesepakatan bersama,” kata Kotil.
Di sisi lain, kerja sama itu membuka ruang lebih besar bagi kedua pihak. Menurut Iqbal, kebijakan luar negeri Turki saat ini antara lain memperluas jangkauan. Salah satunya melalui diplomasi kemanusiaan. Turki merupakan negara kedua terbesar setelah AS (8,9 miliar dollar AS) yang menyisihkan dana untuk bantuan kemanusiaan, nilainya mencapai 8,2 miliar dollar AS.
Jangkauan bantuan Turki hingga Asia Tenggara, antara lain kepada Rohingya. Bagi Turki, ASEAN dan Indonesia adalah pintu masuk ke kawasan Asia Pasifik. Sebaliknya, Turki sangat penting bagi Indonesia untuk masuk lebih jauh ke Afrika, di mana Turki banyak hadir di kawasan tersebut.
Kuatnya kerja sama di bidang pertahanan ini berpotensi meningkatkan nilai perdagangan Indonesia-Turki yang kini mencapai tiga miliar dollar AS. Menurut Iqbal, potensi perdagangan kedua negara sejatinya jauh lebih besar, yaitu 15 hingga 20 miliar dollar AS.