Dua partai oposisi terbesar, MFP dan Pheu Thai, mencapai kompromi dengan mencalonkan Wan Muhamad Noor Matha sebagai Ketua DPR. Tapi, hal itu belum cukup membuktikan soliditas aliansi partai oposisi.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
BANGKOK, SELASA — Aliansi partai oposisi Thailand bisa bernapas lega setelah Partai Pheu Thai dan Partai Bergerak Maju mencapai kata sepakat soal sosok yang mereka setujui untuk memimpin Dewan Perwakilan Rakyat atau Move Forward Party (MFP). Adalah Wan Muhammad Noor Matha (79), politisi senior dari Partai Prachachart, yang akhirnya disepakati sebagai Ketua DPR oleh aliansi delapan partai oposisi Thailand.
Pencalonan Wan Muhamad Noor Matha secara luas dipandang sebagai kompromi antara mitra MFP dan Pheu Thai setelah selama beberapa pekan terakhir menghadapi kebuntuan untuk menentukan siapa wakil aliansi untuk menjabat sebagai Ketua DPR. Dengan kesepakatan ini, MFP dan Pheu Thai, masing-masing akan menempatkan orang-orangnya sebagai wakil ketua DPR.
"Saya akan menjalankan tugas dengan adil, transparansi dalam mempertimbangkan rancangan undang-undang dan petisi untuk memperbaiki kehidupan semua warga Thailand," kata Wan Noor, Selasa (4/7/2023), saat diambil sumpahnya sebagai Ketua DPR di Bangkok.
Selama beberapa pekan terakhir, MFP dan Pheu Thai, yang memperoleh dukungan terbesar dari para pemilih pada pemilu lalu, bersikeras bahwa masing-masing berhak untuk menjabat sebagai Ketua DPR. Posisi ini sangat strategis, terutama karena jabatan ini nantinya akan memimpin lembaga legislatif pembuat undang-undang.
Sejumlah analis sempat menilai bahwa Pheu Thai dan MFP bisa berkompromi di tengah gencarnya upaya dari partai promiliter untuk mengadang pemimpin MFP, Pita Limjaroenrat, agar tidak berhasil menduduki jabatan sebagai perdana menteri. Beberapa gugatan dinilai bisa membekukan peluang Pita untuk memimpin Thailand selama lima tahun mendatang.
Akan tetapi, yang terjadi sebaliknya. MFP dan Pheu Thai berkeras bahwa mereka berhak mendapatkan posisi sebagai Ketua DPR. MFP semula menginginkan Phitsanulok Padiphat Santipada untuk menduduki jabatan sebagai Ketua DPR. Sedangkan Pheu Thai menjagokan Suchart Tancharoen, politisi senior yang mendapat banyak dukungan di wilayah timur laut Thailand.
Selain itu, Pheu Thai bersikeras untuk menduduki jabatan tersebut karena MFP sudah mendapatkan posisi sebagai perdana menteri.
Peran Thaksin
Analis politik meyakini bahwa kebuntuan antara Pheu Thai dan MFP salah satunya diselesaikan oleh mantan PM Thaksin Shinawatra. Thaksin melalui putrinya, Paengtongtarn Shinawatra, meminta agar kedua partai mencari sosok alternatif untuk menjembatani perselisihan mereka. Analis juga meyakini bahwa ini adalah jalan tengah agar Thaksin bisa segera kembali dari pengasingannya ke Thailand.
Pita, kandidat kuat calon perdana menteri Thailand, mengharapkan kesepakatan antara partainya dan Partai Pheu Thai akan menjadi awal kerja sama yang lebih baik sesuai dengan amanat rakyat hasil pemilihan 14 Mei kemarin. Kesepakatan ini juga dinilainya akan membantu aliansi partai oposisi untuk membentuk pemerintahan yang lebih baik.
"Keputusan ini bukan tentang saya atau partai, tapi misi memulihkan demokrasi. Dalam ketidakpastian politik Thailand, prinsip lebih penting daripada kepribadian,” tulis Pita di laman Facebook partai.
Sementara itu, Wakil Ketua Partai Pheu Thai Phumtham Wechayachai mengatakan kedua partai memilih Wan Noor sebagai ketua DPR sebagai solusi untuk mengakhiri perselisihan mereka.
“Yang lebih penting dari mengamankan kursi Ketua DPR adalah kerja sama untuk mengarahkan pemerintahan yang demokratis agar sesuai dengan harapan rakyat,” katanya.
Wan Noor bukanlah wajah baru dalam politik Thailand. Dalam catatan sejumlah media Thailand, dia pernah sembilan kali terpilih sebagai anggota DPR dan bahkan sempat menduduki kursi Ketua DPR periode 1996-2000. Saat itu dia mewakili Partai Aspirasi Baru. Sempat beberapa kali berganti partai, termasuk Partai Thai Rak Thai, kini dia memimpin Partai Prachachart.
Tugas pertama Wan Noor sebagai Ketua DPR adalah mengajukan pemungutan suara bersama antara DPR dan 250 orang Senator untuk memilih perdana menteri Thailand. ALiansi parpol oposisi hinga saat ini masih membutuhkan setidaknya 64 suara tambahan untuk bisa menggolkan Pita, yang mendulang suara terbanyak pada pemilu lalu, sebagai perdana menteri Thailand.
Analis menyebut, fakta bahwa MFP tidak mampu membuat partai koalisi mendukung calon ketuanya sendiri tidak ideal untuk prospek Pita menduduki jabatan puncak sebagai PM Thailand.
“Tidak ada jaminan bahwa pemimpin MFP bisa menjadi PM. Itu (kesepakatan penjabat Ketua DPR) hanya menghentikan konflik saat ini," kata analis politik Universitas Mahidol Punchada Sirivunnabood kepada AFP.
Ilmuwan politik Universitas Ubon Ratchathani Titipol Phakdeewanich mencatat bahwa pemilihan perdana menteri dapat dilakukan melalui beberapa putaran, dan Ketua DPR memiliki peran penting dalam mengajukan nama. “Itu sebabnya mereka (MFP) sangat menginginkan posisi ketua DPR, untuk memastikan nama (Pita) tetap dicalonkan," kata Titipol.
Dia juga menilai, hasil kompromistis antara MFP dan Pheu Thai bisa diartikan bahwa pencalonan Pita nantinya akan menghadapi banyak perlawanan. Apalagi, MFP dipandang mengusung agenda yang sangat liberal.
"Partai dipandang sebagai musuh oleh banyak kaum konservatif," kata Titipol, seraya menambahkan nasib Pita berada di tangan para Senator yang ditunjuk militer.
Yang menjadi tanda tanya bagi Titipol adalah apakah soliditas partai koalisi akan tetap seperti sekarang ini apalagi setelah Pheu Thai dan MFP berseteru. "Apa yang tidak kami ketahui adalah apakah Pheu Thai akan pindah pihak jika pemungutan suara awal untuk Pita gagal,” katanya. (AFP/Reuters)