Memilih Gaya Hidup Melambat demi Mengejar Hidup Berkualitas
Hidup dan bekerja berlandaskan kecepatan, bukan berdasarkan mutu dan rendahnya penghargaan, akhirnya hanya menghasilkan ketidakpuasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Manusia tidak bisa hidup tanpa teknologi karena manusia adalah pencipta teknologi. Akan tetapi, akhir-akhir ini hidup manusia ditentukan oleh teknologi. Kemampuan korporasi menciptakan sistem produksi massal memberi kesan bahwa segala sesuatu harus dilombakan dengan permesinan, mulai dari kehidupan pribadi, pendidikan, hingga pekerjaan. Akhirnya, muncullah gerakan slow living.
Slow living bisa diartikan dengan melambatkan kehidupan. Gerakan melambat ini bukan berarti bermalas-malasan dan ogah bekerja. Justru, gerakan ini mengajak agar setiap individu kembali memikirkan prioritas kehidupannya dan cara untuk mencapainya guna memperoleh hasil yang bermutu.
Filsuf Norwegia, Guttorm Floistad, melontarkan sebuah pandangan pada 1990-an sebagai tanggapan atas melejitnya pola hidup konsumerisme yang disetir oleh bursa saham Wall Street di New York, Amerika Serikat. Perubahan, kata dia, adalah kenyataan yang sejati di dalam kehidupan dan siklus alam. ”Akan tetapi, secepat dan sebesar apa pun perubahan dunia, kebutuhan dasar manusia selalu abadi, yaitu kebutuhan untuk diperhatikan dan dihargai, baik oleh diri sendiri maupun oleh sesama,” tutur Floistad.
Vincenzo di Nicola, Guru Besar Psikiatri Universitas Montreal, Kanada, sekaligus Presiden Asosiasi Psikiatri Dunia menggunakan perkataan Floistad sebagai landasan esai yang diterbitkan majalah filsafat Aeon pada 27 Februari 2018. Ia menjelaskan, perkembangan teknologi yang begitu cepat menghasilkan pola hidup cepat yang sejatinya tidak dimengerti oleh manusia itu sendiri. Kecepatan dianggap sebagai standar.
”Padahal, yang dihasilkan oleh kecepatan adalah jumlah dan itu tidak berarti mutu. Tidak banyak yang bisa mengukur kecepatan itu secara saksama. Ini arus masyarakat yang cepat hanya demi kecepatan tanpa memahami mekanisme pergerakan itu sendiri,” kata Di Nicola.
Kehidupan pribadi, pendidikan, dan pekerjaan dijalankan berdasarkan kecepatan tanpa mengetahui mana aspek-aspek yang harus dilakukan secara cepat dan mana yang harus dilakukan secara terperinci. Di Nicola menerangkan, berhenti sejenak untuk melihat kembali hasil pekerjaan dan becermin dari pengalaman itu semakin jarang. Bergerak dan terus bergerak, hasilnya adalah ketidakpuasan.
Pandemi Covid-19 menjadi kesempatan di dalam kesempitan bagi banyak orang untuk berhenti sejenak dan becermin. Di Barat terjadi fenomena great resignation. Justru, di masa ketika tenaga kesehatan begitu dibutuhkan untuk merawat orang sakit, para dokter, perawat, dan bidan mengundurkan diri dari pekerjaan.
Berhenti sejenak untuk melihat kembali hasil pekerjaan dan becermin dari pengalaman itu semakin jarang. Bergerak dan terus bergerak, hasilnya adalah ketidakpuasan.
Alasan para dokter, perawat, dan bidan itu adalah setelah memikirkan kembali, ternyata pekerjaan mereka tidak memberi kebahagiaan ataupun aktualisasi diri. Bekerja membanting tulang merawat dan menyelamatkan manusia lain, tetapi tidak ada penghargaan, apalagi peningkatan kesejahteraan. Bagi mereka yang memiliki privilese, seperti kemampuan mendapatkan pekerjaan baru dengan cepat ataupun cukup tabungan untuk 100 persen berganti pola hidup, great resignation ini menjadi pilihan.
Adapun bagi mereka yang tidak punya privilese ini karena tanggungan hidup begitu besar, terpaksa tinggal di dalam sistem berbasis relasi kuasa ini. Tidak ada jaminan mutu menjadi landasan bekerja.
Di China, terjadi dua kubu reaksi atas tuntutan kehidupan serba cepat. Tangping alias selonjoran dan bailan alias masa bodoh. Tangping, menurut para pengamat sosial, masih relatif positif karena di sini anak muda menuntut kebebasan menentukan karier dan pekerjaan mereka dengan alasan kebahagiaan dan mutu hidup. Pilihan pekerjaan mereka tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat arus utama, tetapi dikerjakan dengan senang hati dan bersungguh-sungguh.
Adapun bailan sudah apatis, bekerja ala kadarnya karena tahu tidak akan pernah dihargai. Penganut bailan ini hidup dengan sistem autopilot, tetapi tidak tahu akan terbang ke mana. Fenomena ini menjadi beban pikiran bagi para ahli ekonomi China karena negara mereka sangat tergantung kepada sumber daya manusia yang besar untuk memajukan perekonomian. Hanya, manusianya memiliki pikiran dan tujuan hidup berbeda dari negara dan korporasi.
Pada 2004, wartawan asal Kanada, Carl Honore, menerbitkan buku berjudul In Praise of Slowness: How A Worldwide Movement Is Challenging the Cult of Speed yang dihimpun pengalamannya meliput dampak pengagungan kecepatan terhadap berbagai sektor kehidupan dan industri. Hal-hal intrinsik menjadi penting karena kinerja setiap individu dipengaruhi oleh kesehatan dan keterbukaan komunikasi lingkungannya.
”Manusia, komunitas, dan masyarakat harus merencanakan secara strategis kehidupan dan pekerjaannya supaya kita mengetahui hal-hal yang memang harus dikerjakan dengan cepat dan hal-hal yang memerlukan waktu. Memahami ada saatnya becermin, ada saatnya memberi, dan ada saatnya menghargai,” tulis Honore.
Ia menjelaskan pentingnya manusia memiliki hubungan yang manusiawi dengan teknologi. Artinya, menyadari bahwa teknologi adalah alat untuk mendukung kinerja manusia, bukan penentu nasib. Mental fear of missing out (FOMO) menjadi hal yang harus ditilik kembali oleh individu dan lembaga. Tidak semua hal harus dikejar dan tidak semua tren harus diikuti. Pendekatan ini pula, lanjut Honore, yang bisa menurunkan konsumerisme.