Kerusuhan Belum Mereda, Kota-kota di Perancis Berlakukan Jam Malam
Transportasi umum di sejumlah kota Perancis dihentikan pada malam hari. Acara perpisahan di berbagai sekolah dan akademi dilarang. Langkah-langkah ini bagian dari upaya mengendalikan kerusuhan sejak Selasa lalu.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
PARIS, JUMAT — Pemerintah sejumlah kota di Perancis memberlakukan jam malam mulai Jumat (30/6/2023). Layanan transportasi umum di sejumlah kota juga dibatasi. Keputusan itu bagian dari upaya meredakan kerusuhan yang menyebar di berbagai kota di Perancis sejak Selasa (27/6/2023).
Seperti dilaporkan Le Figaro, jam malam berlaku, antara lain, di Clamart, Meudon, Neuilly-sur-Marne, Savigny-le-Temple, dan Denain. Sementara transportasi umum di Paris dan Marseillle dihentikan pada malam hari. Adapun di Lyon, Toulouse, dan Lille belum ada larangan atau pembatasan serupa.
Layanan transportasi umum di Paris dihentikan pada pukul 21.00-06.00. ”Keputusan ini demi keselamatan pekerja dan pengguna transportasi,” demikian diumumkan otoritas transportasi Paris, Île-de-France Mobilités (IDFM).
Di Marseille, transportasi umum berhenti beroperasi pada pukul 19.00-06.00. Wali Kota Marseillle Benoît Payan juga mengumumkan larangan berunjuk rasa di Marseille mulai Jumat sampai batas waktu yang belum ditentukan. Kembang api dan aneka benda yang potensial dijadikan senjata oleh pengunjuk rasa dilarang dibawa di tempat umum.
”Saya mohon jaga ketenangan. Marseille kota persaudaraan, jangan lagi ada yang menderita,” ujar Payan, sebagaimana dikutip Le Monde.
Kepala Kepolisian Marseillle Frédérique Camilleri mengumumkan, ada peningkatan patroli mulai Jumat dini hari. Keputusan itu dibuat setelah unjuk rasa dan kerusuhan merambah Marseille, Kamis malam. Kerusuhan itu dipicu oleh penembakan oleh polisi terhadap seorang remaja keturunan imigran hingga tewas.
”Patroli akan segera menindak setiap indikasi awal kumpulan massa yang berpeluang mengganggu ketertiban,” ujar Camilleri.
Nahel M ditembak mati polisi di Nanterre pada Selasa malam. Kematiannya memicu protes dan berujung kerusuhan di berbagai kota Perancis sejak Selasa malam. ”Kami mempertimbangkan semua pilihan untuk mengembalikan ketertiban,” kata Perdana Menteri Perancis Élisabeth Borne selepas rapat darurat kabinet, Jumat siang.
Borne, antara lain, berunding dengan Wali Kota Nanterre, Patrick Jarry. ”Emosi dan kemarahan setelah Nahel tewas dirasakan seluruh bangsa. Kita harus terus mendukung keluarganya, yang akan memakamkan anggota keluarga mereka segera,” ujar Jarry.
”Di sisi lain, kita juga harus menghentikan kesedihan yang dialami para korban vandalisme. Orang-orang yang rumah, tempat usaha, dan kendaraan mereka rusak karena kerusuhan ini. Kekerasan ini harus dihentikan,” lanjut Jarry.
Menteri Dalam Negeri Perancis Gérald Darmanin mengatakan, sebanyak 875 orang ditangkap pada Kamis malam hingga Jumat dini hari. Dari semua itu, 408 ditangkap di Paris Raya. Rangkaian kerusuhan telah merusak setidaknya 492 bangunan, menghanguskan 2.000 mobil, serta merusak sebagian dari 3.880 ruas jalan di berbagai kota.
Kerusakan jalan terjadi karena massa membuat api unggun di tengah jalan. Massa menggunakan bak sampah dan isinya serta aneka benda lain untuk membuat api unggun itu. Hingga 40.000 polisi dan polisi militer dikerahkan untuk memadamkan kerusuhan itu.
Macron pulang lebih cepat
Kerusuhan di negaranya membuat Presiden Perancis Emmanuel Macron bergegas meninggalkan pertemuan Dewan Eropa di Brussels, Belgia. Ia menolak menjelaskan perkembangan kondisi negaranya kepada jurnalis yang menantinya di lokasi pertemuan di Brussels.
Pemerintah Perancis dan pemerintah sejumlah kota di Perancis membuat berbagai pembatasan. Sejumlah lembaga pendidikan di Perancis memutuskan melarang acara perpisahan sekolah. Ada kekhawatiran acara itu dijadikan ajang pengumpulan massa yang lalu berubah menjadi pengunjuk rasa atau perusuh.
Larangan pesta perpisahan antara lain diberlakukan di Versailles. ”Keputusan ini tindak lanjut perkembangan di Nanterre,” demikian pengumuman pemerintah Versailles.
Kerusuhan di Perancis disikapi berbeda oleh sejumlah oposan. Ketua Partai Hijau Perancis Marine Tondelier mendukung keputusan pemerintah untuk memulihkan ketertiban. ”KIta mau keadilan dan kebenaran. Walakin, kematian dan kerusakan tidak akan membuat kita mendapatkan itu,” katanya, sebagaimana dikuti Le Monde.
Sekretaris Jenderal Partai Komunis Perancis Fabien Roussel mengecam kekerasan, kerusuhan, dan penjarahan beberapa hari terakhir. ”Jangan mengaku orang kiri jika tidak membela hak warga. Orang kiri tidak menjarah. Fokus pada tuntutan keadilan. Keadilan untuk Nahel, untuk tempat tinggal kita, untuk negara kita,” katanya.
Sikap itu menunjukkan Partai Komunis Perancis berseberangan dengan kubu oposisi lain di Perancis. Salah seorang oposan Perancis, Jean-Luc Mélenchon, dituding mengompori massa.
Mélenchon secara terbuka mengecam reaksi aparat atas protes terkait Nahel. Ia menyebut aparat Perancis menggunakan kekerasan berlebihan. Pemerintah dituding menolak mendengarkan protes dan memilih menggunakan kekerasan untuk meredamnya. ”Dengarkan aspirasi warga, berikan keadilan,” katanya.
Sanksi kepada dua polisi yang menembak Nahel hanya solusi jangka pendek. Dalam jangka panjang, Perancis harus mereformasi mental para aparat Perancis yang dinilai masih diwarnai prasangka rasial.
Sejumlah pihak menyebut, Nahel tidak akan ditembak seandainya tidak berkulit hitam. Nahel memang warga Nanterre yang keturunan imigran dari Afrika. ”Orang-orang yang tidak berkulit putih terus jadi sasaran di negara ini,” kata Syrine Djidi, salah seorang mahasiswa yang berunjuk rasa di Nanterre. (AFP)