China masih bergelut dengan masalah sanitasi. Di saat yang bersamaan, pemahaman masyarakat tentang etika toilet masih menjadi masalah.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Seiring perjalanan China menjadi negara adidaya, tersisa sejumlah pekerjaan rumah yang belum tuntas. Salah satunya soal sanitasi, yakni urusan buang hajat dan toilet. China mesti terus mendorong masyarakatnya menerapkan etika penggunaan toilet yang beradab.
“Selamat datang di China!” Terdengar perkataan seorang pelancong asing sembari tertawa di Changsha Huanghua International Airport, Hunan, China, pertengahan Mei silam. Sambutan itu meluncur setelah dia melihat wajah keheranan teman asing lainnya terhadap toilet bandara.
Percakapan soal China dan toilet telah lama bergulir. Toilet umum di China kebanyakan menggunakan toilet jongkok. Tombol siram biasanya berbentuk pedal yang terletak di dekat lantai yang digunakan dengan cara diinjak.
Bagi pelancong yang terbiasa dengan toilet duduk, gegar budaya bisa terjadi lantaran mereka harus memikirkan posisi, akurasi, dan kekuatan kaki saat buang hajat. Rasa terkejut ini juga dirasakan pelancong asal Thailand, Pranpriya (29), nama samaran.
“Menggunakan toilet di China ialah pengalaman menantang yang tak terduga. Jika Anda terbiasa menggunakan toilet duduk dan tiba-tiba harus menggunakan jenis toilet jongkok, itu terasa tidak nyaman,” tutur Pranpriya yang mengunjungi China tahun ini, Minggu (9/7/2023).
Dari informasi teman-teman asal China, Pranpriya mendapati bahwa preferensi pada toilet jongkok itu karena orang China suka melakukan urusan “ke belakang” dengan cepat. Ditambah lagi, mereka tidak suka tubuh mereka menyentuh bekas orang lain agar bebas kuman.
Urusan Privasi
Pranpriya memahami alasan itu. Namun, ketidaknyamanan lainnya adalah tentang rasa kurangnya privasi. Beberapa bangunan toilet umum memiliki desain di mana bagian bawah bilik-bilik memiliki celah. Dengan demikian, orang usil bisa saja melihat privasi pengguna toilet lain hanya dengan menundukan kepala.
Ren Zhen, seorang warga Beijing menjelaskan, warga China memang menyukai toilet jongkok demi alasan kebersihan. “Jika ada pilihan toilet duduk dan jongkok, saya akan memilih toilet jongkok. Saya tidak suka bersentuhan di toilet umum,” katanya, awal Juni.
Terkait masalah privasi toilet, Ren menjelaskan, toilet komunal di China era 1980an hingga 1990-an tidak memiliki pembatas. Contoh toilet umum seperti itu masih bisa terlihat di hutong atau gang perkampungan kuno sekitar Jalan Meishi, Beijing, China. Di salah satu bangunan toilet, terdapat tiga kloset jongkok tanpa bilik, hanya sekat buram sebagai pembatas.
“Toilet itu adalah contoh toilet dulu. Masih ada toilet semacam itu di daerah yang belum maju. Saya pikir konstruksi desain seperti itu dibuat karena lebih murah. Tetapi, seiring kemajuan China, pemerintah membuat proyek renovasi toilet umum agar lebih baik,” tutur Ren.
Penggunaan toilet jongkok adalah hal umum di Asia. Selain China, toilet jongkok umum juga bisa ditemui di Indonesia. Hanya saja, cerita tentang toilet China yang kurang privat dan higienis sudah mendunia. Banyak cerita misalnya, kotoran tak disiram.
Tahun 2015, Presiden China Xi Jinping meluncurkan kampanye nasional Revolusi Toilet demi meningkatkan jumlah dan sanitasi toilet di lokasi wisata. Kampanye ini lalu meluas untuk memperbaiki toilet umum di kota-kota dan membangun toilet yang baik di rumah tangga pedesaan.
20 Miliar Yuan
Dalam artikel Toilet Revolution in China (2017), Shikun Cheng dan kawan-kawan menjabarkan revolusi toilet sebagai kampanye yang memastikan pemisahan higienis kotoran manusia dari kontak manusia. Hal ini juga berarti menyediakan ruang sanitasi dan kenyamanan bagi pengguna, mencegah kotoran manusia mencemari lingkungan, dan mewujudkan daur ulang sumber daya.
Selama 2015-2017, China telah memasang atau meningkatkan 70.000 toilet di tempat wisata, melebihi target 57.000 toilet. Anggaran yang keluar lebih dari 20 miliar yuan. “Masalah toilet bukanlah hal kecil, ini merupakan aspek penting dalam membangun kota dan pedesaan yang beradab,” kata Presiden Xi, mengutip People’s Daily.
Kampanye Revolusi Toilet berlanjut pada 2018-2020. Bank Dunia mencatat, persentase populasi yang menggunakan setidaknya layanan sanitasi dasar di China naik menjadi 92 persen pada 2020. Sebagai perbandingan, persentase di Indonesia sebesar 86 persen.
Upaya semacam Revolusi Toilet berangsur mengikis stereotip negatif tentang toilet China. Akan tetapi, satu hal yang masih mengganjal adalah etika toilet. Menyiram toilet tampaknya masih tidak menjadi prioritas bagi sejumlah warga, bahkan di kota besar.
“Saat berada di Beijing, saya lebih sering mendapati perilaku sembrono tersebut daripada negara lain yang pernah saya kunjungi. Ini mengarah pada pertanyaan tentang kesadaran dan tanggung jawab sosial di China. Saya jadi ragu pergi ke toilet umum untuk menghindari pemandangan dan bau yang tak menyenangkan,” ujar Pranpriya.
Ketua Departemen Kajian Sosial dan Budaya Asia Pasifik di National Institute of International Strategy (NISS), Profesor Xu Liping, mengatakan, fenomena tersebut memang masih ada. Namun, secara umum etika toilet masyarakat China terus membaik.
“Penyebab fenomena tersebut adalah karena pesatnya urbanisasi karena banyak petani membanjiri perkotaan. Yang kedua adalah masalah pendidikan sebab pendidikan tentang toilet dan sanitasi belum menjadi prioritas di sekolah,” kata Xu dari Beijing.
Secara historis, toilet di desa menerapkan sistem toilet kering di mana kotoran tidak disiram dengan air. Kebiasaan itu berubah seiring kampanye Revolusi Toilet. Standar pembangunan toilet di desa mulai sama dengan perkotaan.
Namun, tak ayal kebiasaan tidak menyiram itu masih berbekas. “Sekarang toilet di kampus, kantor, dan lain-lain sudah diatur agar ada pekerja untuk membersihkannya,” tutur Xu.
Keberadaan toilet merupakan salah satu barometer peradaban suatu bangsa. Toilet bersih berkaitan dengan kesehatan publik yang pada akhirnya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Wajah China akan berseri kalau toilet kian bersih.