Ada banyak simbol selama penyambutan Kaisar Naruhito di Yogyakarta. Sambutan hangat keluarga Keraton Yogyakarta dan antusiasme Kaisar Naruhito pada Candi Borobudur menyiratkan pesan kuat persahabatan.
Oleh
KRIS MADA, NINO CITRA ANUGRAHANTO, REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Hukum Jepang pernah menjadikan Sultan Yogyakarta sebagai kerabat Kekaisaran Jepang. Berpuluh tahun setelah penetapan itu, hubungan kedua keluarga kerajaan itu tetap dekat. Begitu akrab mereka seolah tidak pernah ada masalah dalam hubungan kedua kerajaan yang sama-sama pernah dilucuti kekuatan luar itu.
Sejak Perang Dunia II berakhir, Keraton Yogyakarta telah menyambut dua kaisar Jepang. Kaisar Akihito disambut Sultan Hamengku Buwono X di keraton pada Oktober 1991. Rabu (21/6/2023) pukul 18.00, giliran Kaisar Naruhito disambut Putri Mahkota Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi di kompleks keraton.
”Tujuannya menjalin silaturahmi dengan generasi berikutnya dan menjaga hubungan baik. Suasana cukup hangat, beliau berdua (Sultan Hamengku Buwono X dan Kaisar Naruhito) banyak mengobrol,” kata Mangkubumi soal kunjungan selama dua jam 15 menit itu.
Simbol-simbol
Akihito dan Naruhito sama-sama ke Keraton Yogyakarta dengan hanya mengenakan jas. Tidak ada medali atau hiasan apa pun di baju mereka. Sejak Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Kaisar memang hanya simbol negara dan semua kekuasaannya dilucuti.
Meski kekuasaan Kaisar dilucuti, Jepang tetap menjadi negara berdaulat sampai sekarang. Sementara Kesultanan Yogyakarta yang berkali-kali dilucuti dan diduduki berbagai pihak bukan lagi negara berdaulat.
Jepang termasuk salah satu yang pernah menduduki Yogyakarta. Kala itu, penguasa militer Jepang memberikan kedudukan Koo untuk Sultan Hamengku Buwono IX. Kedudukan itu membuat keluarga Keraton Yogyakarta dianggap sebagai kerabat kekaisaran Jepang. Tidak ada keterangan kapan kedudukan itu dicabut.
Meski demikian, kala menyambut Akihito dan Naruhito, Keraton Yogyakarta masih menunjukkan tanda kekuasaan. Sultan Hamengku Buwono X memakai batik yang secara tradisi hanya boleh dipakai kerabat kerajaan. Sampai sekarang di Keraton Yogyakarta, Pura Pakualam, Pura Mangkunegaran, dan Keraton Solo masih ada anjuran kepada warga biasa untuk tidak memakai motif batik tertentu.
Simbol lain yang ditampilkan dalam kunjungan Naruhito adalah lokasi dan penyambut pertama. Mangkubumi tidak hanya putri mahkota, ia juga sekaligus penanggung jawab pengelolaan tanah kesultanan. Kekaisaran Jepang dan Kesultanan Yogyakarta sama-sama masih punya tanah. Kekaisaran Jepang punya 2.760 hektar. Kesultanan Yogyakarta, bersama Pura Pakualam, memiliki 3.500 hektar. Sejak terbit Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta semakin aktif menegaskan klaim atas tanah yang disebut tanah kesultanan (sultan ground).
Dibandingkan saat didirikan beberapa abad lalu, aset Kesultanan Yogyakarta kini memang amat sedikit. Pengurangan, antara lain, karena penjarahan oleh berbagai pihak. Sejarawan Peter Carey menyebut, Inggris menghabiskan empat hari untuk mengangkut jarahan dari keraton setelah Geger Sepehi. Sampai sekarang, berbagai museum dan perpustakaan Inggris memamerkan atau menyimpan jarahan itu.
Geger Sepehi adalah penyerbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada Juni 1812. Sultan Hamengku Buwono II menyerah kala pasukan Inggris mencapai Pelataran Srimenganti. Di pelataran itu pada Juni 2023, Sultan Hamengku Buwono X menyambut Naruhito.
Kaisar Jepang itu diantar ke sana oleh Mangkubumi. Sebelum masuk ke Srimenganti, Naruhito disambut Mangkubumi di Pelataran Kamandungan Lor. Dulu, pelataran itu dipakai Sultan untuk mengadili berbagai perkara yang sampai ke keraton. Kini, bagian depan kompleks keraton itu lebih sering dipakai untuk perayaan-perayaan terkait tradisi.
Putri-putri Sultan lainnya yang juga ikut menyambut Naruhito, yaitu GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, dan GKR Bendara. Tak hanya putri-putri Sultan, para menantu dan cucu Sultan juga turut serta. Bahkan, ada salam penghormatan dari prajurit keraton, yaitu Bregada Wirobraja, yang berseragam lengkap.
Setelahnya, Naruhito diantar untuk menemui Sultan bersama permaisurinya, GKR Hemas, yang telah menunggu di Regol Danapratapa. Sultan dan Naruhito saling melempar senyum ketika bersalaman. Busana yang dikenakan Sultan bernama Ageman Takwa lengkap dengan Kuluk Kanigoro, sedangkan Hemas mengenakan Kebaya Tangkepan berwarna biru muda. Keduanya sama-sama mengenakan jarik bermotif Parang Barong.
Pakaian tersebut hanya dikenakan Sultan pada waktu tertentu. Apabila ia mengenakan pakaian tersebut, berarti ia hadir sebagai raja dari keraton yang dipimpinnya. Menariknya, ornamen dari jarik yang dikenakan bergambar babon angrem atau induk ayam yang tengah mengerami. Ornamen itu bermakna kasih sayang. Seakan ada suasana bahagia yang ingin dihadirkan dalam perjumpaan kedua pihak.
”Ini, kan, tamunya kerajaan. Dulu, waktu tamunya Kerajaan Belanda, kami juga pakai kain seperti ini. Ini antar-sesama kerajaan. Jadi, kami mengenakan kain,” kata GKR Mangkubumi ketika ditemui seusai acara.
Warisan budaya yang masih terus dipertahankan keraton, antara lain, tarian Beksan Lawung Jajar yang diciptakan pada era Sultan Hamengku Buwono I. Tarian itu menggambarkan kekuatan prajurit keraton yang berasal dari berbagai daerah dan tergabung di beberapa brigade. Keraton menampilkan tarian itu hanya saat menyambut pemimpin negara atau pemimpin istana dari negara lain.
Selain tarian, Sultan juga menunjukkan aneka keris, batik, hingga naskah tua kepada Kaisar. Salah satu naskahnya adalah Serat Baratayuda yang disusun pada masa Sultan Hamengku Buwono VII dan Sultan Hamengku Buwono VIII. Serat itu merupakan salah satu versi tafsiran Mahabharata di Nusantara.
Dikembangkan di India sebagai karya sastra Hindu, Mahabharata, antara lain, ditafsirkan di Nusantara menjadi kakawin Arjuna Wiwaha dan kakawin Bharata Yudha. Meski perinciannya berbeda, Serat Baratayuda dan kakawin Bharata Yudha sama-sama membahas soal perang dan hal-hal yang terkait dengannya. Tarian Beksan Lawung Jajar juga terkait persiapan perang.
Kunjungan Lain
Selama di Yogyakarta, Kaisar Naruhito mengunjungi beberapa tempat. Selain Keraton Yogyakarta, Kaisar Naruhito juga mengunjungi Candi Borobudur.
Dengan kunjungan ini, Naruhito kembali mengikuti jejak orangtuanya, Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko, yang juga pernah berkunjung ke Candi Borobudur pada tahun 1991. Sebagaimana orangtuanya, Naruhito juga terkesima saat menyaksikan kehebatan arsitektur dan filosofi situs warisan sejarah dunia tersebut. Secara khusus, Naruhito tertarik pada kisah mengenai pengelolaan sumber daya air di Candi Borobudur.
Antusiasme Naruhito sudah tampak sejak menginjakkan kaki di pelataran candi. Wajahnya begitu semringah. Dipandu oleh Mura Aristina, Naruhito mencecap kisah tentang pemilihan lokasi Candi Borobudur yang berada di dekat titik pertemuan antara Sungai Progo dan Sungai Elo.
Kepada Naruhito, Mura juga menceritakan ihwal danau purba yang dulu ada di kawasan Borobudur dan berperan menjaga kelembaban candi. Seperti saat menyimak penjelasan tentang beberapa prasasti di Museum Nasional, Jakarta, antusiasme yang terpancar dalam kunjungan Naruhito di Yogyakarta secara tak langsung juga menyiratkan kuat dan harmonisnya relasi Jepang-Indonesia.