ASEAN Tolak Standar Ganda dan Politisasi Isu HAM
ASEAN mengedepankan dialog jujur dan terbuka untuk membahas isu-isu HAM, termasuk isu krisis Myanmar.
Jakarta, Kompas - Di tengah berbagai perbedaan, ASEAN terus mengutamakan dialog untuk mengawal kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai di bidang hak asasi manusia. Salah satunya melalui forum Dialog Hak Asasi Manusia ASEAN yang membuktikan negara-negara anggota ASEAN bisa berdialog dengan jujur dan terbuka untuk membahas isu-isu hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara.
ASEAN tidak boleh mengabaikan isu-isu hak asasi manusia (HAM). Perbedaan yang ada bukan alasan untuk mengabaikan isu-isu hak asasi manusia krusial yang terjadi di Asia Tenggara. ASEAN juga harus berkomitmen mendorong penyelesaian berbagai isu hak asasi manusia di kawasan.
Baca juga : Indonesia Tegaskan Kawasan Asia Tenggara Bebas Senjata Nuklir
Hal itu dikemukakan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN dengan Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR), Selasa (11/7/2023) di Jakarta. “Kita perlu bersatu untuk menolak standar ganda dan politisasi isu HAM. Kita perlu memproyeksikan nilai-nilai ASEAN ke tingkat global. Krisis dan rivalitas global yang terjadi memperberat tantangan bagi pemajuan isu HAM global. ASEAN perlu memberi contoh dengan memprioritaskan pendekatan konstruktif dan bukan aksi saling tuding. Indonesia siap bekerja sama mencapai upaya penting untuk pemajuan dan perlindungan HAM,” ujarnya.
Dalam pertemuan itu, Retno menyampaikan harapan agar program-program AICHR tidak terbatas pada peningkatan kapasitas saja, tetapi bisa berupa inisiatif-inisiatif lain yang memiliki dampak nyata. Pada pertemuan itu, isu Myanmar masih mendominasi pembahasan. Para perwakilan negara-negara menyoroti kekhawatiran atas meningkatnya kekerasan dan belum adanya kemajuan dalam implementasi Lima Poin Konsensus yang disepakati para pemimpin ASEAN pada April 2021 di Jakarta.
Konsensus itu meliputi penghentian kekerasan di Myanmar secepatnya, dialog para pemangku kepentingan terkait, dan penunjukan utusan khusus ASEAN untuk penyelesaian krisis Myanmar. Konsensus itu juga memandatkan pengiriman bantuan kemanusiaan ASEAN dan pertemuan utusan khusus ASEAN dengan semua pihak di Myanmar.
“Isu terkait implementasi konsensus lima poin terkait Myanmar ini akan dibahas dalam pertemuan AMM Retreat,” kata Retno. AMM Retreat akan diadakan pada Rabu besok.
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum, yang mengikuti pertemuan dengan para menlu ASEAN, menjelaskan, selain Indonesia, perwakilan AICHR dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina juga mengangkat krisis Myanmar ini. Sebagai wakil Indonesia di AICHR, pada pertemuan itu Yuyun menceritakan situasi krisis di Myanmar.
Hingga 10 Juli 2023, sedikitnya 3.770 warga sipil tewas di tangan militer dan 24.000 orang ditahan sejak kudeta pada 2021. Kini, anak-anak dan perempuan Myanmar harus hidup dalam ketakutan. ASEAN didorong untuk mencari lebih banyak cara untuk membantu rakyat Myanmar yang tidak punya banyak waktu lagi. Untuk mempercepat proses, Yuyun menyampaikan kepada Menlu Retno perlunya AICHR dilibatkan dalam pelaksanaan Lima Poin Konsensus karena konsensus itu mengambil pendekatan keamanan, politik, dan kemanusiaan.
“Tidak ada pendekatan HAM-nya. Oleh karena itu, AICHR tidak pernah dilihat sebagai salah satu bagian. Padahal AICHR bisa mendengar dari masyarakat di dalam Myanmar yang kemudian didokumentasikan sehingga bisa menjadi resmi mekanisme regional. Tetapi tidak ada respons dari para menlu pada tahun lalu. Rakyat Myanmar ingin ASEAN bisa melakukan lebih banyak cara tanpa meninggalkan Lima Poin Konsensus yang sudah ada, apakah diperkaya atau ditambah dengan cara lain,” kata Yuyun ketika ditemui di akhir pertemuan.
Baca juga : AS Dukung ASEAN Terapkan Konsensus Myanmar
Cara-cara lain yang bisa digunakan untuk membantu Myanmar, lanjut Yuyun, bisa dilakukan dengan membuka akses masuk Myanmar yang lebih luas, tidak sebatas akses bantuan kemanusiaan. Untuk saat ini akses bantuan kemanusiaan sudah dibuka, tetapi sangat terbatas dan diatur oleh junta militer Myanmar.
Jika sudah bisa rutin, akses bantuan kemanusiaan yang masuk bisa saja diperluas lagi dengan memberikan bantuan pada isu HAM. “Sekarang sedang diusahakan apabila distribusi bantuan kemanusiaan itu tidak melalui junta, tetapi bisa dari ASEAN atau memakai lembaga swadaya masyarakat setempat agar distribusinya lebih luas. Yang penting aksesnya dibuka dulu lalu nanti bisa diambil alih,” ujarnya.
Selain mengupayakan “cara lain” untuk membantu Myanmar, Yuyun mengusulkan perlunya dimasukkan elemen tambahan dalam Visi ASEAN 2025 yang memastikan tidak ada lagi kudeta di Asia Tenggara seperti yang terjadi di Myanmar. Selain itu, perlu ada ekosistem HAM selain AICHR.
Platform dialog juga harus menjadi bagian dari ekosistem itu untuk memberikan perlindungan lebih baik. Sejak 2013, ASEAN sudah memiliki ruang dialog untuk isu HAM dan efektif digunakan negara-negara anggota sebagai “ajang curhat” masalah-masalah dalam negerinya secara sukarela. Isu Myanmar juga bisa dibicarakan di forum ini, tetapi tidak bisa menyelesaikan krisis Myanmar karena masalah ini tidak bisa diselesaikan satu pihak.
“Harus dari dalam. Seperti urusan rumah tangga yang sedang berkonflik, tidak bisa tiba-tiba Pak Ketua RT yang datang menyelesaikan. Pihak yang bertiikai harus sepakat mencari jalan keluar yang memungkinkan,” kata Yuyun.
Baca juga : Isu Myanmar Belah ASEAN
Pada kesempatan terpisah, Menlu Filipina Enrique Manalo mengatakan, isu Myanmar akan kembali dibahas dalam sesi pertemuan selanjutnya dengan “cara ASEAN”. Ia mengutarakan keprihatinannya pada situasi di Myanmar dan berharap implementasi Lima Poin Konsensus diupayakan lagi untuk diimplementasikan. “Kami prihatin dengan kekerasan dan kondisi kemanusiaan di Myanmar. Tetapi memang situasinya rumit,” ujarnya.