Tangani Kerusuhan, Perancis Kerahkan 40.000 Polisi
Kerusuhan masih terjadi di berbagai kota di Perancis. Untuk memadamkan kerusuhan, 40.000 polisi dikerahkan.
NANTERRE, KAMIS —Kerusuhan akibat polisi menembak Nahel, remaja berusia 17 tahun keturunan Aljazair dan Maroko, hingga tewas memasuki hari ketiga. Pemerintah Perancis memobilisasi 40.000 polisi di seluruh negeri untuk mencegah meluasnya kerusuhan. Jumlah ini naik empat kali lipat dari yang sebelumnya 9.000 polisi. Untuk wilayah ibu kota Paris saja, polisi ditambah dua kali lipat menjadi 5.000 personel.
Polisi yang menembak Nahel di perhentian lampu merah sudah dijatuhi dakwaan awal pembunuhan tidak disengaja dan sudah meminta maaf. Akan tetapi, massa tetap turun ke jalan. Bentrokan antara aparat kepolisian dan massa tidak terelakkan. Mobil-mobil dan sampah dibakar, polisi terluka, dan sedikitnya 100 bangunan dirusak.
”Tindakan ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Penembakan itu tidak bisa dimaafkan,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kamis (29/6/2023).
Baca juga : Polisi Tembak Remaja, Perancis Rusuh
Menteri Dalam Negeri Perancis Gerald Darmanin menegaskan, meski belum mengumumkan kondisi darurat, pemerintah akan tetap mengambil tindakan tegas untuk memadamkan kerusuhan serta mengusir provokator dan orang-orang ”profesional pengganggu ketertiban dan keamanan”.
Di Nanterre, kota kelas pekerja di pinggiran Paris tempat tinggal Nahel, pengunjuk rasa membakar mobil, membarikade jalan, dan melemparkan proyektil ke polisi setelah aksi damai. Para pengunjuk rasa menuliskan ”Keadilan untuk Nahel” di gedung-gedung dan halte bus. Di kota Pau, Pyrenees, yang biasanya tenang, pun rusuh. Bom molotov dilempar ke kantor polisi baru.
Kendaraan dibakar di Toulouse dan kereta trem dibakar di pinggiran kota Lyon. Di Marseille, kota pelabuhan di selatan Perancis, juga rusuh sejak Kamis. Ratusan anak muda berkeliaran di pusat kota dan membakar kontainer sampah, termasuk di depan gedung pemerintahan Marseille.
Sampai sejauh ini kepolisian sudah menangkap 180 orang yang diduga ikut berbuat rusuh. Layanan bus dan trem di wilayah Paris ditutup sebagai tindakan pencegahan untuk melindungi pekerja transportasi dan penumpang. Baru kota Clamart yang berpenduduk 54.000 orang yang sudah mengambil keputusan untuk memberlakukan jam malam sejak Kamis hingga Sabtu untuk mengantisipasi risiko gangguan ketertiban umum.
”Saya tidak mau melawan lembaga kepolisian atau semua polisi. Saya hanya meminta pertanggungjawaban satu orang, polisi yang membunuh anak saya. Dia seharusnya tidak membunuh anak saya,” kata ibu Nahel, Mounia.
Baca juga : Perancis Waspadai Kerusuhan di Pinggiran Paris
Keluarga Nahel dan pengacaranya tidak mengatakan penembakan polisi itu terkait dengan ras. Mereka juga tidak menyebutkan nama belakang Nahel atau informasi identitas yang rinci tentang Nahel. Tetap saja, kematian Nahel langsung memicu kerusuhan di daerah-daerah yang banyak dihuni imigran dari negara-negara bekas koloni Perancis.
Anak-anak muda dari keluarga imigran tetapi lahir di Perancis kerap mengeluh mereka lebih sering diperiksa dan dilecehkan oleh polisi ketimbang warga kulit putih atau mereka yang tinggal di kawasan permukiman yang lebih baik. ”Petugas polisi seharusnya memperlakukan setiap orang sama. Jangan hanya meneriaki mereka yang berkulit hitam atau Arab,” kata Dominique Sopo, ketua kelompok kampanye SOS Racism.
Pascal Prache, jaksa penuntut Nanterre, menyatakan, polisi berusaha menghentikan Nahel karena ia terlihat sangat muda dan mengendarai mobil mewah Mercedes AMG dengan pelat nomor Polandia di jalur bus, Selasa pagi. Nahel disebutkan menerobos lampu merah supaya tidak dihentikan polisi, tetapi tak berhasil karena kondisi lalu lintas memang sedang macet.
Kedua polisi yang menghentikan Nahel itu mengaku mereka menarik senjata mereka hanya untuk mencegah agar Nahel tidak melarikan diri. Polisi yang melepaskan satu tembakan mengaku takut dia dan rekannya atau orang lain tertabrak mobil yang dikendarai Nahel. Mereka mengaku merasa terancam saat Nahel hendak kabur.
Nahel meninggal di tempat akibat satu tembakan di dada kiri. Kedua polisi itu masih dalam penahanan sementara dan nama mereka tidak dirilis. Kedua polisi itu dijatuhi dakwaan awal karena kasus ini masih akan diselidiki sebelum dikirim ke pengadilan. ”Jaksa penuntut umum menganggap syarat hukum penggunaan senjata belum terpenuhi,” kata Prache.
Pengacara kedua polisi itu, Laurent-Franck Lienard, mengatakan, kliennya sudah mengarahkan senjatanya ke bawah ke arah kaki pengemudi tetapi terbentur sehingga tembakan malah ke arah dadanya. ”Pengemudi itu harus dihentikan dan jelas polisi tidak bermaksud membunuh pengemudi,” ujarnya.
Baca juga : Aksi untuk Floyd di Berbagai Negara, Atas Dasar Sama Rasa Sama Derita
Kerusuhan setelah penembakan Nahel ini mengingatkan akan kerusuhan yang pernah terjadi pada 2005. Pada waktu itu, kerusuhan yang berlangsung selama tiga minggu itu berawal dari kematian Bouna Traore (15) dan Zyed Benna (17). Kedua remaja laki-laki itu tersengat listrik ketika sedang bersembunyi dari polisi di gardu listrik di Clichy-sous-Bois, pinggiran Paris.
Peristiwa itu memicu kerusuhan nasional dan memaksa Presiden Jacques Chirac untuk menyatakan keadaan darurat. Dua polisi yang terlibat pada waktu itu dibebaskan setelah persidangan 10 tahun kemudian. Peristiwa ini memperlihatkan kemarahan dan kebencian masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman yang terabaikan dan miskin.
Kerusuhan yang terjadi kali ini menyebar jauh lebih cepat ketimbang peristiwa tahun 2005. Penembakan Nahel langsung memicu kerusuhan dan makin dipercepat oleh media sosial. Rekaman video penembakan yang disebarkan secara daring menunjukkan dua polisi sedang bersandar di jendela sisi pengemudi mobil berwarna kuning. Mobil itu kemudian terlihat menjauh dan polisi menembak ke arah jendela. Mobil itu kemudian menabrak pos di dekatnya.
Penggunaan senjata api yang mematikan lebih jarang terjadi di Perancis daripada di Amerika Serikat. Meski demikian, beberapa orang meninggal atau menderita luka-luka di tangan polisi Perancis dalam beberapa tahun terakhir. Seorang juru bicara polisi mengatakan, 13 orang yang tidak mematuhi perhentian lalu lintas ditembak mati oleh polisi pada tahun 2022.
Menurut penghitungan kantor berita Reuters, ada tiga pembunuhan serupa kasus Nahel yang terjadi pada tahun 2020 dan 2021 dan mayoritas korbannya orang kulit hitam atau keturunan Arab. Pada tahun ini, tiga orang termasuk Nahel, meninggal dalam keadaan yang sama.
Insiden ini juga memicu kembali keluhan lama tentang kekerasan polisi dan rasisme sistemik di dalam lembaga penegak hukum. Persoalan ini kerap disampaikan kelompok hak asasi manusia dan masyarakat yang tinggal di pinggiran kota berpenghasilan rendah dengan campuran ras yang mengelilingi kota-kota besar di Perancis. ”Kesabaran masyarakat menipis. Ketidakadilan seperti ini sudah berkali-kali kami alami,” kata anggota Dewan Lokal di Blanc Mesnil, Karima Khartim.
Baca juga : Reformasi Kepolisian AS Belum Berhasil
Pakar studi Perancis di Universitas Westminster, Itay Lotem, kepada Sky News, mengatakan, publik sudah tidak percaya terhadap pemerintah dan lembaga pemerintah seperti kepolisian. Apalagi setelah Perancis memberlakukan undang-undang tahun 2017 yang disahkan menyusul serangan teror di Paris pada 2015. UU itu memberi polisi wewenang lebih besar untuk menggunakan kekerasan—bahkan mematikan—dalam menghadapi ancaman.
Perkara lain pada kasus kerusuhan di Perancis adalah karena adanya kesenjangan sosial dan ekonomi di daerah-daerah yang dihuni imigran dengan pemukiman lain di perkotaan. Jika melihat sejarahnya, kata Lotem merupakan permukiman yang dihuni imigran setelah Perang Dunia II. Ketika itu Pemerintah Perancis mulai menyediakan permukiman sosial secara massal. Ini mengakibatkan ribuan blok menara dibangun di kota-kota pinggiran di Perancis antara tahun 1945 dan 1975.
Permukiman-permukiman itu awalnya dirancang untuk keluarga dari kelas menengah ke bawah dan pekerja. Akan tetapi, pada tahun 1970-an, di tengah tingginya pengangguran dan ketegangan rasial setelah perang Aljazair dan berakhirnya kolonialisme Perancis, permukiman-permukiman itu banyak ditempati masyarakat imigran berpenghasilan rendah. Karena kekurangan dana dari pemerintah untuk perawatan dan prospek pekerjaan yang kurang baik, permukiman ini kerap dicap sebagai tempat ”bermasalah atau berisiko tinggi”.
Kerusuhan di permukiman seperti ini pertama kali terjadi pada 1979 di pinggiran kota Lyon di Vaulx-en-Velin. Pada waktu itu, kerusuhan terjadi setelah seorang remaja keturunan Afrika Utara ditangkap. (REUTERS/AFP/AP)