Threads Tak Mau Jadi Ajang Ribut
Cari unggahan berita atau isu politik? Mau mengunggah hal-hal berbau politik? Bukan di Threads tempatnya. Di Threads hanya akan ada isu-isu yang ringan dan menyenangkan.
Selama tiga hari sejak platform media sosial Threads diluncurkan, puluhan juta pengunduh Threads—aplikasi berbasis teks besutan perusahaan Meta milik Mark Zuckerberg—sibuk mengutak-atik jeroannya. Mereka mencari tahu perbedaannya dengan aplikasi Twitter milik Elon Musk.
Ternyata banyak fitur berbeda. Threads tidak bisa mengirim pesan langsung, tidak ada tanda pagar atau tagar, tidak ada fitur pencarian, dan umpan balik. Apa yang dilihat pengguna juga dihasilkan oleh algoritma, bukan siapa yang diikuti. Ini terasa mengganggu karena pengguna seperti dipaksa melihat unggahan orang-orang—mayoritas selebritas dan pemengaruh—yang tidak diikuti.
Lebih celaka lagi, begitu masuk Threads, pengguna tak bisa keluar. Kalau mau menghapus Threads, otomatis akan terhapus juga akun Instagram karena keduanya saling terkait. Ini yang membuat banyak pengguna uring-uringan karena seperti dijebak. Meta berjanji akan sesegera mungkin memperbaiki segala kekurangan Threads yang kini sudah diunduh sedikitnya 81 juta akun Instagram.
Baca juga: Kita Hanya Menjadi Pasar Teknologi
Tak semuanya buruk soal Threads yang berupaya keras mencoba tak mau menjadi tiruan Twitter. Threads memiliki batasan karakter lebih banyak daripada Twitter: bisa sampai 500 karakter. Di Threads, pengguna bisa mengirim foto dan video hingga durasi maksimal lima menit. Rasanya seperti bermain di Instagram dengan lapak lebih sempit.
Ada lagi perbedaan antara Threads dan Twitter kata bos Instagram, Adam Mosseri. Threads tidak akan mendukung unggahan-unggahan berita atau isu-isu berbau politik. Threads mau, isinya ringan-ringan dan serba menyenangkan.
Sampai sejauh ini, di Threads belum ada utasan yang jelas-jelas bernada konfrontatif, agresif, rasisme, antisemitisme, transfobia, pelecehan, dan diskusi ”bebas untuk semua” yang berantakan, seperti lazim terjadi di Twitter. ”Ada banyak hal menarik lain, seperti olahraga, musik, mode, kecantikan, hiburan, desain, dan lain-lain yang bisa membuat platform dinamis tanpa perlu terlibat dalam politik atau hard news (berita keras),” kata Mosseri.
Selama beberapa tahun terakhir, Meta berusaha menjauhkan diri dari berita dan politik, termasuk mengurangi jumlah konten politik yang bisa dilihat pengguna di Facebook. Meta bahkan menghapus kata ”Berita” dari nama Facebook Feed, tahun lalu.
Meta juga menarik semua berita terkait Kanada dari Facebook dan Instagram di Kanada gara-gara peraturan baru Kanada yang mengharuskan Meta membayar berita-berita lokal yang muncul di kedua platform itu. Meta menganggap unggahan berita dan politik tidak sepadan dengan pengawasan, kenegatifan, atau risikonya.
Tak ulangi kesalahan
“Berita dan politik tidak bisa dicegah. Pasti akan ada. Threads tidak akan menurunkan atau membatasi, tetapi kami tidak akan ’mengadu’ mereka, seperti yang terjadi pada Facebook di awal 2010-an. Kesalahan dulu tidak akan diulangi,” kata Mosseri.
Lihat juga video: Threads Akses Data Pribadi Penggunanya Termasuk Informasi Keuangan
Namun, hanya dalam beberapa jam setelah diluncurkan, ada juga unggahan aneh-aneh di Threads, seperti unggahan dari kelompok rahasia Illuminati dan “miliarder pemuja setan”. Bahkan, ada pengguna yang membandingkan satu sama lain dengan Nazi dan meributkan segala hal mulai dari identitas jender hingga kekerasan di Tepi Barat.
Belum lagi jika nanti memasuki musim pemilu. Berita-berita dan isu-isu terkait politik akan sulit dibendung. Zuckerberg dan Mosseri sama-sama menegaskan, Threads sebenarnya hadir bukan untuk menggantikan Twitter. Namun, lebih menjadi area publik bagi komunitas di Instagram yang tidak pernah bermain di jagat Twitter dan bagi komunitas di Twitter dan platform lain yang menginginkan tempat publik yang tak terlalu serius, lebih damai, dan tidak memancing emosi dan amarah hingga ribut berkelahi hanya gara-gara perbedaan pendapat dan ideologi. Meta mengunci pengguna Threads dengan aturan yang sama dengan di Instagram.
Sejak 2016, Meta menginvestasikan lebih dari 16 miliar dollar AS atau Rp 243 triliun khusus untuk membangun tim dan teknologi yang dibutuhkan untuk melindungi pengguna platformnya. Salah satu fitur keamanan di Threads yang ditransfer dari Instagram adalah menyaring balasan yang berisi kata-kata tertentu. Akun apa pun yang diblokir di Instagram akan diblokir secara otomatis di Threads.
“Kami ingin membuat tempat yang ramah dan aman bagi wacana publik daring. Ini salah satu alasan kenapa Twitter tidak bisa sesukses, seperti yang seharusnya. Kami ingin melakukannya secara berbeda,” kata Zuckerberg, Rabu lalu.
Kebangkitan
Threads menjadi harapan bagi Meta untuk bangkit lagi sekaligus menjadi taruhan besarnya setelah belakangan ini terbelit dengan urusan pemberhentian 20.000 karyawan, proyek metaverse yang tak kunjung jadi, dan aktivitas pengguna yang menurun. Meta juga ingin bersaing dengan platform lain, seperti Youtube dan Tiktok, yang lebih digemari anak muda. Belum lagi harus menghadapi banyak penyelidikan dari Kongres AS terkait privasi data.
Meta juga akan kehilangan miliaran dollar AS karena ada perubahan kebijakan App Store milik Apple yang menekankan privasi. Kebijakan App Store juga memangkas model bisnis utama Meta yang melacak perilaku pengguna demi kepentingan penjualan iklan. Untuk bisa bangkit lagi, Meta butuh sesuatu yang berbeda meski platform yang dibuatnya tidak benar-benar orisinal.
Harian The Guardian, 6 Juli 2023, menyebutkan, ini bukan kali pertama Meta membuat platform yang mirip-mirip dengan platform lain, tetapi banyak yang kemudian mati. Ada saja fitur yang “dipinjam” dari pesaing, seperti Snapchat (fitur cerita Instagram) dan Tiktok (video bentuk pendek Reels).
Menurut Guru Besar Media Digital di Universitas Heinz Carnegie Mellon, Ari Lightman, Threads memiliki potensi untuk menjadi platform Meta yang paling sukses dalam meniru teknologi populer yang ada. Jika mereka berhasil, investor dan pengiklan bisa jadi akan berduyun-duyun datang. Apalagi, ada sekitar 500 pengiklan yang sudah meninggalkan Twitter sejak Musk mengambil alih Twitter.
Untuk sementara ini, belum ada iklan yang lalu lalang di Threads. Zuckerberg masih mencari jalan untuk menjajagi monetisasi setelah mencapai 1 miliar pengguna. “Jika mereka melakukannya dengan benar, menggabungkan semua aspek platform yang sukses dan memanfaatkan beberapa volatilitas di Twitter, mereka bisa jadi yang terbaik,” ujar Lightman.
Baca juga: Desentralisasi: Masa Depan Media Sosial?
Keberhasilan Threads nanti akan bergantung apakah Threads bisa menemukan tempatnya sendiri dalam budaya online, menjembatani Twitter yang bebas bergerak dan berfokus pada teks dengan dunia Instagram yang lebih indah dan berpusat pada foto. Asisten profesor Studi Komunikasi di Cornell University, Drew Margolin, menilai daya tarik Twitter tidak terletak pada fungsionalitasnya yang sudah ditiru Threads, tetapi pada jaringan dan budayanya.
“Saya tidak yakin bagaimana Meta bisa membuat seperti itu. Meta harus bisa menciptakan kesan bahwa Threads adalah tempat di mana orang bisa didengarkan dan pendapat mereka memang penting,” ujar Margolin.
Jika Threads akan sama saja dengan platform lain, apalagi dengan Twitter, bisa jadi para pengguna akan merasa bosan dan meninggalkan Threads. Apalagi, pengguna memiliki banyak pilihan media sosial lain yang dianggap lebih menarik.
Harian The Washington Post, Jumat (7/7/2023), menyebutkan, banyak pengguna media sosial yang merasa lelah dengan “serangan platform baru” yang seakan tak ada habisnya sejak Friendster, Hi5, dan MySpace pada akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an.
Guru Besar Analisis Media di University of Texas, Austin, AS, Laura Bright, mengatakan, pada lima tahun lalu, kelelahan bermedia sosial itu berarti terlalu banyak konten yang diberikan kepada pengguna. “Sekarang, kelelahan itu didefinisikan sebagai kewalahan oleh banyaknya aplikasi dan konten yang ditawarkan media sosial. Lebih dari 70 persen warga AS memakai media sosial dan kebanyakan mereka adalah anak muda. Rata-rata pengguna memiliki enam platform berbeda,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Politik di University of Illinois, AS, Zizi Papacharissi, menjelaskan, pengalaman bermedia sosial selama bertahun-tahun telah meningkatkan ekspektasi pengguna terhadap aplikasi tertentu. Ketika aplikasi itu sama saja dengan aplikasi lain atau bahkan meniru persis aplikasi lain tanpa ada kebaruan atau sesuatu yang menarik, pengguna akan merasa kecewa dan lelah.
“Capek juga kalau orang harus membuat profil baru setiap kali mendaftar aplikasi baru. Belum lagi harus mengundang teman-temannya untuk mengikutinya di aplikasi itu,” ujar Papacharissi.
Baca juga: Threads Terbang Tinggi, Twitter Layangkan Gugatan
Bright mengimbau pengguna media sosial untuk mengkritisi setiap platform agar tidak lelah dengan aplikasi. Platform media sosial pasti akan terus bertambah. Jika ada platform yang bisa membuat senang dan nyaman tanpa beban, pertahankan. Jika sebuah platform sudah dirasa membuat tidak enak, tinggalkan dan cari platform lain yang lebih pas.
“Pastikan Anda yang memanfaatkan platform itu. Bukan platform itu yang memanfaatkan Anda,” ujar Bright. (REUTERS/AFP/AP)