Tanpa Konsesi Konkret, Rusia Tak Mau Kembali ke Kesepakatan Laut Hitam
Rusia tak mau kembali ke kesepakatan ekspor biji-bijian Laut Hitam sampai ada kejelasan terkait ekspor makanan dan pupuk Rusia yang tersandera sanksi dari Barat.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
MOSKWA, SELASA - Rusia tidak akan kembali ke kesepakatan ekspor biji-bijian Laut Hitam sampai ada kejelasan tentang perjanjian untuk memfasilitasi ekspor makanan dan pupuk Rusia yang tersandera oleh sanksi Barat paska invasi Rusia ke Ukraina.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengusulkan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin agar Rusia kembali mengizinkan Ukraina mengekspor biji-bijian dengan aman dari pelabuhannya meski masih berkonflik. Rusia menarik diri dari kesepakatan Laut Hitam itu pada awal bulan ini. Usulan Guterres dinilai Rusia tidak menjawab masalah utama ekspor Rusia.
“Dalam suratnya, Guterres menyebutkan rencana aksi dan janji lagi bahwa pada suatu saat nanti dimungkinkan memenuhi kepentingan Rusia. Sayangnya, untuk saat ini tidak mungkin kembali ke kesepakatan karena perjanjian terkait Rusia tidak dilaksanakan,” kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, Selasa (25/7/2023).
Peskov menegaskan Putin sudah menjelaskan bahwa Rusia akan siap menghidupkan kembali kesepakatan ekspor biji-bijian Laut Hitam jika keinginan Rusia dipenuhi. Kesepakatan yang ditengahi oleh PBB dan Turki pada Juli lalu itu bertujuan untuk membantu mencegah krisis pangan global dengan mengizinkan biji-bijian diekspor dengan aman.
Penting bagi Rusia, kata Peskov, untuk membahas pasokan biji-bijian dengan negara-negara Afrika pada KTT Rusia dan Afrika yang akan diadakan pada 27-28 Juli 2023 di Saint Petersburg, Rusia. KTT ini adalah yang kedua kali setelah yang pertama diadakan di Sochi, Rusia, pada 2019.
“Pembuatan koridor logistik tidak hanya untuk makanan dan pupuk tetapi juga untuk produk lain yang diproduksi Federasi Rusia. Ini akan jadi salah satu topik diskusi. Bagi saya, gagasan tentang koridor logistik dan pendirian pusat biji-bijian itu menjanjikan dan bisa dilakukan,” sebut Duta Kebijakan Luar Negeri Rusia, Oleg Ozerov, dalam pernyataan tertulisnya kepada kantor berita RIA.
Dengan kesepakatan itu, dalam satu tahun kemungkinan sekitar 33 juta ton biji-bijian bisa dikirim dari Ukraina. Ini akan membantu menstabilkan harga pangan global serta mencegah krisis pangan.
Selama beberapa hari terakhir, Rusia berusaha meyakinkan negara-negara mitranya di Afrika bahwa mereka prihatin dengan masalah itu. Oleh karena itu, Rusia “tanpa keraguan” siap mengekspor biji-bijian ke negara-negara termiskin di Afrika dengan harga murah atau gratis.
Rusia disebutkan akan mengirimkan 10 juta ton biji-bijian ke Afrika pada paruh pertama tahun ini. Sejak awal serangan ke Ukraina, Rusia sudah berusaha memperkuat hubungan diplomatik dan keamanan dengan Afrika.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, sudah dua kali berkunjung ke Afrika. Para ahli menilai usaha keras Rusia memengaruhi Afrika itu bisa dilihat dari serangkaian kontrak keamanan dan kampanye di media sosial. “Saya menjamin negara kami mampu menggantikan biji-bijian Ukraina baik secara komersial maupun gratis,” kata Putin dalam pernyataan tertulis, Senin.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menuduh Rusia hendak mendestabilisasi Afrika. Tuduhan ini segera ditampik Rusia dan balas menuding Perancis menunjukkan perilaku kolonial.
Peskov menegaskan Rusia mengembangkan hubungan yang bersahabat dan konstruktif berdasarkan rasa saling menghormati. Rusia menuding negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat mencoba menyabotase KTT Rusia-Afrika dengan menekan negara-negara Afrika untuk tidak berpartisipasi.
Pada pertemuan itu, Putin akan melakukan pertemuan bilateral dengan masing-masing negara Afrika untuk membicarakan perdagangan, keamanan, kesepakatan persenjataan, dan pasokan biji-bijian.
Diplomat Rusia, Alexander Polyakov, yang dikutip kantor berita TASS, menyebutkan, 49 delegasi Afrika sudah mengonfirmasi kehadiran mereka. Separuh di antaranya akan diwakili oleh kepala negara atau kepala pemerintahan.
Joseph Siegle dari Pusat Kajian Strategis Afrika memperkirakan Rusia akan mencoba menarik negara-negara Afrika seperti Ethiopia, Kongo, Nigeria, dan Senegal untuk menjadi “kelompok temannya”. Afrika selama ini menjadi wilayah yang paling ramah terhadap Rusia dibandingkan wilayah mana pun di dunia.
Seperti China, Rusia mencoba menjadi teman Afrika dengan menyuarakan ketidaksukaannya didikte kekuatan global. Ini juga yang dirasakan sebagian negara di Afrika. Meski ramah pada Afrika, investasi Rusia di Afrika sebenarnya relatif kecil.
Pada KTT Rusia-Afrika pertama tahun 2019, Putin berjanji akan menggandakan perdagangan Rusia dengan Afrika dalam lima tahun. Namun, pada kenyataannya, perdagangan di antara keduanya terhenti di sekitar 18 miliar dollar AS per tahun. Rusia menawarkan kurang dari 1 persen dari total investasi asing langsung yang masuk ke Afrika.
Afrika menjadi wilayah yang penting bagi AS. Untuk itu, AS harus bersaing dengan Rusia di Afrika atau berinvestasi dalam stabilitas Afrika. Sebab, menurut Joseph Sany dari Institut Perdamaian AS, Afrika akan menjadi kekuatan ekonomi dan demografis yang tumbuh paling cepat di dunia. Pada 2050, populasi Afrika akan mencapai seperempat dari total populasi dunia.
Ronal Gopaldas, konsultan di Institut Studi Keamanan di Afrika, menilai negara-negara Afrika juga lebih suka menjadi “raja kecil” ketimbang harus terjebak dalam perang proksi lainnya. “Kalau mau mendapatkan keuntungan maksimal, harus bisa cerdas memanfaatkan peluang ini,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)