Departemen Keuangan Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap dua bank milik Myanmar.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Departemen Keuangan Amerika Serikat, Kamis (22/6/2023) Waktu Indonesia Barat, menjatuhkan sanksi baru terhadap dua institusi perbankan Myanmar, yakni Bank Perdagangan Luar Negeri Myanmar serta Bank Investasi dan Komersial Myanmar. Sanksi ini diharapkan bisa mengontrol dana yang digunakan junta untuk terus membiayai operasi militer mereka menghadapi perlawanan kelompok sipil.
Dalam pernyataannya, Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menyebut, sejak penggulingan pemerintah sipil Myanmar per 1 Februari 2021, Kementerian Pertahanan negara itu terus melakukan transaksi impor barang senilai lebih kurang 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 150 triliun. Diduga dana itu digunakan untuk belanja persenjataan, amunisi, dan lainnya.
”Untuk mendukung represi brutalnya di seluruh Burma, rezim militer mengandalkan sumber-sumber asing, termasuk entitas Rusia yang dikenai sanksi, untuk membeli dan mengimpor senjata, barang sekali pakai, peralatan, dan bahan mentah untuk memproduksi senjata,” kata Kantor Pengawas Aset Asing (OFAC) Departemen Keuangan AS.
Rezim militer dan badan-badan milik negara lainnya, menurut OFAC, mengandalkan lembaga keuangan milik negara untuk memfasilitasi transaksi ini. Lembaga keuangan yang dimaksud bertindak sebagai pertukaran mata uang asing utama di Myanmar.
Sanksi tersebut adalah sanksi terbaru yang dijatuhkan pemerintahan Presiden AS Joe Biden terhadap rezim junta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing. Sanksi terhadap dua bank milik Pemerintah Myanmar membuat semua asetnya di AS ataupun yang dikendalikan oleh warga AS dibekukan.
Sanksi juga mencakup larangan bagi warga AS untuk bertransaksi menggunakan jasa dua bank itu, baik di dalam wilayah teritorial maupun sifatnya hanya perlintasan (transit) semata. Sanksi ini juga dinilai akan mempersulit entitas bisnis lain yang melakukan kegiatan keuangan dengan kedua bank jika menggunakan mata uang dollar AS.
Juru bicara junta, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, mengatakan, sanksi baru yang dijatuhkan AS bisa membawa negara itu ke krisis ekonomi dan politik. Akan tetapi, dia mengatakan, Myanmar tidak akan mengalami kerugian karena bank belum membuka rekening mata uang asing di bank yang berbasis di AS.
”Saya ingin memberi tahu orang-orang yang berhubungan dengan bank agar tidak khawatir dengan berita tersebut,” kata Tun menanggapi kabar dijatuhkannya sanksi baru kepada Myanmar.
Pengumuman resmi dari Kementerian Perencanaan dan Keuangan di surat kabar milik pemerintahan junta, Kamis, menyatakan, bank-bank milik negara akan terus menawarkan layanan normal yang melibatkan transfer dan penerimaan mata uang asing, impor dan ekspor, serta transfer gaji karyawan dan pelaut.
Sebelumnya, Thomas Andrews, Pelapor Khusus untuk Urusan Hak Asasi Manusia di Myanmar saat berada di Jakarta mengatakan, rezim sanksi yang berlaku saat ini belum sepenuhnya efektif dan membuat junta sulit untuk mendapatkan dana segara. Dalam laporan terpisah yang diberi judul ”Perdagangan Kematian Senilai Triliunan Dolar”, pertengahan Mei 2023, Andrews menyebut negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa gagal menekan junta karena rezim sanksi yang tidak terkoordinasi, termasuk di dalamnya mencegah pembelian senjata oleh junta.
Hasil penelusuran Andrews memperlihatkan para pedagang senjata dan entitas bisnis yang melingkupinya dengan mudah menggunakan perusahaan cangkang atau perusahaan baru untuk memperlancar transaksi.
Andrews mendorong Indonesia dan ASEAN melakukan koordinasi antarnegara agar tekanan yang diberikan lebih terkoordinasi dan memiliki dampak signifikan. Ia juga mendorong Indonesia dan ASEAN untuk berbicara dengan para pemimpin negara tersebut untuk mendukung keputusan ASEAN membantu rakyat Myanmar menghentikan konflik di negara mereka.
”Rakyat Myanmar tidak memiliki waktu hingga puluhan tahun untuk meminta pertanggungjawaban junta,” kata Andrews (Kompas.id, 21 Juni 2023).
Masukan Andrews soal rezim sanksi yang lebih terkoordinasi juga disuarakan oleh sejumlah peneliti dan aktivis sipil Myanmar. Kelompok Keadilan untuk Myanmar (Justice for Myanmar) dalam pernyataannya menyebut, selain sektor perbankan, rezim sanksi yang sistematis juga harus menyasar ”pundi-pundi uang” junta, yaitu perusahaan minyak dan gas Myanmar (MOGE).
Kelompok ini menyatakan bahwa MOGE menjadi sumber dana yang vital bagi junta, di luar tambang emas dan batu giok, untuk mendanai operasi militernya.
”Separuh devisa Myanmar berasal dari MOGE. Sebagian besar adalah dari penjualan gas alam lepas pantai,” kata kelompok itu dalam pernyataannya.
Selain kelompok Keadilan untuk Myanmar, organisasi lainnya, yaitu EarthRights International yang berbasis di AS, mengatakan, sanksi terhadap dua bank Myanmar sebagai langkah signifikan untuk menutup saluran dana asing bagi junta.
”Militer telah menggunakan bank-bank ini untuk mencuci pendapatan vital yang diambil dari perdagangan permata, batu giok, kayu, dan gas alam Myanmar,” kata organisasi itu. (AP)