Perilaku polisi agresif yang menyebabkan kematian Nahel Merzouk (17) mencerminkan masalah yang lebih kompleks di masyarakat Perancis. Ini kisah suram tentang jurang pemisah antara si Kaya dan si Miskin.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Kemarahan, kebencian, dan kesedihan. Itu pesan kuat dari kerusuhan di Perancis yang sudah masuk ke hari kelima. Rasa frustrasi yang mengakar di “warga terpinggirkan”, terutama anak muda, di Perancis meluap menjadi aksi penjarahan dan vandalisme. Ibukota Paris dan Marseille, kota tertua di Perancis, menjadi kota korban terparah. Apalagi di Marseille yang merupakan tempat berkumpulnya imigran beragam negara, terutama imigran yang lari dari kerusuhan politik, konflik, dan kemiskinan di tempat tinggal asal mereka.
Pada akhir abad ke-19, gelombang migrasi Italia dan Yunani mulai masuk ke Marseille yang waktu itu 40 persen populasinya dari Italia pada tahun 1950-an. Mulai abad ke-20, populasi Perancis semakin beragam dengan imigran kelahiran Aljazair, Maroko, Portugal, Tunisia, Turki, dan Spanyol.
Kematian Nahel Merzouk (17), remaja dari keluarga imigran asal Aljazair, yang ditembak polisi di lampu merah kembali menggores luka lama dan mendalam seperti rasa frustrasi pada kemiskinan, pengangguran, perlakuan tidak adil, rasisme, segregasi, dan kemarahan pada sistem. Ledakan kemarahan anak-anak muda “generasi blasteran” -yang memiliki latar belakang keluarga imigran tetapi lahir dan tumbuh berkembang dalam sistem Perancis- tidak terbendung dan merembet lebih cepat gara-gara media sosial.
Keluarga Nahel pun tidak menduga kematian Nahel berbuntut sangat panjang. Nadia, nenek Nahel, meminta kerusuhan dihentikan karena ia merasa kematian cucunya ini sudah dimanfaatkan sebagai alasan untuk berbuat rusuh. Ini sudah bukan tentang Nahel lagi.
“Saya minta berhenti rusuh. Jangan memecahkan jendela. Jangan merusak bus dan sekolah. Kami ingin ketenangan. Nahel sudah meninggal. Putri saya hanya punya satu anak dan sekarang sudah tiada. Hidup putri saya sudah berakhir. Polisi-polisi itu membuatku kehilangan anak dan cucu saya,” kata Nadia, Minggu (2/7/2023).
Permintaan Nadia seperti terbawa angin, tak ada yang mendengar. Kerusuhan tetap terjadi. Sedikitnya 45.000 polisi dikerahkan lagi, Minggu malam, untuk menangani para perusuh yang membakar mobil, menjarah toko, dan menyerang balai kota serta kantor polisi. Rumah Walikota L'Hay-les-Roses yang konservatif, Vincent Jeanbrun, juga ditabrak mobil yang dibakar. Istri dan anak-anaknya diserang dengan kembang api ketika sedang melarikan diri. Ada 719 orang yang ditangkap polisi setelah Nahel dimakamkan,
Sabtu lalu. Presiden Perancis, Emmanuel Macron, menunda kunjungan kenegaraan ke Jerman untuk menangani krisis ini. Ia dijadwalkan bertemu parlemen pada hari ini dan 220 walikota yang terdampak kerusuhan, Selasa.
Kerusuhan kali ini menjadi krisis terburuk bagi Macron sejak protes “Rompi Kuning” mencengkeram sebagian besar wilayah Perancis pada akhir 2018. China dan negara-negara di Barat sudah memperingatkan warga masing-masing untuk mewaspadai kerusuhan. Konsulat China mengajuan aduan resmi setelah ada bus yang membawa rombongan wisawatan China yang dirusak kacanya oleh para perusuh. Ini akan menjadi masalah lain yang musti dihadapi Macron di musim puncak pariwisata musim panas tahun ini. Belum lagi urusan Perancis yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade 2024.
Macron menyalahkan media sosial karena memperparah kerusuhan dan kekerasan dimana-mana. Anak-anak muda yang membagikan seruan untuk melakukan kekerasan melalui Snapchat atau aplikasi lain sudah diancam akan menghadapi tuntutan hukum.
Macron mendesak semua orang tua untuk ikut bertanggung jawab atas tindakan para perusuh yang berada di bawah umur. Sepertiga dari para perusuh berusia muda atau sangat muda. Menteri Dalam Negeri Perancis, Gerald Darmanin, mengatakan usia rata-rata mereka yang sudah ditangkap polisi gara-gara ikut rusuh ada di usia 17 tahun.
Pengerahan polisi secara besar-besaran disambut baik oleh masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang menjadi sasaran serangan para perusuh. Sebaliknya, banyaknya aparat kepolisian di jalanan justru membuat warga semakin frustrasi dan terpancing emosinya, apalagi karena awal dari kerusuhan kali ini adalah perilaku polisi yang diduga sewenang-wenang terhadap Nahel. Polisi yang terlibat sudah meminta maaf dan mengaku melepaskan tembakan mematikan itu karena hanya ingin menghentikan Nahel yang mau melarikan diri dari polisi. Pengacara si polisi itu, Laurent-Franck Lienard, menyatakan kliennya tidak berniat membunuh Nahel.
Kematian Nahel juga memicu keluhan lama dari kelompok hak asasi manusia dan warga ras campuran pinggiran kota yang berpenghasilan rendah tentang diskriminasi, kekerasan polisi, dan rasisme sistemik di dalam lembaga penegak hukum.
“Anak muda menganggap mereka sedang berperang. Mereka melihatnya sebagai perang melawan sistem. Ini bukan hanya melawan polisi, tetapi menyerang sistem pemerintah karena mereka melihat sistemnya tidak berfungsi. Anak muda merasa didiskriminasi dan diabaikan,” kata Kendra (40), warga perkebunan Pablo Picasso di pinggiran Nanterre, Paris, kepada harian the Guardian.
Kegagalan kelas politik Prancis untuk mengatasi masalah ini adalah salah satu alasan mengapa banyak anak muda, terutama dari keluarga imigran dan “kulit berwarna” berperang melawan sistem. Kerusuhan kali ini kembali membuktikan adanya jurang pemisah yang terus melebar yang memisahkan Perancis antara si kaya dan si miskin.
Kemiskinan, perkebunan pinggiran kota yang mirip ghetto, pengangguran, peluang hidup terbatas, dan keterasingan sosial adalah masalah yang dihadapi anak muda tidak hanya di Perancis tetapi juga di banyak negara. Ketika rasisme institusional yang kronis dan tidak tertangani dalam sistem peradilan, dalam struktur negara dan masyarakat pada umumnya ditambahkan ke dalam campuran yang mudah berubah ini, tidak heran ledakan yang tidak terkendali terjadi. Apa yang terjadi di Perancis adalah peringatan bagi dunia.
“Tahun 1983 pernah ada pawai kesetaraan dan melawan rasisme yang terkenal di Perancis. Tetapi sampai sekarang sama saja. Rasisme makin buruk. Kemiskinan makin parah gara-gara pandemi, inflasi, dan kenaikan biaya energi. Diskriminasi merajalela, tidak ada kesempatan yang sama. Tidak ada harapan. Orang-orang tidak punya harapan untuk bisa lolos dari stigmatisasi tempat tinggal dan warna kulit mereka,” kata Guermiti yang telah tinggal di sebuah perkebunan di daerah Borny selama 31 tahun itu. (REUTERS/AFP/AP)