Akibat krisis di dalam negeri, ribuan pengungsi terus mengalir tiada henti. Nasib mereka tragis, ditolak di mana-mana hanya demi mencari selamat.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Sepanjang pekan kedua Juni 2023, kabar pahit untuk para pengungsi bergema dari banyak negara. Dari Eropa tersiar kabar musibah kembali dialami pengungsi yang kembali celaka. Bergema pula kabar soal lonjakan jumlah pengungsi. Kabar itu masih diikuti pernyataan sejumlah negara menolak atau setidaknya menunda selama mungkin pengungsi ke wilayah mereka.
Dalam rapat dengar pendapat di Senat Filipina pada Jumat (16/6/2023), Menteri Luar Negeri Filipina Enrique Manalo menjawab isu pengungsi. Ia membenarkan, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr membahas isu pengungsi dalam pertemuan pada Mei 2023. Biden menjajaki kemungkinan Filipina menampung para pengungsi Afghanistan yang mau ke AS.
Duta Besar Filipina di Washington DC Jose Manuel Romualdez malah mengungkap, sebenarnya AS telah menyampaikan permintaan itu sejak Oktober 2022. Sepupu Presiden Filipina itu menyebut, para pengungsi tersebut akan ditampung di Filipina sampai visa untuk mereka diterbitkan untuk AS.
Tidak ada kepastian kapan visa itu diberikan. Laporan Voice of America (VoA) pada 8 Juni 2023 mengungkapkan, Departemen Luar Negeri (Deplu) AS membutuhkan hingga 628 tahap untuk memproses penerbitan visa bagi setiap pengungsi Afghanistan. Sejak Agustus 2021, Deplu hanya mengeluarkan 27.000 visa imigrasi khusus (SIV) bagi pengungsi Afghanistan. Padahal, ada 152.000 orang mengajukan SIV.
Berbagai protes dari berbagai pihak tidak juga membuat AS mempercepat proses penerbitan visa itu. Protes juga dilayangkan karena orang-orang yang mengajukan visa itu adalah mereka yang membantu Washington selama AS menduduki Afghanistan. Para pemrotes kesal karena AS malah membuat berbagai penampungan di luar negeri untuk para pengungsi Afghanistan itu.
Kebijakan AS mirip yang telah lebih dulu diterapkan Australia. Canberra memilih Papua Niugini untuk menampung para pengungsi Afghanistan yang mau menuju ke Australia. Sebelum membuat penampungan di Papua Niugini, Australia menerapkan kebijakan mengusir balik perahu dan kapal pengangkut pengungsi yang mendekati pesisir utara negara itu.
Adapun Inggris mau membuat tempat penampungan pencari suaka di Rwanda. Pengadilan Inggris menetapkan, mekanisme itu dibenarkan oleh hukum. Lewat mekanisme itu, sebagian pengungsi ilegal akan dikirim ke Rwanda lalu diberi status pengungsi di sana. Dari sana, mereka bisa mengajukan suaka ke negara selain Inggris.
Aturan terbaru keimigrasian Uni Eropa (UE) juga memungkinkan Brussels menolak permohonan visa bagi pencari suaka. Penolakan akan diberlakukan pada orang yang beberapa kali mengajukan permohonan suaka ke UE.
Perang Ukraina, menurut Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pengungsi (UNHCR), menjadi penyebab utama lonjakan pengungsi pada 2022. Sebanyak 25 juta dari 45 juta warga Ukraina mengungsi di luar dan di dalam negeri.
Saat perang meletus, penjaga perbatasan Ukraina dan Polandia menjadi sasaran kritik atas tudingan diskriminasi rasial. Orang-orang kulit putih lancar melintasi perbatasan, sementara warga Asia dan Afrika dihambat masuk ke wilayah UE.
Tudingan rasialisme kembali mengemuka selepas kapal pengangkut imigran karam di Laut Tengah pada Rabu (14/6). Dikhawatirkan, sebanyak 500 orang tewas dalam insiden tersebut. Brussels menyangkal tudingan ini. UE menyalahkan jaringan perdagangan dan penyelundupan orang atas rangkaian tragedi yang menimpa para imigran.
Menurut UNHCR, 110 juta orang kini harus mengungsi karena terusir dari kampung halaman mereka. Kekerasan menjadi salah satu penyebabnya. (AFP/REUTERS/RAZ)