Indonesia Jajaki Aliansi Bahan Baku Kendaraan Listrik dengan Australia
Kedekatan Indonesia-Australia seharusnya dicerminkan pada kemudahan pengurusan visa Australia bagi WNI. Indonesia juga mengajak Australia membentuk aliansi produsen nikel dan litium.
Oleh
KRIS MADA, MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
SYDNEY, SENIN — Presiden Joko Widodo memulai kunjungan kenegaraan di Australia, Senin (3/7/2023). Aliansi Indonesia-Australia untuk bahan baku baterai wahana listrik, pelonggaran visa bagi warga Indonesia, dan kerja sama perdagangan akan menjadi pembahasan dalam kunjungan itu.
Presiden dan rombongan bertolak dari Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, menggunakan pesawat kepresidenan Indonesia-1, kemarin siang. Turut dalam penerbangan itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, serta Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi tiba lebih dulu di Australia, Minggu.
Gubernur Jenderal Australia David Hurley dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese dijadwalkan menerima Presiden, Selasa. Presiden juga menggelar pertemuan dengan sejumlah pemimpin perusahaan di Australia yang telah dan akan berinvestasi di Indonesia. Dari Australia, Presiden melanjutkan lawatan ke Papua Niugini.
Sejumlah media Australia, seperti ABC, Sydney Morning Herald, The Age, dan The Australian Financial Review, melaporkan, beberapa isu akan dibahas selama kunjungan sampai Rabu. Presiden Jokowi dan PM Albanese, antara lain, membahas kerja sama pertahanan dan keamanan. Namun, diperkirakan tidak akan ada kesepakatan baru antara Indonesia dan Australia pada sektor itu. Militer Indonesia-Australia rutin ikut berbagai latihan perang bersama.
”Sejumlah agenda prioritas yang akan dibahas di Australia utamanya investasi, perdagangan, karena ada kenaikan perdagangan dan investasi yang cukup drastis dari Australia, kemudian di bidang kesehatan dan transisi energi, serta peningkatan SDM,” kata Presiden dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Pertemuan Presiden Jokowi dan PM Albanese akan menjadi pertemuan keempat mereka. Albanese berkunjung ke Indonesia, Juni 2022, dalam lawatan luar negeri pertamanya setelah menjabat PM. Saat itu, ia diajak Presiden Jokowi bersepeda dengan sepeda bambu di sekitar Kebun Raya Bogor, Jawa Barat.
Hubungan RI-Australia sempat menegang saat Australia menggalang aliansi militer dengan Amerika Serikat dan Inggris (AUKUS), September 2021.
PM Albanese menyebut, keamanan kawasan menjadi topik pembicaraan dengan Presiden Jokowi. ”Sebagai salah satu tetangga terdekat, Australia sedang membangun kerja sama yang luas dengan Indonesia di bidang iklim, pembangunan ekonomi, pendidikan, dan keamanan regional,” ujarnya.
Isu visa ke Australia
Sydney Morning Herald menyebut, salah satu hambatan hubungan Jakarta-Canberra adalah kerumitan pengurusan visa Australia bagi warga Indonesia. Pemerintah Australia dilaporkan mempertimbangkan untuk melonggarkan prosedur pengurusan itu.
Meski tetap ada pemeriksaan latar belakang, pengurusan visa Australia bagi WNI disebut akan lebih mudah. Presiden Jokowi menyebut, kedekatan RI-Australia seharusnya dicerminkan pada kemudahan pengurusan visa Australia bagi WNI.
Sydney Morning Herald menyebut, salah satu hambatan hubungan Jakarta-Canberra adalah kerumitan pengurusan visa Australia bagi warga Indonesia.
Selama ini warga Australia bisa berkunjung ke Indonesia dengan mengajukan permohonan visa turis lewat visa on arrival. Namun, warga Indonesia untuk memperoleh visa ke Australia harus mengisi formulir yang panjang dengan biaya 140 dollar Australia (sekitar Rp 1,4 juta) plus bukti pemeriksaan medis dan penghasilan.
Cadangan nikel
Peneliti Centre for Policy Development, Andrew Hudson, mengatakan, Indonesia bukan hanya tetangga terdekat Australia. Indonesia juga menjadi salah satu perekonomian terbesar global. ”Lebih besar daripada Jerman atau Inggris yang termasuk mitra dagang penting (Australia). Indonesia bukan mitra dagang utama Australia,” katanya kepada ABC.
Salah satu isu yang bisa digarap oleh Indonesia-Australia adalah bahan baku baterai. ”Indonesia-Australia sama-sama memiliki nikel. Walakin, Australia memiliki litium dan baterai tidak bisa dibuat tanpa litium,” kata Hudson.
Hingga 42 persen cadangan terbukti nikel global ada di Indonesia-Australia. Brasil memiliki 16 persen cadangan global. Sisanya dimiliki negara-negara lain. ”Australia-Indonesia tidak hanya punya cadangan mineral penting ini, keduanya juga berkomitmen serius dan ini benar-benar peluang,” kata Jennifer Mathews, Presiden Dewan Bisnis Australia-Indonesia.
Sejak 2023, Indonesia menggagas pembentukan organisasi negara pemilik cadangan utama nikel. Sampai kini belum ada negara yang setuju dengan gagasan itu. ”Di atas kertas, Indonesia-Australia bisa mengontrol harga nikel global jika mereka serius bergabung,” kata Hudson.
Kini, Australia memasok hingga 53 persen litium global. Masalahnya, kebanyakan nikel Indonesia dan litium Australia dibawa ke China. Kini, China menjadi pemimpin global dalam litium olahan.
”China tidak hanya memimpin pasar litium dan baterai yang merupakan perangkat penting kendaraan listrik. China juga merajai hampir seluruh lini rantai pasok produksi kendaraan listrik. Perusahaan China menguasai nikel Indonesia, pemain penting di basis produksi Asia Tenggara yang berada di Thailand,” kata Marina Zhang, peneliti kajian China pada University of Technology Sydney.
Butuh waktu lama dan investasi besar bagi negara lain yang ingin menyaingi China dalam produksi kendaraan listrik atau sekadar baterai sekalipun. Hal lain, pengolahan nikel dan litium membawa dampak negatif besar pada lingkungan. Penggunaan asam dalam jumlah besar bisa merusak lingkungan. ”Apakah Australia bisa menanggung itu,” kata Zhang yang juga peneliti industri kendaraan listrik itu.