Di era Joko Widodo, diplomasi Indonesia lebih pragmatis. Sembari tetap menjalankan tiga peran negara menengah, Indonesia semakin kerap menunjukkan ketegasan pada berbagai negara.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Sudah 20 tahun Indonesia menegaskan diri sebagai kekuatan menengah di tatanan global. Dari memainkan tiga peran utama kekuatan menengah, Indonesia kini semakin agresif dalam praktik diplomasi. Dalam kadar berbeda, para diplomat dan pejabat Indonesia semakin keras menunjukkan sikap dan kepentingan Indonesia di panggung internasional.
Sikap teguh Indonesia ditunjukkan kepada semua negara atau kumpulan negara besar. ”Indonesia telah memainkan peran penting dalam dinamika saat ini. Kontribusi Indonesia diperlukan dalam upaya membuat keadaan lebih baik,” kata Duta Besar Uni Eropa (UE) di Jakarta Vincent Piket, Rabu (26/7/2023).
Diplomat yang akan segera mengakhiri masa tugasnya di Indonesia itu menyiratkan, UE tidak selalu selaras dengan Indonesia. Meski demikian, ia meyakini Jakarta-Brussels sepakat tentang pentingnya peningkatan kerja sama RI-UE. ”Hubungan sekarang masih di bawah potensi Indonesia-Uni Eropa,” ujarnya.
Ia tidak menampik, Jakarta-Brussels sedang saling menggugat di Organisasi Perdagangan Dunia. Isu-isu itu menjadi penghambat upaya UE-RI meningkatkan hubungan. ”Perlu dicari penyelesaian pragmatis untuk masalah-masalah ini sehingga kita bisa melangkah lebih jauh,” katanya.
Piket menyoroti pola diplomasi Indonesia selama setidaknya 20 tahun terakhir. Mengacu pada berbagai penelitian, Indonesia memiliki dan mempraktikkan ciri negara kekuatan menengah.
Indonesia berperan sebagai pembangun koalisi, penengah di antara pihak yang berseberangan, dan pendorong dinamika untuk mengatasi kebuntuan. Pada 2003-2014, Indonesia menjalankan peran itu lewat berbagai forum.
Sementara di era Presiden Joko Widodo, diplomasi Indonesia lebih pragmatis. Sembari tetap menjalankan tiga peran negara menengah, Indonesia juga semakin menunjukkan keinginan mempertahankan kepentingannya. Indonesia semakin kerap menunjukkan ketegasan kepada berbagai negara.
UE hanya salah satu sasaran ketegasan Indonesia. Amerika Serikat, China, dan hingga Rusia berulang kali menghadapi keteguhan sikap Indonesia dalam berbagai isu.
Kepada Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov, misalnya, Menlu RI Retno Marsudi berulang kali menegaskan sikap Indonesia soal perang Ukraina. Di depan umum, Retno memakai istilah Indonesia mendesak semua pihak menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah setiap negara. Istilah itu menunjukkan Indonesia tidak setuju atas serangan dan pendudukan Rusia terhadap Ukraina.
Kepada China, Indonesia terutama teguh soal Laut China Selatan. Indonesia secara rutin mengirimkan nota protes atas manuver China di perairan itu.
Pakar hukum internasional, Damos Agusman, menjelaskan, pengiriman rutin itu amat penting dalam penegasan hak. Sebab, dalam praktik hukum internasional, ada norma kebiasaan. Secara ringkas, norma itu akan menganggap sesuatu sebagai kebenaran jika terjadi dalam jangka panjang.
Indonesia pernah merasakan pahitnya norma itu dalam kasus Sipadan-Ligitan. Klaim Indonesia atas kedua pulau itu ditolak karena Indonesia tak bisa membuktikan upayanya atas pulau-pulau itu. Sementara negara lain bisa menunjukkan aneka upayanya di pulau-pulau itu.
Pihak yang belakangan paling kerap menjadi sasaran kegusaran Indonesia adalah UE. Indonesia antara lain gusar dengan Aturan Antipenggundulan Hutan (EUDR) yang berlaku beberapa pekan lalu.
Kala menerima Menlu Portugal João Gomes Cravinho pada 24 Juli 2023, Retno menyampaikan kegusaran itu. Beberapa waktu sebelumnya, ia menyampaikan kegusaran soal itu di Perancis. Di beberapa forum lain, ia menyampaikan hal senada.
Sebagai diplomat dengan karier lebih dari 40 tahun, Retno mengemas kegusaran itu sehalus mungkin. Sementara Presiden Joko Widodo malah lebih lugas.
Presiden menyebut ada kolonialisme ekonomi terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Presiden memakai istilah itu untuk menyebut aneka hambatan upaya hilirisasi sumber daya alam di negara berkembang.
”Setiap negara memiliki hak pembangunan dan hak untuk mengolah sumber daya alam untuk menghasilkan nilai tambah juga harus dihormati. Sudah bukan zamannya lagi negara berkembang hanya menjadi pengekspor bahan mentah seperti di era kolonialisme,” ujar Presiden dalam pertemuan dengan para pemimpin G7 di Hiroshima, beberapa waktu lalu.
Perubahan posisi
Salah satu modal kepercayaan diri Indonesia adalah tren pertumbuhan ekonomi. Meski melambat di era pandemi, berbagai lembaga sepakat perekonomian Indonesia akan terus berkembang dalam beberapa tahun mendatang.
Indonesia berada di jalur masuk lima negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Sebagian menaksir, Indonesia akan menjadi perekonomian terbesar setelah China, AS, dan India. Sementara negara atau kawasan lain justru menunjukkan perekonomian yang menyusut.
Kajian European Center for International Political Economy (ECIPE) pada Juli 2023 menyebut, UE semakin miskin dalam rentang 2000-2021. Jika UE salah satu negara bagian AS, maka UE masih berada di urutan menengah pada 2000.
Sementara pada 2021, UE termasuk urutan akhir untuk urusan kekayaan di antara negara-negara bagian AS. Salah satu penyebab penyusutan itu adalah pengurangan produktivitas pekerja UE. Dibandingkan AS, kontribusi jam kerja UE pada produk domestik bruto (PDB) lebih rendah.
Memang, menurut ECIPE, kesejahteraan warga berbagai anggota UE tetap lebih tinggi dibandingkan dengan banyak negara Asia, Afrika, atau Amerika Latin. Namun, tidak berarti berbagai negara di tiga kawasan itu akan tetap seperti sekarang.
Para pejabat UE menyadari tren tidak menyenangkan itu. Oleh karena itu, mereka berusaha sedapat mungkin memperluas kerja sama ekonomi dengan berbagai negara dan kawasan.
Seperti disampaikan Presiden Jokowi, Indonesia terbuka bekerja sama dengan siapa pun. Syaratnya, kerja sama harus dilakukan secara setara. Tidak boleh ada lagi pihak yang merasa punya standar lebih tinggi dan mengabaikan suara pihak lain.
Apalagi, jika kerja sama itu membawa manfaat kepada kedua belah pihak. Para pihak membutuhkan kerja sama itu segera tercapai.
Dalam isu mineral, misalnya, Indonesia berkepentingan mendapat nilai tambah sebesar-besarnya. Sementara AS, UE, China, dan berbagai negara lain membutuhkan mineral itu untuk mewujudkan aneka rencana pembangunan nasional mereka. Pemaksaan lewat berbagai cara bukan pilihan bijak untuk mengakses mineral-mineral itu.
Indonesia tidak mau pola lama hubungan antarnegara. Diplomasi Indonesia selama beberapa tahun terakhir berusaha menggugat tatanan itu. (AFP)